Oleh: Man Muhammad*
DM1.CO.ID, OPINI: Meskipun ada tuntunan wahyu, tetapi kecakapan Nabi Saw sebagai panglima dalam suatu pemerintahan tidak bisa dilepaskan dalam mengatur tatanan masyarakat Madinah. Perihal minuma keras misalnya. Saat itu masyarakat Arab yang senang minum minuman memabukkan dan telah memeluk Islam, pernah bertanya hukum minuman keras (miras/khamar) kepada Nabi Saw, tetapi Nabi Saw tidak langsung mengatakan itu haram. Sebab, kebiasaan orang-orang Arab saat itu adalah meminum khamar. Seandainya Nabi Saw langsung mengatakan minuman keras itu haram, bisa jadi Islam yang baru saja mereka terima langsung ditinggalkan. Semuanya bertahap, pertama berdasarkan wahyu pada surat an Nahl ayat 67 yang menerangkan tentang khamar yang terbuat dari buah korma dan anggur sebagai minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Belum ada sedikitpun menyinggung tentang dosa.
Selanjutnya, ayat tentang khamar kembali diturunkan, yaitu pada surat al Baqarah ayat 219. Dalam hal ini meskipun menyinggung tentang dosa tetapi juga sekaligus menyinggung tentang manfaat miras bagi manusia. Para sahabat saat itu yang awalnya adalah pemabuk, mulai pelan-pelan mengurangi meminum minuman keras. Tetapi, tetap saja masih ada yang suka mabuk-mabukan. Hingga pada suatu ketika ada kejadian di mana salah seorang sahabat yang sedang mabuk keliru membaca ayat dalam Alquran saat menjadi imam shalat. Karena itu turunlah ayat yang melarang untuk shalat jika dalam keadaan mabuk, agar dapat mengerti apa yang dibaca saat melaksanakan shalat. Frekuensi meminum minuman keras tambah menurun. Sampai akhirnya, pada tahap terakhir turun ayat dengan memberikan larangan mutlak meminum minuman keras bagi orang-orang yang beriman.
Belum sampai di situ, sebagai seorang pemimpin tertinggi, Nabi Saw sangat menjaga kesejahteraan masyarakat Madinah terutama penjagaan terhadap anak-anak terlantar. Pernah suatu ketika di hari Idul Fitri Nabi berpapasan dengan seorang anak yang menangis. Nabi Saw pun bertanya apa gerangan yang membuat anak itu menangis. Sambil menangis dan tanpa berani mengangkat kepalanya, anak tersebut bercerita kepada Nabi tentang keadaannya yang tidak lagi memiliki ayah dan ditinggal seorang diri oleh ibunya yang telah menikah lagi. Setelah mendengar cerita anak itu, dengan hati yang diliputi kesedihan, Nabi Saw berkata, “apakah engkau mau aku jadi bapakmu, Aisyah jadi ibumu, Fathimah jadi saudara perempuanmu, Ali jadi pamanmu, Hasan dan Husein jadi saudara lelakimu?” Seketika anak itu berhenti menangis dan melihat takjub kepada Nabi Saw, sembari berkata “bagaimana mungkin aku tidak menginginkan itu wahai Rasulullah?” Akhirnya, Nabi Saw pun mengajak anak kecil itu ke rumahnya, memakaikan sendiri pakaian baru ke anak itu. Kemudian Nabi tersenyum ketika melihat anak itu penuh kegembiraan berlari menuju teman-temannya yang sedang bermain.
Kisah yang hampir serupa pun pernah terjadi di masa Umar bin Khattab saat menjadi khalifah yang di mana Madinah sebagai pusat pemerintahannya. Di tengah malam yang gulita, ketika mendengar tangisan anak kecil yang kelaparan dan melihat seorang ibu yang memasak batu agar anak-anaknnya bisa tertidur karena mengira ia sementara menanak makanan, membuat khalifah Umar sedih dengan cucuran air mata yang tak bisa berhenti. Segera ia beranjak ke gudang gandum dan memikul sendirian sekarung gandum untuk dibawakan ke tenda di mana anak-anak tersebut berada tanpa menghiraukan pembantunya yang memaksa memikul gandum yang tengah dipikul Umar. Dengan nada marah dan terus berjalan Umar berkata, “apakah engkau yang akan memikul dosaku di akhirat karena membiarkan rakyatku kelaparan di dunia?” Sesampainya di tenda, Umar sendiri yang menanak gandum, dan setelah matang ia sendiri yang menyuapkan. Anak-anak tersebut tersenyum penuh kegirangan karena mendapatkan makanan, bersamaan dengan air mata Umar yang masih terus bercucuran.
Ya, itulah sekilas tentang pemandangan tata pemerintahan Kota Madinah dibangun oleh para pemimpin yang tidak hanya mengandalkan keimanan, tetapi juga pemimpin yang tidak pernah luput dari nilai-nilai kemanusiaan.
