Oleh: Abdul Muis Syam
HANYA karena kesal disebut-sebut telah menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL), Direktur Utama (Dirut) PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), Sofyan Basir, dikabarkan akan mengambil langkah hukum bagi pihak yang menyebarkan informasi mengenai kenaikan listrik tersebut.
Menurut saya, Sofyan Basir selaku Dirut PLN, seharusnya tak perlu kesal. Karena kalau mau bicara soal rasa kesal, maka rakyat-lah yang paling kesal. Sebab, beban rakyat ketika subsidi listrik dicabut, sudah pasti jadi makin berat.
Apalagi pencabutan subsidinya dilakukan sekitar sebulan sebelum memasuki bulan puasa, di mana harga-harga kebutuhan pokok di saat itu juga terus meroket. Jadi tak heran jika rakyat yang terdampak dari pencabutan subsidi listrik itu saat ini lebih banyak “berteriak” tentang kenaikan listrik.
Mengapa rakyat lebih banyak “berteriak” tentang kenaikan tarif listrik? Mengapa tidak “berteriak” tentang pencabutan subsidi? Itu karena persepsi yang berkembang secara logis memang lebih mudah “diterjemahkan”, bahwa mencabut subsidi listrik itu sama halnya dengan menaikkan TDL. Apalagi istilah tarif (TDL) yang digunakan secara permanen oleh PLN sejauh ini nyatanya memang soal harga, yang sejumlah di dalamnya memang ada pemberlakuan subsidi. Tapi bukankah subsidi juga bicara soal harga?
Jujur, saya tidak bermaksud agar mengurungkan niat Dirut PLN untuk bisa menyeret rakyat (atau siapa saja) ke ranah hukum karena diketahui menginformasikan mengenai kenaikan tarif listrik. Silakan dilanjutkan, kalau itu memang diyakini adalah bagian dari tugas selaku Dirut PLN serta merupakan langkah terbaik untuk “mengatasi sebuah masalah kelistrikan”, bukan karena hanya dilatarbelakangi oleh rasa kekesalan!
Saya mungkin perlu mengingatkan kembali, bahwa saat baru saja resmi diangkat sebagai Dirut PLN, Sofyan Basir hanya diberi tugas prioritas untuk segera menyelesaikan tiga tantangan. Yaitu, 1). Mencari solusi untuk segera mengatasi masalah pemadaman listrik yang masih terjadi di berbagai tempat di Indonesia; 2). Meningkatkan efisiensi PLN, terutama efisiensi biaya produksi listrik; dan 3). Meningkatkan daya pasokan listrik nasional.
Pertanyaannya sekarang, apakah dengan menyeret rakyat ke ranah hukum adalah bagian dari upaya menyelesaian tiga tantangan, seperti yang disebutkan di atas?
Bicara soal hukum, memang itu merupakan hak setiap warga negara untuk mengambil sikap hukum atas suatu masalah yang dianggap melanggar ketentuan yang berlaku. Atau dalam arti, siapa saja bisa bisa diberi hukuman jika terbukti melanggar di hadapan hukum.
Pertanyaannya, dalam konteks pencabutan subsidi (kenaikan TDL) ini, siapa sebetulnya yang melanggar, rakyatkah atau pemerintah?
Beberapa waktu lalu, Sofyan Basir membantah, bahwa tidak ada kenaikan, yang ada hanya mencabut subsidi pengguna 900VA karena dianggap tidak tepat sasaran. Ia menyebut, banyak pengguna 900VA adalah orang yang mampu, seperti pengusaha kos-kosan, tetapi justru menikmati subsidi. Olehnya itu, Sofyan menilai, kabar kenaikan TDL yang dimunculkan itu adalah fitnah.
Saya jadi curiga, demi kesuksesan pencabutan subsidi, jangan-jangan Sofyan Basir yang justru sedang melakukan fitnah terhadap rakyat. Apa iya ada PENGUSAHA kos-kosan yang menikmati (memakai) daya 900VA? Terus terang, di rumah saya saja (perumahan tipe 36) yang bukan tempat kos (karena memang bukan pengusaha kos-kosan) daya listrik yang terpasang 2200VA, sakelar di meteran kadang tiba-tiba off karena pemakaian yang over-capacity. Saya tidak paham, pengusaha kos-kosan model apa yang dimaksud yang masih memakai 900VA seperti yang dikatakan oleh Sofyan Basir itu?
