Bukan Hanya Diduga “Menusuk” Bosnya, Agenda “Jahat” Ani Juga Patut Diwaspadai

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, JAKARTA: Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyebut, bahwa pemerintah (Jokowi) jangan sebabkan ketidakpastian ekonomi.

“Pemerintah tidak menjadi faktor yang menyebabkan ketidakpastian,” ujar Ani, di Jakarta, Selasa (7/2/2017).

Ia pun menegaskan, bahwa stabilitas dan konsistensi kebijakan pemerintah menjadi hal yang tak boleh diabaikan pada tahun ini. Hal itu, menurutnya, penting untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi tahun ini.

Bagi banyak kalangan, pernyataan Sri Mulyani (Ani) selaku pembantu presiden yang diberi tanggung-jawab sebagai Menteri Keuangan tersebut, tentulah teramat ganjil karena selain seolah-olah menampar wajah bos-nya, juga ia terkesan ingin cuci tangan lebih dulu sebelum terjadi kesulitan ekonomi di negeri ini.

Dengan melakukan berbagai pemotongan anggaran APBN 2016, yang jumlahnya mencapai Rp.133,8 Triliun, maka itu sama artinya Ani telah mempersempit ruang gerak perekonomian Indonesia ke depan.

Akibatnya, akan sangat banyak program-program pembangunan fisik (infrastruktur) dan pembangunan manusia yang mangkrak. Dan salah satu yang hampir pasti akan mangkrak adalah program andalan Presiden Jokowi membangun Poros Maritim.

Bila masalahnya karena dinilai terdapat kekurangnya (shortfall) penerimaan perpajakan, di mana apabila Ani memang benar-benar sebagai ekonom yang hebat, maka Ani seharusnya dapat menunjukkan kreativitasnya dengan mencari sumber pendanaan/penerimaan, bukan hanya sekadar Tax Amnesty. Apalagi memang program Tax Amnesty sebenarnya juga bukanlah ide dari Ani, karena sudah terlontar jauh sebelum Ani bergabung di dalam kabinet.

Artinya, apabila Ani telah mengklaim dirinya sebagai ekonom sejati, maka hendaknya ia sebisa mungkin dapat memunculkan ide-ide yang bernilai tambah dari potensi-potensi perekonomian Indonesia yang selama ini terpendam dan masih belum dikelola secara maksimal.

Sayangnya, itu tidak dilakukannya. Sehingga sejumlah kalangan pun menilai, Ani sebetulnya bukanlah tipikal ekonom yang mampu kerja.

Misalnya, kesaksian dari seorang ekonom senior yang pernah menjadi mentor Ani di FE-UI. Ia memandang, Ani memang bagus dalam menulis dan berpidato atau berbicara, tapi ia tak bisa kerja mengatasi masalah. Bahkan di kalangan perbankan juga melihat, bhwa rekam jejak SMI hanya sebagai ekonom textbook thinking, yakni ekonom yang tak mampu kerja. Dan padangan ini sebetulnya sudah menjadi buah bibir sejak lama.

Tidak sedikit kalangan juga menilai, Ani hanya sosok yang doyan ngomong, bicara dan pencitraan dengan kalangan jurnalis internasional dan media domestik, namun ia punya kebiasaan buruk. Yakni, lebih percaya dengan neoliberalisme,  dan lebih mengandalkan utang juga utang berbunga tinggi.

Bila tim ekonomi (seperti Darmin dan Ani) tak punya terobosan brilian juga tidak kreatif dalam mendorong perekonomian, namun hanya berpedoman pada business as usual, maka perekonomian Indonesia bisa dipastikan hanya akan berjalan laksana siput, yakni cuma di kisaran 5,0 hingga 5,3% tahun ini. Dan itulah kiranya habitus Ani.

Mengenai utang luar negeri saja, Ani kerap mengeluh, bahwa sistem APBN Indonesia tidak sehat karena sudah sampai tahap berutang untuk bayar bunga utang. Ani bahkan mengatakan, telah terjadi defisit dalam keseimbangan primer, yang berarti kita meminjam untuk keperluan mengongkosi utang masa lalu.

Entah sadar atau tidak ia melontarkan pernyataan tersebut, yang jelas jika ditengok ke belakang, bukankah utang masa lalu yang saat ini sedang melilit negara ini  adalah juga “hasil karya” dari Ani saat menjabat Menteri Keuangan era SBY? Sekali lagi Ani menampar bukan hanya Jokowi, tetapi juga mantan bos-nya.

Saat Ani menjabat Menteri Keuangan (Menkeu) periode 2006 hingga 2010, Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan memunculkan data 2011, bahwa total penerbitan Surat Berharga Negara/SBN (bruto) sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 adalah sebesar Rp. 473,3 Triliun.

