DM1.CO.ID, EDITORIAL: Saat ini, pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Gorontalo telah menetapkan 7 orang tersangka, masing-masing tiga orang dari pihak Dinas PUPR Kota Gorontalo, dan empat orang lainnya adalah dari pihak rekanan.
Ketujuh tersangka tersebut terjerat dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pekerjaan optimalisasi Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Dungingi, Kota Gorontalo.
Dari proyek yang bernilai kontrak sebesar Rp.13,7 Miliar dari dana PEN itu, menurut Laporan Hasil Audit BPKP, ditemui kerugian negara sebesar Rp.2 Miliar lebih yang diduga timbul akibat ulah para tersangka.
Sehingga itu secara maraton, pada Rabu (20 Maret 2024) tiga tersangka dari pihak rekanan lebih dulu dijebloskan ke rumah tahanan (Rutan) Lapas Kelas IIA Kota Gorontalo. Keesokannya, pihak Kejari kembali menetapkan lagi 1 tersangka dari pihak rekanan dan juga langsung dimasukkan ke Rutan.
Selanjutnya, pada Jumat (22 Maret 2024), Kejari Kota Gorontalo kembali menetapkan 2 tersangka dari pihak Dinas PUPR Kota Gorontalo, dan juga keduanya langsung dijebloskan ke dalam Rutan. Disusul, pada Senin malam (25 Maret 2024), Kejari lagi-lagi juga ikut menahan RB (Kepala Dinas PUPR Kota Gorontalo).
Atas peristiwa penetapan para tersangka tersebut, di satu sisi, pihak Kejari Kota Gorontalo memang dianggap telah mampu memperlihatkan upaya penegakan hukum secara tegas.
Namun di sisi lain, pihak Kejari seharusnya jangan menutup telinga, bahwa pasca dijebloskannya para tersangka di Rutan, maka begitu banyak hati yang menangis dan menjerit menolak sikap Kejari yang dinilai tidak memiliki pertimbangan “manusiawi”.
Dari pantauan Wartawan DM1 di lapangan pasca penetapan dan penahanan para tersangka, ditemui kondisi Kantor Dinas PUPR Kota Gorontalo, terlihat sungguh sangat sunyi. Beberapa pegawai menyatakan sangat terpukul secara psikologis atas ditetapkannya kepala dinas mereka, dan Kepala Bidang (Kabid) Cipta Karya beserta seorang PPTK sebagai tersangka.
Para pegawai Dinas PUPR Kota Gorontalo pada Senin (25 Maret 2024) mengaku benar-benar kehilangan semangat kerja. Dan bahkan merasa bahwa kantor mereka saat ini ibarat “neraka”. Sehingga sebagian besar mereka lebih memilih untuk mendatangi Kantor Kejari Kota Gorontalo untuk memberikan semangat kepada atasan dan rekan mereka yang tertimpa musibah tersebut.
Tak hanya itu, beberapa pegawai lainnya juga mengungkapkan, bahwa dari kejadian tersebut maka di lingkungan dinas ini tak ada seorang pun lagi yang berminat untuk menduduki jabatan sebagai PPTK, Kabid, apalagi menjadi kepala dinas.
Lebih jauh, mereka umumnya menumpahkan kekecewaan terhadap sikap Kejari Kota Gorontalo dengan alasan yang seragam.
Yakni meski sepakat, setuju dan mendukung proses penegakan hukum yang diperlihatkan oleh pihak Kejari Kota Gorontalo, namun mereka menolak jika proses hukum itu tidak diikuti dengan pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Seharusnya, menurut mereka, pihak Kejari juga hendaknya bisa menahan diri di bulan suci Ramadan ini. Artinya, tak ada salahnya jika pihak Kejari menahan diri sementara waktu lebih dulu menghabiskan bulan Ramadan, setelah itu barulah ketujuh orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka, sekaligus dijebloskan ke dalam Rutan.
“Bukankah para tersangka itu juga punya istri, suami, dan anak-anak serta juga punya keluarga besar? Bagaimana perasaan mereka di bulan puasa ini? Kasihan kan? Apakah Kejari tidak memikirkan dan mempertimbangkan itu? Silakan itu memang haknya (Kejari)! Tapi tolong, apa susahnya menunggu bulan puasa selesai? Karena itu kan bukan OTT?” demikian lontaran curhatan sejumlah kalangan yang tak bersedia disebutkan identitasnya, dirangkum oleh redaksi DM1, Senin (25 Maret 2024).
Sekali lagi, publik umumnya mendukung langkah pihak kejaksaan dalam penegakan hukum terlebih pada masalah korupsi, namun mereka menolak jika penegakan hukum itu tidak melibatkan pertimbangan-pertimbangan kondisi yang sedang berlaku.
Bisa ditengok sejarah, bahwa pihak Kolonial Hindia Belanda saja dulu di negeri ini sangat menghormati bulan suci Ramadan, yakni dengan menerapkan hari libur sebulan penuh bagi anak-anak sekolah agar bisa fokus menunaikan ibadah-ibadah di bulan suci Ramadan berkumpul bersama keluarga.
Dan juga jangan lupa, bahwa keberadaan hukum sebagai norma sosial, adalah untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Namun pada prinsipnya, keberadaan hukum barulah mendapatkan keberlakuannya, ketika masyarakat menerimanya. (ams-dm1)