Beberapa hari yang lalu Gorontalo sebagai Serambi Madinah baru saja merayakan hari kemerdekaannya dari belenggu penjajahan lewat perjuangan pak Nani Wartabone bersama kawan-kawannya dan tentunya semua masyarakat Gorontalo saat itu. Tepat 23 Januari 1942, setelah penjajah berhasil dipukul mundur dan menyatakan menyerah, gema teriakan merdeka dan riuhnya suara kegembiraan menggelegar seangkasa Gorontalo. Merah-Putih berkibar dengan perkasa. Tua-muda, pria-wanita, besar-kecil, dewasa dan anak-anak, semuanya menyatu padu dalam rasa bahagia. Hari itu pun jadi momen yang tidak terlupakan. Mengabadi bersama sejarah. Dirayakan sebagai simbol menolak lupa. Bahwa 79 tahun sudah kita rakyat Gorontalo telah merdeka dari segala bentuk penjajahan di atas dunia.
Jauh sebelumnya, dengan falsafah “Adati hula-hula’a to syara’a, syara’a hula-hula’a to kitabullah” (Adat yang bersendikan syariat dan syariat yang berlandaskan Alquran dan Hadis, pen) yang dicetuskan oleh Eyato dua abad silam, sekaligus bisa dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya slogan Serambi Madinah untuk Gorontalo, menjadi semacam spektrum kebanggaan masyarakat Gorontalo dalam beragama serta menjadi tumpuan paling dasar untuk menyikapi realitas kehidupan sosial yang menyandingkan antara adab dan adat. Atas dasar itu pula penulis berpandangan –semoga tidak berlebihan— adat dan adab adalah agama (Islam) yang dianut masyarakat Gorontalo. Islam masyarakat Gorontalo ya adab (syariat) dan adat. Adab dan adat ya itulah Islamnya orang Gorontalo. Jika satu di antara dua hal tersebut hilang atau dihilangkan secara sengaja –tanpa dasar apapun— oleh yang mengaku orang Gorontalo, maka perlu dipertanyakan lagi keislamannya.
Lahirnya falsafah Gorontalo atau pun slogan Serambi Madinah, pastinya tidak hadir begitu saja. Tentu ada hal-hal mendasar yang mengilhami hal tersebut. Jika falsafah lahir karena kehadiran Islam yang mengakomodir adat istiadat masyarakat Gorontalo agar tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama, begitu pula dengan slogan Serambi Madinah yang sengaja diambil dari nama Kota Suci Madinah dengan harapan agar kota dan masyarakatnya bisa seperti Madinah al Munawwarah, kota yang gemilang dengan topangan iman dan Islam dalam membangun masyarakat yang madani.
Terlalu berlebihan jika saya harus mengatakan jauh pungguk merindukan bulan. Karena para orang tua terdahulu kita telah bersusah-susah membangun Gorontalo. Lewat perang saudara sesama Gorontalo, lewat perang melawan dan mengusir penjajah yang semena-mena yang tidak memanusiakan manusia.
Tetapi, melihat realitas hari ini yang terjadi di Kota Gorontalo sebagai pusat Serambi Madinah dengan Smart City yang menjadi visi pembangunannya dan Kota Layak Anak yang digembor-gemborkan, seperti berbanding terbalik dengan kenyataan. Baik itu merujuk kepada Serambi Madinah, Smart City, atau pun Kota Layak Anak. Sebab, sampai detik ini, masih saja kita temukan gelandangan dan pengemis yang hampir terlihat di setiap sudut kota dan kebanyakan dari kalangan anak-anak. Parahnya, kemarin, menjelang hari hari Patriotik Gorontalo, Kota Gorontalo digegerkan dengan video bayi berumur 4 bulan yang dicekoki minuman keras oleh seorang pemuda berumur 27 tahun.
Lalu, bagaimana falsafah “Adati hula-hula’a to syara’a, syara’a hula-hula’a to kitabullah” dengan Serambi Madinah sebagai gambaran bahwa benih-benih keislaman telah tumbuh sejak ratusan tahun lalu, dalam melihat realitas apa yang tengah terjadi di Kota Gorontalo sebagai central pemerintahan Provinsi Gorontalo yang saat ini roda pemerintahannya di bawah kepemimpinan Marten Taha? Apakah masih ada yang tersisa dari falsafah Gorontalo dalam menjalankan roda pemerintahan Kota Gorontalo selama dua periode? Sudah sampai mana Smart City dan Kota Layak Anak yang digaungkan oleh Marten Taha sebagai Walikota? Masihkah ‘pantas’ slogan Serambi Madinah disandang? Atau, jangan-jangan semuanya tinggallah “ilusi”. Wallahu A’lam.
—–
*Penulis adalah pemerhati sosial, budaya dan lingkungan