Ada Utang di Balik Sri Mulyani

Bagikan dengan:

DM1.CO. ID, JAKARTA: Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan (Menkeu) belakangan ini benar-benar jadi sorotan banyak kalangan dari berbagai penjuru.

Bagaimana tidak, Sri Mulyani yang sudah nampak tak bisa banyak membantu Presiden Jokowi itu, kini malah makin tampak “tak sadar diri” dengan kerap melontarkan statement yang tak hanya membuat publik kebingungan tetapi juga makin gerah.

Berikut ini adalah artikel dari sebuah laman jejaring Citizen News yang ditulis oleh seorang blogger, Kang Iping. Ia menyoroti statement Sri Mulyani yang terlontar bagai tanpa beban, dan seolah-olah tanpa dosa. Berikut tulisannya: (sejumlah kalimat telah diedit tanpa mengurangi maksudnya)

“Pernyataan Menkeu Sri Mulyani, pada kuliah umum di kampus STAN, Senin (17/4/2017) sungguh sangat mencengangkan. Ia menyebut, satu orang Indonesia menanggung utang negara masing-masing sebesar 13 juta rupiah.

Bagaimana mungkin negara begitu mudahnya mengatakan, bahwa rakyatnyalah yang harus menanggung beban utang negara?

Ini sangat jelas terlihat bagaimana kapasitas seorang Menkeu, yang katanya wanita berprestasi se-Asia dengan segudang pengalamannya yang mentereng, namun nyatanya tidak mampu mengatasi persoalan ekonomi, dan malah hanya seolah menyerahkan beban tugasnya kepada rakyat dengan pernyataannya yang begitu menohok.

Mengutip pernyataannya, bahwa jumlah rasio utang Indonesia saat ini sebesar 27 persen dari Gross Domestic Product (GDP) yang sekitar 13.000 Trilyun Rupiah, maka setiap masyarakat Indonesia memiliki utang sebesar 997 USD atau sekitar 13 Juta Rupiah perkepala.

Ditambah lagi menurutnya, bahwa utang 13 Juta Rupiah perkepala itu tentu tidak begitu membebani rakyat Indonesia yang populasinya sebagian besar adalah golongan produktif atau usia kurang dari 30 tahun.

Pertanyaannya, pantaskah pernyataan seperti itu dilontarkan seorang Menkeu dalam mengatasi permasalahan ekonomi bangsa?

Dengan makin meningkatnya Utang negara tiap tahun, seharusnya Sri Mulyani selaku Menkeu punya cara yang lebih brilian dalam mengurangi utang negara, daripada melontarkan retorika tidak bermutu yang justru malah menyakiti hati rakyat Indonesia.

Pernyataannya tersebut mengindikasikan bentuk pembelaan diri akibat ketidakmampuannya mengatasi lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Tanpa disadari dari makin bertambahnya utang negara diakibatkan karena prinsip gali lubang tutup lubang. Di mana untuk membayar utang yang ada, negara harus mengutang lagi untuk membayar utangnya, ditambah lagi dengan bunga yang lumayan tinggi.

Tidak adanya langkah-langkah atau kebijakan yang terarah, membuat negara makin merasa nyaman dengan prinsip ngutang daripada membuat aturan atau kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan negara.

Ditambah lagi dengan maraknya korupsi di berbagai sektor, membuat negara ini makin limbung perekonomiannya. Sehingga APBN tiap tahun makin terbebani dengan adanya utang yang terus meningkat.

Yang lebih menyedihkan adalah pembayaran bunga utang telah mencapai 221,2 Trilyun Rupiah pada tahun 2017 ini. Artinya, telah terjadi kenaikan 15,8 persen dari target APBNP 2016 sebesar 191,2 Trilyun Rupiah. Jumlah ini setara dengan 40 persen alokasi belanja non-Kementerian/Lembaga.

Hal itu tentu sangat memprihatinkan melihat bagaimana cara-cara Sri Mulyani mengelola keuangan negara, terkesan seperti sudah kehilangan akal dalam menyehatkan keuangan negara selain dengan jalan menumpuk utang.

Kementerian Keuangan sejauh ini sangat terlihat kurang kredibel dalam mengelola keuangan negara selama dipimpin oleh Sri Mulyani. Hampir setiap persoalan direspon dengan kebijakan menambah utang baru: gali lubang tutup lubang.

Kecanduan akan utang ini bukanlah hal yang baru bagi Sri Mulyani. Jabatan Menkeu yang selalu ia sandang mulai dari era SBY sampai dipercaya lagi oleh Pemerintahan Jokowi tak pernah lepas dari ketergantungannya akan utang.

Di awal pertama ia menjabat sebagai Menkeu pada 2005 sampai awal 2010, lonjakan utang negara begitu meningkat drastis dibandingkan jejak utang negara yang ditinggalkan mantan presiden Megawati sebelumnya.

