Oleh: Edy Mulyadi
SELASA (6/6/2017), Komisi XI DPR mulai melakukan uji kepatutan dan kelayakan alias fit and proper test terhadap empat calon anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut rencana, tes bakal berlangsung sampai 9 Juni untuk 10 calon lainnya. Artikel ini tak hendak bicara soal para kandidat. Rasanya, soal seperti apakah OJK yang ideal, menjadi lebih menarik dan lebih penting ketimbang menguliti para calon tadi. Pertanyaan besarnya memang, bagaimana seharusnya OJK berperan?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita tengok kembali, makhluk apakah gerangan OJK. Lembaga superbody ini dibentuk sebagai solusi atas buruknya kredibilitas Bank Indonesia (BI) saat krisis moneter menerjang Indonesia pada 1997/1998 silam. Saat itu BI gagal dalam melakukan pengawasan perbankan. BI juga dinilai tidak mampu menjaga stabilitas nilai tukar yang membuat rupiah terjerembab dari Rp2.200/US$ menjadi tembus Rp15.000an.
Sejatinya OJK hadir untuk melaksanakan amanat pasal 34 ayat (1) UU nomor 6/2009 tentang BI. Pasal itu berbunyi; “Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang”. Sedangkan fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. Untuk itu, OJK bertugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank (IKNB).
Lahirnya OJK membuat peran dan fungsi BI menjadi sangat terbatas. Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, BI selanjutnya hanya punya satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Stabilitas nilai rupiah ini bermakna stabil nilai mata uang terhadap barang dan jasa, dan stabil terhadap mata uang negara lain.
Dengan tugas tunggal tersebut, konsekuensinya BI tidak lagi bisa secara maksimal mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Tentu saja ini berbeda dengan tugas dan fungsi bank sentral di negara maju. Di Amerika Serikat, misalnya, selain menjaga stabilitas nilai tukar, The Fed ikut terlibat dalam pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Bahkan pada saat krismon melabrak Negeri Paman Sam, The Fed bisa meluncurkan kebijakan Quantitative Easing (QE) untuk menstimulus. Sebaliknya, saat ekonomi mulai kembali normal, The Fed menggulirkan tapering off untuk menghentikan stimulus.
Bagaimana dengan Indonesia? Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli berharap OJK bisa mengisi terbatasnya fungsi BI. Ini berarti OJK seharusnya tidak semata-mata sibuk mengawasi dan mengatur bank, pasar modal, dan IKNB. OJK juga harus mampu mentransformasi perbankan nasional, pasar modal, dan INBK untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
“Dari sisi perbankan, misalnya, OJK harus mampu mengubah komposisi kredit yang selama ini hanya dinikmati pengusaha besar. Bukan rahasia lagi jika sekitar 80% dari total kredit perbankan dikucurkan bagi usaha besar. Sisanya yang 20% baru dibagikan kepada pengusaha kecil dan menengah. Padahal fakta membuktikan, justru usaha kecil dan menengah yang berkontribusi besar bagi perekonomian negara,” ujar pria yang biasa disapa RR ini.
Lelaki yang juga pernah menjadi Menteri Keuangan ini memang benar. Dari sekitar Rp 4.414 triliun pada April 2017, sebanyak 81,6 % dialokasikan untuk usaha skala besar. Sisanya yang 18,4% baru dikucurkan kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Komposisi njomplang inilah yang sudah lama digugat para pelaku usaha, khususnya ya dari UMKM itu. Namun bak anjing menggongong, kafilah berlalu. Pengusaha kecil dan menengah boleh protes, gelontoran kredit tetap saja mengalir ke pundi-pundi para raksasa. Begitulah.
Menurut Rizal Ramli, sangat elok bila OJK dapat ‘memaksa’ bank mengubah komposisi kreditnya, misalnya, menjadi 50:20:30. Maksudnya, 50% untuk pengusaha besar, 20% bagi pengusaha menengah, dan 30% dialokasikan untuk UMKM. Tentu saja, semua itu tidak bisa dilakukan dalam tempo singkat. Tapi mustinya, para bos baru OJK punya strategi dan program dalam jangka tertentu, tiga tahun misalnya, cita-cita tadi bisa dicapai.
Ekonomi Gelas Anggur
Perubahan komposisi kredit ini bisa mengubah struktur ekonomi Indonesia yang selama ini bak gelas anggur. Kelompok di atas jumlahnya sangat besar. Mereka adalah 160 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan 200 keluarga yang masing-masing bisa memiliki lebih dari 100 perusahaan. Sedangkan di bagian tengah seperti bentuk gagang gelas anggur, kecil dan tipis. Mereka adalah para pengusaha kelas menengah. Selanjutnya, pada bagian paling bawah kembali membesar yaitu ada sekitar 60 juta UMKM. Struktur ekonomi semacam ini sangat tidak adil.