Dengan bunga SBN yang termasuk tinggi di saat Ani menjabat Menkeu di masa silam itu, seharusnya dari total utang luar negeri dalam bentuk SBN pada akhir 2016 yang mencapai Rp 2.700,82 Triliun, dan boleh dikata 40%-nya adalah bagian dari “hasil kerja” Ani.

Namun, menurut sejumlah pengamat ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan bisa tumbuh dengan pesat jika tim ekonomi Jokowi bisa memunculkan langkah-langkah kreatif dengan berbagai ide serta terobosan yang brilian. Yakni dengan melakukan pengelolaan optimal dari berbagai potensi perekonomian yang masih belum tersentuh secara maksimal di negeri ini.

Langkah-langkah kreatif serta terobosan inilah, katanya, yang sangat dibutuhkan pada saat ini agar dapat mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 6,5%. Sayangnya, tim ekonomi Jokowi saat ini (misalnya, Darmin dan Ani) justru sangat kelihatan tidak percaya dan bahkan “alergi” dengan terobosan.

Seorang pengamat ekonomi politik, bahkan pernah menyebut Sri Mulyani merupakan neoliberalisme yang mazhabnya adalah Konsensus Washington (KW) seperti yang dilakukan Wakil Presiden Boediono dulu.

Dampak KW itu, katanya, adalah ketimpangan akan naik, pengangguran naik, dan seluruh perekonomian dan keuangan nasional dikuasai asing.

Sri Mulyani, Menteri Keuangan yang menurut banyak orang telah memiliki banyak prestasi. Terlebih setelah dia diangkat menjadi salah satu orang penting dalam World Bank. Semua orang membanggakan dirinya. Tidak ada celah terlebih ketika dia telah diangkat kembali menjadi Menteri Keuangan oleh Jokowi.

Diduga Ani Punya Agenda “Jahat”

Sebuah tulisan di salah satu citizen-news memaparkan, bahwa Sri Mulyani agar terlihat nasionalis pun mengatakan bahwa dia kembali karena cintanya kepada Indonesia. Tetapi apakah itu benar? Jawabannya adalah tidak. Pasalnya, orang-orang mungkin belumlah terlalu mendalami bahwa Sri Mulyani tetaplah Sri Mulyani yang dulu, yang terlibat dalam banyak kasus.

Masih ingat dengan kasus Halliburton? Kasus yang menyerang perusahaan jasa perminyakan asal Amerika Serikat itu juga diduga memiliki kaitan dengan Ani. Dia bersama dengan Darmin Nasution diduga menjadi dalang penggelapan pajak Halliburton.

Masih ada kasus komisaris PT. Ramayana, Paulus Tumewu yang mengemplang pajak. Paulus Tumewu seperti mendapat bantuan dari Sri Mulyani dalam proses pajaknya. Hingga saat ini Paulus Tumewu tidak jelas entah ke mana kasusnya. Pajaknya yang harus dibayar sebesar Rp.399 Miliar menciut menjad Rp.7,9 Miliar.

Kasus paling besar yang menyangkut nama Sri Mulyani adalah kasus Century. Kerugian negara dilansir sebesar Rp.6,7 Triliun ini tentunya sangat diduga kuat memiliki kaitan dengan Sri Mulyani. Dan sungguh, Sri Mulyani masih berada di kubangan lumpur ini.

Saat itu, banyak sekali temuan dan kecurigaan terhadap diri Ani sejak menjabat Menkeu. Sehingga publik benar-benar menduga, bahwa Ani bisa menjadi bagian dari Bank Dunia adalah hanya sebuah upaya “penyelamatan” untuk dapat kabur dan menghindar dari kasus yang sedang melilitnya itu hingga kini.

Sekarang, dengan diangkatnya kembali sebagai Menteri Keuangan di dalam Kabinet Kerja Jokowi, itupun patut diduga sebagai bentuk “penyelamatan” bukan hanya untuk diri Ani tetapi juga buat pemerintahan sekarang yang memang sedang sangat membutuhkan tambahan utang. Sebab, bukankah memang hanya Sri Mulyani yang dipastikan dapat menjawab ketersediaan dana (utang) tersebut?

(dbs-kfs/DM1)
Bagikan dengan:

Muis Syam

2,911 views

Next Post

Dinkes Prov Gorontalo Gelar Pisah-sambut Peserta PIDI-1 2017

Kam Feb 9 , 2017
DM1.CO.ID, GORONTALO: Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Gorontalo menggelar acara pisah-sambut peserta Program Internsip Dokter Indonesia  (PIDI), Rabu malam (8/2/2017), di Ball-room Hotel Maqna, Kota Gorontalo.