Ani dan Utang Kita yang Menggunung, Serta Paradoks Jokowi

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, JAKARTA: Beberapa hari lalu, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mengumumkan total utang Indonesia posisi November 2016, yakni mencapai Rp.3.485,4 Triliun. Dan jumlah ini naik siginifakan, yaitu Rp.45,58 Triliun, dibanding posisi Oktober senilai Rp.3.439,8 Triliun.

Hal tersebut dikemukakan oleh Direktur Program Center for Economic and Democracy Studies (CEDeS) Edy Mulyadi, di Jakarta, Rabu (18/1/2017).

Utang itu, kata Edy, berasal dari utang luar negeri sebesar Rp.744,38 Triliun atau sekitar 54,88 Miliar Dolar AS. Sisanya, Rp.2.740,98 Triliun atau setara 202,09 Miliar Dolar AS bersumber dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).

“Bagaimana kita memaknai angka-angka ini? Satu hal yang pasti, jumlah utang kita terus-terusan membengkak. Jumlahnya sudah superjumbo serta mengerikan. Dan, tentu saja, namanya juga utang, ya, harus dibayar. Pertanyaannya, siapa yang harus membayar?” tutur Edy.

Edy mengaku sengaja menyebut istilah “utang kita”, karena menurutnya, pada hakekatnya utang yang dibuat para petinggi negeri itu menjadi beban kita, rakyat Indonesia.

“Kendati tidak tahu-menahu dan tidak menikmati (secara langsung), rakyatlah yang sejatinya menanggung dan harus membayar utang tersebut. Para pejabat publik tadi mungkin juga tahu benar soal ini. Tapi, seberapa jauh mereka itu menaruh empati kepada rakyatnya, itu perkara lain,” katanya.

Edy memaparkan, dengan utang hampir Rp3.500 triliun, maka tiap jiwa penduduk di negeri ini menanggung utang Rp.13,9 Juta.

Jumlah ini, katanya, termasuk menjadi beban bayi yang baru lahir. “Anda bisa bayangkan, tiap jiwa dari kita, rakyat Indonesia, punya utang Rp.13,9 Juta. Padahal, kita sama sekali tidak tahu kapan dan untuk apa utang itu dibuat. Kesepakatan apa saja yang diambil, apa saja syarat-syaratnya, siapa dapat apa serta berapa banyak, dan seterusnya dan seterusnya,” ujar Edy bertanya-tanya.

Pemerintah melalui Menko Perekonomian Darmin Nasution atau Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kata Edy, boleh saja menyatakan jumlah utang itu masih aman. Apalagi kalau main-main dengan rasio produk domestik bruto (PDB), yang konon berada di angka 60%, tentu jumlah tersebut masih sangat aman sekali. “Lha wong PDB kita sudah sekitar Rp.12.000 Triliun, kok,” lontarnya.

Edy pun berpandangan, bahwa berpegang dengan rasio utang versus PDB jelas itu sikap sembrono. “Berapa banyak kisah negara lain yang  terus-terusan menggali utang karena dalih rasio utang dan PDB-nya masih lebar, tiba-tiba kolaps. Yunani, misalnya, adalah contoh bagus dari pemerintah yang terlena dengan rasio ini. Yunani akhirnya terpaksa menyatakan diri sebagai negara bangkrut karena tidak mampu membayar utang-utangnya,” jelas Edy.

Satu hal yang pasti, lanjut Edy, kendati tergolong aman, Pemerintah tidak boleh serampangan lagi dan lagi membuat utang-utang baru. Pemerinitah harus benar-benar memperhatikan tingkat kemampuan bayar utang.

“Kehati-hatian ini penting, agar ruang fiskal di APBN limbung karena ludes untuk membayar bunga dan cicilan pokoknya,” kata Edy.

