JAKSA Agung M. Prasetyo menegaskan, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak terbukti melakukan tindak penistaan agama, hingga hanya dikenai Pasal 156 KUHP dan dituntut satu tahun dengan masa percobaan dua tahun.
“Itu bukan penistaan agama, yang terbukti bukan penistaan agama,” beber Prasetyo kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (21/4/2017).
Saat ditanya jika tuntutan terhadap Ahok itu bakal kembali diprotes oleh sebagian umat Islam, Prasetyo pun berdalih bahwa jaksa berusaha objektif, karena ada juga yang menginginkan Ahok bebas.
“Saya katakan sekali lagi, sudut pandangnya tetap objektif. Hitam ya hitam, putih ya putih, tidak boleh dibolak-balik,” tandasnya.
Sayangnya, tak sedikit kalangan menilai, bahwa Prasetyo-lah yang justru membolak-balikkan fakta, hitam jadi putih dan putih dbuat hitam.
Sebab, bukankah dari awal Ahok didakwa akibat ungkapannya yang menyinggung surah al-Maidah 51 di hadapan publik? Di mana surah tersebut sangat jelas adalah milik agama Islam, bukan milik sebuah golongan.
Pemahaman kata agama dan golongan dalam konteks pasal 156 dan 156a KUHP memang sulit dibedakan. Tetapi, jika melihat fakta di lapangan, maka Ahok lebih tepat dikenai pasal 156a.
Sebab, pada pasal 156a tersebut selain spesifik menekankan kata agama (bukan golongan), juga pada pasal ini menegaskan kata penyalahgunaan yang diartikan sebagai bentuk penodaan.
Dari situ, Ahok sesungguhnya lebih tepat dinilai telah melakukan penyalahgunaan seperti yang ditekankan dalam pasal 156a KUHP. Mengapa?
Sebab, ia (sebagai non-Muslim) tak punya hak sedikitpun untuk mempermasalahkan satu surah pun dari alQuran di hadapan publik, apalagi jika dipermasalahkan bukan pada tempatnya, dengan maksud untuk kepentingan politik. Di sini saja unsur ‘penyalahgunaan’-nya (sebagaimana dalam pasal 156a) sudah terpenuhi.
Dan pemahaman inilah yang sepertinya dibolak-balik oleh Prasetyo dkk, yang boleh jadi sengaja dilakukan untuk sebagai “pengobat” kekalahan Ahok di Pilkada, pun boleh jadi sebagai penawar kekecewaan Ahok terhadap partai-partai pendukung (khususnya NasDem, partai asal Prasetyo).
Sejauh ini, negara sepertinya memang selalu saja berusaha pasang badan (berbagai cara ditempuh) hanya untuk membela seorang Ahok. Salah atau tidaknya Ahok, negara nampaknya selalu hadir untuk melindunginya. Termasuk kiranya yang dipertontonkan oleh Prasetyo yang kini seolah-olah bukan seorang Jaksa Agung, tetapi bagai juru bicara (jubir) Ahok.
Sebagai Jaksa Agung, Prasetyo tidak sepantasnya bersikap bagai seorang “petugas partai”, terutama dalam kasus yang melilit diri Ahok itu. Sebab, arogansi dan kesewenang-wenangan akan menjadi dasar dalam setiap pengambilan sikap dan keputusan.
Akibatnya, harapan untuk mengurangi dan mengatasi masalah di dunia hukum pun tidak akan pernah tercapai.
Selain itu, dengan arogansi dan kesewenang-wenangan yang subjektif, tentunya malah akan semakin menambah masalah atau persoalan secara sambung-menyambung dan terus menumpuk.
Buktinya, Prasetyo seakan mulai memperlihatkan arogansinya dengan menantang pihak pelapor kasus yang menjerat Ahok tersebut untuk melakukan protes.
Sebelumnya, dikabarkan para pelapor kasus yang menyeret Ahok akan melaporkan jaksa ke Komisi Kejaksaan (Komjak).
“Silakan dilaporkan, Komjak lebih tahu dia apa yang dikerjakan oleh jaksa,” tantang Prasetyo.
Tak hanya menantang, Jaksa Agung Prasetyo melalui JPU juga menuding Buni Yani sebagai pemicu keresahan yang terjadi di masyarakat dalam tuntutan Ahok. Dan menurut Prasetyo, hal itu merupakan fakta persidangan.
“Itu fakta persidangan juga, justru kegaduhan yang muncul, reaksi yang berlebihan itu muncul setelah ada upload dari Buni Yani dengan komentarnya, itu pemahaman dari jaksa,” celetuk Prasetyo.
Dari sikap Jaksa Agung yang menegaskan bahwa Ahok tidak terbukti melakukan tindak penodaan agama sehingga hanya dikenai Pasal 156 KUHP itu, membuat logika dan kenyataan pun ikut terbalik, yakni dari status “PENODAAN AGAMA menjadi PENODAAN GOLONGAN”.
Sikap Jaksa Agung Prasetyo ini pun spontan memunculkan banyak kecaman oleh kalangan dari berbagai penjuru. Intinya, Prasetyo dinilai sedang “masuk angin”.
Bahkan Rizal Ramli selaku tokoh nasional yang dikenal sebagai sosok anti-penindasan, melalui Twitter secara khusus menuliskan kekesalannya terhadap sikap seorang Jaksa Agung seperti Prasetyo.
“Saya ndak ngerti hukum,, agak bingung itu Jaksa Penuntut Umum atau Pembela Umum. Mohon tanya Pak @mohmahfudmd @Yusrilihza_Mhd,” tulis Rizal Ramli dalam akun Twitter-nya @RamliRizal.
“Bang Surya, katanya Restorasi Demokrasi — kok malah jadi Restorasi terdakwa via Kader Jaksa Agungnya ? Kok malah merusak sistem Hukum ?,” tanya @RamliRizal.
“Jaksa Agung, kader partai Nasdem, political appointee, kok Jaksa Agung jadi jubirnya Terdakwa ? Mas Prasetyo piye toh ?,” tanya @RamliRizal lagi.
Dan andai memang seperti itu yang sedang dilakoni oleh seorang jaksa agung, maka hukum di negeri ini sesungguhnya sudah menjelma bagai “tukang tambal ban” para kaum kapitalis yang berbau kolonialis.
—–
—Penulis: Abdul Muis Syam (Pengamat Independen dan Aktivis Penggerak Kedaulatan Rakyat)