Padahal estimasi rata-rata pemakaian minimal listrik pada rumah tangga untuk KALANGAN BAWAH dapat dibagi ke dalam tiga golongan ekonomi. Yakni, Ekonomi WONG CILIK, Ekonomi PAS-PASAN, dan Ekonomi HAMPIR MENENGAH.
Estimasi pemakaian listrik untuk golongan Ekonomi Wong Cilik, rata-rata 840 Watt. Yakni, terdiri lampu 15 Watt pada 3 titik (1 ruang makan, 1 ruang tamu, 1 dapur); lampu 5 Watt pada 4 titik (1 teras, 1 toilet, 2 kamar tidur); 1 televisi 75 Watt; 1 Rice-cooker 350 Watt; 1 Setrika 300 Watt; 1 Kipas angin 50 Watt. Apa golongan ini yang dimaksud Sofyan Basir sebagai Pengusaha Kos-kosan?
Kemudian estimasi penggunaan listrik untuk golongan Ekonomi Pas-pasan, rata-rata 1.210 Watt. Yaitu, terdiri lampu 25 Watt pada 3 titik (1 ruang makan, 1 ruang tamu, 1 dapur); lampu 10 Watt pada 4 titik (1 teras, 1 toilet, 2 kamar tidur); 1 televisi 75 Watt; 1 Rice-cooker 500 Watt; 1 Setrika 350 Watt; Kipas angin 2 buah (@50 Watt); 1 Kulkas 1 pintu 70 Watt.
Sementara estimasi pemakaian listrik untuk golongan Ekonomi Hampir Menengah, rata-rata 2.195 Watt. Yakni, terdiri lampu 30 Watt pada 3 titik (1 ruang makan, 1 ruang tamu, 1 dapur); lampu 10 Watt pada 5 titik (1 teras, 1 toilet, 3 kamar tidur); 1 televisi 85 Watt; 1 Kukas 1 pintu 70 Watt; 1 Rice-cooker 500 Watt; Komputer 1 unit 500 Watt; 1 Setrika 350 Watt; Kipas angin 2 buah (@50 Watt).
Kembali mengenai ancaman dari Sofyan Basir yang ingin menyeret rakyat ke ranah hukum jika menginformasikan kenaikan tarif listrik. Jujur saya merasa bahwa orang seperti Sofyan Basir ini sangat tidak cocok jadi seorang Dirut di PLN. Sebab, selain tak punya kepekaan dan empati terhadap rakyat, ia juga sama sekali tak punya mental pelayan.
Sebab, Sofyan Basir dalam hal ini seolah-olah hanya ingin RAKYAT HARUS DIAM jika ada pencabutan subsidi atau kenaikan TDL. Rakyat dilarang mengeluh, resah, bersuara, dan bahkan dilarang berteriak. Jika ada rakyat yang tetap berteriak tentang kenaikan tarif listrik, maka akan diseret ke pengadilan. Hebat betul Dirut PLN ini?! Rakyat sudah jatuh, malah ingin digebukin lagi.
Hal inilah kemudian mengundang reaksi dari sejumlah pihak untuk melakukan “perlawanan” terhadap Sofyan Basir. Dimulai dari Gorontalo, terdapat masyarakat Sulutgo (Sulawesi Utara, Tengah dan Gorontalo) membentuk Koalisi Gulita (Gugat Listrik Tanah Air). Koalisi Gulita ini, pada Jumat (16/6/2017) telah melaporkan pernyataan ancaman yang dilontarkan Sofyan Basir tersebut ke Polda Gorontalo.
Tampaknya, ancaman Sofyan Basir itu akan memunculkan masalah baru besar yang justru mengarah kepada pertentangan dan perlawanan secara frontal dengan rakyat.
Tetapi menurut saya, teman-teman aktivis pergerakan sebaiknya juga tak perlu terpancing hingga ingin melakukan perlawanan kepada Dirut PLN, meski itu mungkin sangat menyakitkan. Sebaiknya kita bersatu mendesak Dirut PLN dan Pemerintah Pusat (Presiden Jokowi) agar segera menjalan saran dan masukan kebijakan dari Dr. Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu.