Sayangnya, tambah Edy, kondisi ruang fiskal APBN kita sudah kadung supermepet. Paling tidak, begitulah pengakuan Sri Agustus tahun silam. “Waktu itu dia bahkan mengakui bahwa RAPBN 2017 tidak sehat. Pasalnya, terjadi defisit keseimbangan primer senilai Rp.109 Triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Rp.106 Triliun pada APBNP 2016. Dalam bahasa awamya, pemerintah harus berutang untuk membayar utang lama,” jelasnya.

Di sisi lain, lanjut Edy lagi, jumlah utang yang terus menggelembung ini sebetulnya menjadi paradoks dari keyakinan Presiden Jokowi. “Masih ingat saat kampanye Pilpres, mantan Walikota Solo ini dengan yakin berulang-ulang mengatakan; ‘ayo kerja, kerja, kerja. Jangan kuatir, uangnya ada’. Kini, dia (Jokowi) harus pusing tujuh keliling karena ternyata uangnya tidak ada!” tutur Edy.

Takdir Allah Yang Maha Kuasa, kata Edy, juga rupanya yang berlaku. Jokowi punya Menkeu Sri Mulyani. Di tengah kebingungan kas yang nyaris melompong, Sri Mulyani (Ani), tampil sebagai ‘penyelamat’. “Perempuan yang sempat digadang-gadang menjadi Capres pada 2014 itu melakukan sejumlah langkah ‘berani’. Pertama, dia memangkas anggaran banyak pos kementerian dan lembaga(K/L). kedua, dia cari utangan,” ungkap Edy.

Soal pangkas-memangkas anggaran, menurut pengamatan Edy, gunting Ani ternyata sangat tajam. Paling tidak, rekam jejak dia memang begitu. Pada perubahan kedua APBN 2016, misalnya, akhir Juli 2016 Ani telah memotong belanja kementerian dan lembaga (K/L) sebesar Rp.65 Triliun.

“Masih dianggap  cukup, dia juga mengurangi dana bagi hasil dan transfer khusus ke daerah hingga Rp.68,8 Triliun. Dengan demikian, gunting Ani telah memangkas anggaran sebesar Rp.133,8 Triliun. Bukan main,” tutur Edy.

Akibat pemotongan anggaran gede-gedean itu, sambung Edy, yang kelimpungan bukan cuma menteri dan para pembantunya, tapi juga Jokowi. “Bagaimana tidak, selama kampanye Presiden yang oleh Megawati disebut petugas partai itu bolak-balik janji akan menggenjot pembangunan infrstruktur. Lha, kalau anggarannya digunduli sedemikian rupa, mau mengongkosi pembangunan dengan apa? Pakai daun? Pada saat yang sama, gerojokan fulus dari Cina yang didamba-damba, ternyata seret. Pusinglah dia (Jokowi)!” kata Edy.

Bunga Supertinggi

Edy yang juga selaku penulis ini memaparkan, bahwa untuk urusan kedua, mencari utangan, Ani (Sri Mulyani) bisa disebut jagoannya. “Tapi, suksesnya dalam menggaet pinjaman ternyata lebih banyak disebabkan iming-iming bunga yang disorongkannya luar biasa menarik karena rajin mencari  pinjaman dengan menawarkan bunga supertinggi,” ungkapnya.

Edy pun mengisahkan, bahwa pada 2008, Indonesia menerbitkan global bond di New York sebesar 2 Miliar Dolar AS dengan tenor 10 tahun. Bunga yang diberikan 6,95%. Ini bunga obligasi negara tertinggi yang diberikan oleh negara ASEAN. Sebagai perbandingan, suku bunga global bond yang diterbitkan Malaysia waktu itu cuma 3,86%, Thailand 4,8%. Bahkan Filipina, yang selama ini dikenal sebagai The Sick Man in Asia, bunganya hanya 6,51%.