Ketergantungannya akan utang diketahui oleh publik lantaran kedekatannya dengan IMF dan Bank Dunia yang selama ini menjadi kreditur terbesar dalam pemberi utang untuk Indonesia, sangat-sangat harmonis.

Terlihat bagaimana dari tahun 2002 hingga 2004 Sri Mulyani pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif IMF mewakili 12 negara Asia Tenggara.

Dan sangat bisa ditebak, bahwa kedekatannya dengan Bank Dunia pula yang membuat dirinya terselamatkan dari kejaran kasus Mega Korupsi Bank Century yang merugikan negara hampir 6,7 Trilyun Rupiah dan menjadikan dirinya sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia pada 2010.

Hal lain yang mengindikasikan kedekatannya dengan Bank Dunia, adalah pinjaman terhadap proyek PINTAR (Project for Indonesia Tax Administration Reform) sebesar 145 Juta USD. Di mana 128 Juta USD diperoleh dari pinjaman atau utang dari Bank Dunia, dan 17 Juta USD dari APBN sebagai alokasi dana cadangan. Namun hingga kini, proyek PINTAR tersebut tidak jelas prosesnya.

Kemungkinan tidak berjalannya proyek ini diakibatkan tersandungnya Sri Mulyani dalam kasus Bank Century, sehingga demi menyelamatkan dirinya, Sri Mulyani pun bergegas menerima jabatan yang “tiba-tiba” disediakan oleh Bank Dunia sebagai Direktur Pelaksana, tahun 2010.

Kedekatan dengan kedua kreditur terbesar utang inilah yang membuat kebijakan Sri Mulyani selalu mengandalkan utang dalam memperbaiki pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Alih-alih, bukannya mampu memperbaiki situasi, Sri Mulyani malah membuat pertumbuhan ekonomi kita makin statis dan menjadi beban bagi rakyat Indonesia.

Dari gambaran di atas, rakyat jangan terlalu berharap tercapainya program-program kesejahteraan, atau tumbuhnya perekonomian yang riil jika cara-cara tersebut masih dipraktekkan dalam mengelola keuangan negara. Pendapatan negara akan habis hanya untuk membayar utang-utang yang tiap tahun makin meningkat dan menumpuk.

Inilah saatnya Presiden Jokowi harus mengambil tindakan yang sangat efektif. Dengan mengevaluasi kembali tim ekonominya, terutama Sri Mulyani sebagai Menkeu yang kerap melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan serta kerap melontarkan pernyataan-pernyataan yang kontroversial. Kedekatannya dengan Bank Dunia dan IMF membuat bangsa ini tidak bisa lebas dari cengkraman kedua kreditur tersebut.

Kita sangat paham bagaimana Bank Dunia dan IMF dengan intrik-intriknya mencengkram dan menjerat bangsa ini dengan berbagai MoU, policy maupun perjanjian-perjanjian yang sangat tidak menguntungkan. Bagaimana bangsa ini dipermainkan mereka dengan cara-cara yang brutal selama beberapa puluh tahun agar bangsa ini bergantung kepada mereka. Kepentingan mereka terhadap bangsa ini membuat kita tidak bisa lepas dari utang hingga menyebabkan kemiskinan bangsa ini akan terus berlanjut sampai tujuh turunan.

Nama besar Bank Dunia dan IMF bukanlah jaminan bahwa Sri Mulyani pantas dibanggakan atau dianggap jenius dalam mengelola keuangan negara. Masih banyak orang-orang atau ekonom Indonesia yang mempunyai kapabilitas dan integritas yang tinggi dalam mengadopsi sistem perekonomian Indonesia yang berbasis kerakyatan sesuai NAWACITA Presiden Jokowi.

Bangsa ini tidak perlu seseorang yang mempunyai kedekatan bahkan seorang agen Neolib yang terus mengintimidasi perekonomian kita dengan berbagai kepentingan dan pinjaman yang terus membuai kita.

Saat ini yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah tokoh yang mampu membangun perekonomian kerakyatan dan berkeadilan sosial sesuai NAWACITA, dan bukan seseorang yang menjadikan bangsa ini kacung di negeri sendiri yang kaya raya ini.”

(Sumber: kang iping/DM1).

Bagikan dengan:

Muis Syam

16,710 views

Next Post

Walikota Gorontalo Ajak Warga Sukseskan Germas Hidup Sehat

Sel Apr 18 , 2017
Wartawan: Kisman Abubakar- Editor: AMS DM1.CO. ID, GORONTALO: Walikota Marten Taha mengajak kepada seluruh komponen masyarakat di daerahnya, agar dengan penuh kesadaran masing-masing untuk turut bekerjasama menyukseskan Gerakan Masyarakat (Germas) Hidup Sehat di Kota Gorontalo.