Rizal Ramli tidak setuju dengan orang-orang di Pemerintahan yang menyebutkan bahwa pengguna listrik golongan 900VA itu adalah golongan rumah tangga mampu, dan hanya pura-pura miskin karena namanya tidak tercantum dalam daftar orang miskin. Dan pandangan itu kemudian menjadi salah satu dasar pencabutan subsidi bagi 18,7 juta pengguna listrik 900 VA.
“Waktu saya di kabinet satu tahun lalu, saya angkat tangan (angkat bicara). Saya mohon maaf, kalau ada rakyat pakai listrik 900 VA, sudah pasti miskin. Kenapa? Karena, paling bisa empat titik (lampu) buat anaknya belajar, tivi, kulkas kecil,” ujar Rizal Ramli seraya menambahkan, bahwa apabila nama mereka tidak ada di dalam daftar orang miskin, maka daftarnya itu yang tidak beres.
Dikatakannya, dari pencabutan subsidi listrik tersebut Pemerintah paling tidak hanya bisa berhemat anggaran antara Rp.10 Triliun hingga Rp.20 Triliun.
Padahal, menurut Rizal Ramli, ada tiga cara lain buat PLN dan Pemerintah yang sekaligus harus dilakukan agar bisa lebih memperbaiki pendapatan tanpa harus mencabut subsidi listrik 900VA.
Pertama, menghilangkan transmission-loss (kerugian transmisi). “Indonesia paling tinggi 10 persen bisa diturunkan (dikurangi) 3 persen. Saya tanya ke direksi PLN di sidang kabinet, bisa nggak diturunkan dalam satu tahun dari 10 persen ke 3 persen. Mereka (direksi) bilang, bisa,” ujar Rizal Ramli.
Dari situ, Rizal pun memberi pandangan kepada Presiden Jokowi. “Saya katakan, Pak Presiden, kita bisa menghemat satu persen-nya itu Rp.900 Miliar, bisa Rp.6,3 Triliun,” tutur Rizal.
Kemudian yang kedua, soal pengadaan (pembelian) bahan baku untuk energi listrik hendaknya dilakukan re-negosiasi. “Saya tanya, PLN itu kan pembeli paling besar batu bara, solar dan lain-lain. Nah, bisa nggak sih dapat diskon sebagai pembeli yang paling besar, 10 persen. Direksi PLN mengatakan, bisa,” ucap Rizal Ramli.
Dari situ pula Rizal Ramli menyampaikan hitunganya kepada Presiden Jokowi. “Saya katakan, Bapak Presiden, PLN menghabiskan Rp.200 Triliun untuk membeli bahan baku, kalau bisa dapat (potongan) 10 persen, itu Rp.20 Triliun,” ujar Rizal Ramli.
Kemudian cara ketiga yang dikemukakan Rizal Ramli adalah seputar “tradisi” KKN berupa mark-up proyek di lingkungan PLN yang mencapai 30% tiap proyek. “Yang ketiga, saya mohon maaf, proyek di PLN itu banyak KKN-nya, mark-up nya 30 persen. Nah, bisa nggak diturunkan 10 persen aja deh. PLN mengatakan, bisa,” ungkap Rizal Ramli.
Hal tersebut kemudian disampaikan kepada Presiden Jokowi. “Bapak Presiden, pengeluaran proyek PLN satu tahun Rp.400 Triliun, mark-up nya dikurangi 10 persen, (maka) kita menghemat Rp.40 Triliun,” ujar Rizal Ramli.
Dari tiga cara yang disarankan oleh Rizal Ramli tersebut, nilai atau jumlah total penghematan yang diperoleh negara adalah sekitar Rp.66,3 Triliun. Bandingkan dengan jumlah penghematan melalui pencabutan subsidi yang hanya berkisar Rp.10 Triliun hingga paling tinggi Rp.20 Triliun.
Nah, daripada harus membuang-buang energi hanya untuk mengancam Rakyat, apa tidak sebaiknya Sofyan Basir selaku Dirut PLN berusaha sekuat tenaga untuk dapat menggolkan saran Rizal Ramli tersebut? Dan buat Pak Dirut PLN, Sofyan Basir, silakan Anda memilih “multiple-choice” berikut ini: mau menaikkan TDL, mencabut subsidi, menyeret rakyat ke ranah hukum, ataukah menggolkan saran Rizal Ramli? Up to you, Tafaddhol Akhi, Syukron!!!
(ams/DM1)
—Penulis adalah Pengamat Independen, dan aktivis sekaligus salah satu Presidium MKRI (Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia)—