Mengubah struktur kredit memang akan membuat pengusaha-pengusaha kakap mengalami kesulitan pembiayaan dari bank. Tapi ini justru bagus. Mereka harus dipaksa mencari sumber pembiayaan alternatif, antara lain dari pasar modal lewat mekanisme initial public offering (IPO) atau right issue.
Jika ini terjadi, maka dampak ikutannya bakal dahsyat. OJK berhasil menggairahkan pasar modal nasional. Memang harus diakui, pasar modal kita termasuk yang tumbuh paling cepat di kawasan. Namun dengan emiten yang 543 perusahaan, jumlah itu masih jauh dari potensi sebenarnya. Apalagi jika diukur dari jumlah investor yang cuma 500.000an, masih teramat jauh dari target yang 2 juta investor.
Mimpi Indonesia punya 2 juta investor adalah mimpi yang sudah lama sekali. Ketika saya masih menjadi redaktur ekonomi di satu media nasional pertengahan tahun 90an, obsesi ini sudah memenuhi benak para pemangku kepentingan. Sayangnya, setelah lewat dua daswarsa hingga kini target tersebut masih saja jauh panggang dari api.
Sehubungan dengan itu, mau tidak mau OJK harus aktif mendorong berkembangnya pasar modal kita. Jumlah emiten dan investor harus didongkrak beberapa kali lipat. Namun hal itu hanya bisa diwujudkan, bila berbagai peraturan yang tidak kondusif harus dibuang. Tentu saja, karena ini menyangkut penghimpunan dana publik, aspek kehati-hatian tetap dikedepankan dan menjadi hal utama.
RR juga prihatin terhadap kian dominannya asing dalam industri keuangan nasional. Penguasaaan asing yang tinggi dalam sektor perbankan dan IKNB berdampak pada dua sisi sekaligus. Pertama, besarnya keuntungan yang terbang ke luar negeri. Kedua, pada saat yang sama Indonesia jadi sangat rentan terhadap krisis. Komisioner OJK yang baru harus mampu menekan dominasi asing yang sudah melewati ambang batas bahaya tersebut.
Jangan Cuma Sosialisasi
Masih soal perbankan, OJK juga harus mampu mewujudkan cita-cita sistem bank yang inklusif. Yang tidak kalah pentingnya, OJK mesti serius meningkatkan penetrasi perbankan agar lebih baik lagi. Untuk mencapai tujuan tersebut, tidak cukup hanya dengan sosialisasi, apalagi dalam bentuk seminar-seminar. Kegiatan tersebut hanya memberi dampak minimal.
“Pimpinan OJK sebaiknya mulai melakukan langkah terobosan. Misalnya, dengan menggalakkan e-money. Cuma sebagai catatan, e-money di sini harus benar-benar sistem electronic money. Bukan sekadar menerbitkan berbagai jenis kartu kredit dan atau kartu debit,” tukas RR yang pernah menjadi penasehat ekonomi Perseriatan Bangsa Bangsa (PBB).
Caranya, menurut dia, harus mulai diinisiasi dan dikembangkan kerjasama antara perbankan dan perusahaan telekomunikasi. Jika ini sukses, kelak orang bisa bertransaksi hanya menggunakan telepon genggamnya. Setiap penduduk pemilik telepon pintar, akan punya nomor rekening yang sama dengan nomor teleponnya. Jadi, terbentuk masyarakat yang cashless sehingga lebih praktis dan lebih aman.
Terakhir, jangan lupa tujuan dibentuknya OJK, yang antara lain, untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Untuk itu, ke depan OJK harus bisa melindungi masyarakat dari iming-iming investasi bodong. OJK memang sudah membentuk Satgas Waspada Investasi. Namun entah karena apa, hingga kini masih saja banyak masyarakat yang menjadi korban. Biasanya masyarakat tergiur janji-janji return tinggi dengan risiko yang cenderung disembunyikan. Kasihan rakyat, ingin berinvestasi agar asset dan dana berkembang, yang terjadi malah terjengkang.
Ini berarti, komisoner baru OJK harus mampu meningkatkan kemampuan Satgasnya agar masyarakat benar-benar terlindungi. OJK harus benar-benar mampu mencerahkan masyarakat tentang pakem high risk high return. Dari sini baru kita boleh berharap korban investasi abal-abal bisa ditekan serendah mungkin.
—-
Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)