Yang lebih hebat lagi, lanjut Edy, pada 2009, untuk menambal defisit APBN, Ani kembali menerbitkan global bond senilai 3 Miliar Dolar AS. “Global bond itu terbagi dua; yakni 2 miliar Dolar AS berjangka waktu 10 tahun dengan bunga 11,75 persen dan 1 Miliar Dolar AS berjangka waktu lima tahun berbunga 10,5 persen,” ungkapnya.

Pada saat yang sama, lanjut Edy, Filipina menangguk dana dari pasar internasional sebesar 1,5 Miliar Dolar AS dengan bunga hanya 8,5% saja! Bunga obligasi Indonesia cuma kalah dari Pakistan, negara yang kerap diguncang ledakan bom, yang 12,5%.

Penjualan obligasi dengan bunga supertinggi itu, kata Edy, tentu saja laris-manis. Investor asing giat memburu obligasi Indonesia. “Menurut data Asia Bond Online yang dirilis Asian Development Bank (ADB), Indonesia tertinggi dalam hal komposisi dana asing dalam bentuk obligasi di ASEAN. Akibatnya, saat itu aliran dana asing yang masuk ke Indonesia mencapai 29,65 persen,” ungkap Edy.

Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, katanya, malah lebih mengerikan lagi. Sampai pertengahan Maret 2013 saat Sri Mulyani jadi Menkeu, porsi asing di pasar surat berharga  negara (SBN) telah mencapai Rp.285 Triliun atau 33% dari total SBN senilai Rp.854 Triliun. “Gampang ditebak, terus menggelembungnya komposisi asing dalam penguasaan obligasi Indonesia adalah karena bunga yang ditawarkan memang amat menggiurkan,” terang Edy.

Bunga obligasi yang supertinggi itu, menurut Edy, jelas sangat merugikan negara. “Bunganya pasti membebani APBN, dan juga memaksa korporasi Indonesia membayar bunga obligasi yang lebih tinggi lagi karena obligasi negara merupakan benchmark,” katanya.

Menambal defisit APBN dengan mencari utangan, menurut Edy, adalah cara gampangan. Maksudnya, pemerintah malas dan cenderung mencari enaknya saja.

“Bukankah mereka yang kini menggenggam kekuasaan adalah para cerdik pandai. Di Kementerian Keuangan, misalnya, adalah gudangnya para doktor ekonomi jebolan universitas bergengsi, bukan cuma nasional tapi juga internasional,” sindir Edy seraya menambahkan, seharusnya dengan pendidikan tinggi menjulang dan amanat di pundak, mereka berpikir keras bahkan ekstra keras, mencari upaya terobosan.

Membuat utang dan menjual saham BUMN, kata Edy, adalah cara-cara ‘primitif’ yang bisa dilakukan anak kuliahan semester-semester awal. “Tidak percaya? Beri mereka stempel Garuda Pancasila (kekuasaan dan wewenang) lalu kita lihat, berapa banyak utang yang bisa mereka  buat, dan berapa banyak BUMN yang sahamnya dilego ke asing dan aseng,” sindir Edy lagi seraya menambahkan, bahwa negeri ini saat ini sedang dikelola oleh mahzab neolib yang gigih dan taat. Yakni, mazhab yang amat doyan menyerahkan segala sesuatunya kepada mekanisme pasar, walau untuk itu harus mengorbankan kepentingan bangsa dan rakyatnya sendiri.

(ams/DM1)
Bagikan dengan:

Muis Syam

3,902 views

Next Post

Tempatkan Peserta Didik Dokter Ahli, Unhas dan Unsrat Pilih RSTN Boalemo

Kam Jan 19 , 2017
DM1.CO.ID, TILAMUTA: Belum dua bulan tim visitasi dari Kementerian Kesehatan RI berkunjung ke Rumah Sakit Tani dan Nelayan (RSTN) Kabupaten Boalemo dalam rangka peninjauan kesiapan penempatan dokter ahli, kini RSTN yang terletak di Kota Tilamuta ini kembali dikunjungi oleh sejumlah akademisi.