Oleh: Herman Muhidin, SH, MH*
DM1.CO.ID, OPINI: Siapa Bupati di Provinsi Gorontalo yang paling sering mewarnai media cetak dan media online dalam kasus pidana? Tentu publik sepakat menyebut Bupati Boalemo, Darwis Moridu.
Kasus terakhir adalah dugaan membabat/merusak mangrove untuk dijadikan kawasan wisata di Pantai Ratu, Kabupaten Boalemo.
Tindakan membabat/merusak mangrove adalah dasar hukum yang disebutkan pada pemberitaan di sejumlah media. Yaitu, melanggar Perpres No. 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Ekosistem Mangrove; Undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dalam Pasal 35 huruf f; dan juga melanggar Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), khususnya pada Pasal 96- Pasal 120.
Semua tindak pidananya merupakan delik kejahatan, yaitu delik yang perbuatannya bertentangan dengan kepentingan hukum.
Sebagai delik kejahatan, perbuatan pencemaran/perusakan lingkungan hidup, baik dilakukan secara sengaja (dolus) maupun karna kelalaiannya (culpa), itu sama-sama menimbulkan akibat hukum, dan hukuman pidananya tergolong tinggi dan berat.
Dalam pidana lingkungan dikenal alat bukti lain. Sedangkan pengertian alat bukti lain menurut penjelasan pasal 96 huruf f Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang PPLH, bahwa yang dimaksud dengan alat bukti lain meliputi infomasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik…dst.
Pembuktian perkara pidana lingkungan hidup pada prinsipnya sama dengan pembuktian perkara pidana pada umumnya. Hanya bedanya UU PPLH menambahkan satu alat bukti sebagaimana huruf f (Pasal 96 UU PPLH), yaitu alat bukti lain.
Alat bukti lain tersebut jenisnya banyak dan sifatnya luas, sehingga barang apa saja yang dapat memberikan informasi di persidangan dapat dijadikan alat bukti dalam perkara lingkungan hidup.
Alat bukti lain merupakan penunjangan berkaitan erat dengan alat-alat bukti lainnya, seperti keterangan saksi, surat maupun keterangan terdakwa.
Pembuktian perkara lingkungan hidup sama saja dengan perkara pidana pada umumnya, yaitu sama-sama mengutamakan keterangan saksi-saksi. Saksi-saksi diambil dari orang-orang yang kebetulan berada di tempat kejadian melihat dan mendengar kejadiannya.
Untuk perkara kerusakan mangrove yang di duga dilakukan atas inisiatif Bupati Boalemo, maka Japesda Gorontalo sudah bisa menjadi saksi di persidangan. Mengingat peristiwanya berupa rusaknya mangrove, saksi pidana lingkungan hidup selain alat buktinya keterangan saksi, juga diperlukan keterangan ahli yang mengetahui sejauh mana bobot kerusakan lingkungan, sehingga diperlukan keterangan ahli.
Ahli yang diperlukan adalah orang yang memiliki keahlian di bidang lingkungan hidup. Keterangan ahli akan digunakan hakim untuk mempertimbangkan ada tidaknnya kerusakan lingkungan hidup.
Selain itu, bukti surat juga memegang peranan penting, karena biasanya untuk membuktikan adanya kerusakan lingkungan dilakukan penelitian terlebih dahulu di tempat kejadian. Hasil penelitian tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti surat, harus memenuhi Pasal 187 KUHAP yang menyebutkan, bahwa surat merupakan alat bukti dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
Ancaman hukuman penjara pelaku perusak lingkungan berdasarkan UU PPLH menggunakan kata minimal dan maksimal. Sedangkan ancaman denda menggunakan kata paling sedikit dan paling banyak.
Semoga saja kasus perusakan mangrove ini pelakunya mendapat hukuman pidana sebagai perwujudan bahwa hukum itu tidak pandang bulu.
Kasus ini tentu akan menjadi isu nasional dan bahkan menjadi isu internasional setelah diinisiasi melaporkannya Greenpeace, sebuah NGO internasioal yang visinya untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Disamping itu, Pahrun Yanis selaku masyarakat Boalemo turut menyesalkan ulah Bupati Darwis yang diduga kuat “merusak” hutan lindung berpendapat, harusnya wisata Pantai Bolihutuo dan Pulau Cinta yang dikembangkan oleh Pemda Boalemo, karena tempat wisata tersebut sudah dikenal di tingkat nasional bahkan di internasional sejak kepemimpinan Bupati Iwan Bokings dan Rum Pagau.
*(Penulis adalah pemerhati sosial, hukum dan politik)
Redaksi menerima artikel dari semua pihak sepanjang dianggap tidak berpotensi menimbulkan konflik SARA. Setiap artikel yang dimuat adalah menjadi tanggungjawab sepenuhnya oleh penulis.