Oleh: Abdul Muis Syam
DM1.CO.ID, JAKARTA: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 mengalokasikan belanja Rp. 2.080 Triliun. Dalam APBN yang sama, Pemerintah menargetkan total penerimaan atau Pendapatan sebesar Rp.1.750 Triliun dan utang Rp.330 Triliun.
Dari total target pendapatan negara tersebut, dari pajak ditargetkan dapat menyumbang pendapatan sebesar Rp.1.308 Triliun atau sekitar 75 persen.
Jika melihat realisasi penerimaan pajak tahun 2016 yang mencapai Rp.1.105 Triliun, maka Pemerintah harus mampu memompa pertumbuhan pendapatan pajak sebesar 18,5 persen apabila ingin mencapai target pendapatan pajak tahun ini.
Realisasi pendapatan pajak tahun 2016 itupun bisa mencapai Rp.1.105 Triliun karena telah ditopang oleh Tax Amnesty. Bila tidak dilakukan Tax Amnesty, maka pendapatan pajak 2016 hanya sebesar Rp.998 Triliun atau sekitar 73,6% dari target APBN Perubahan 2016 sebesar Rp 1.355 Triliun. Artinya, tanpa Tax Amnesty, pendapatan pajak tahun 2016 tidak akan berada pada Rp.1.105 Triliun.
Capaian program Tax Amnesty itupun sesungguhnya hanya ibarat percikan, yang boleh dikata sangat tidak memuaskan. Sebab, total capaian Tax Amnesty yang hanya di bawah Rp.150 Triliun itu masih jauh dari target Rp.1.000 Triliun yang sebelumnya dipatok oleh pemerintah. Dan hal ini sekaligus membuktikan, bahwa Tax Amnesty ternyata tidaklah sehebat seperti yang digembar-gemborkan sebelumnya oleh Darmin Nasution (Menko Perekonomian) dan Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan.
Bahkan, Darmin dan Sri nampak tak berdaya mendongkrak penerimaan pajak pada triwulan I (pertama) 2017. Di lansir Kompas, sampai dengan 30 Maret 2017 (meski masih dilakukan Tax Amnesty), namun realisasi penerimaan pajak adalah sebesar Rp.209 Triliun, atau hanya sekitar 15,98 persen dari target pendapatan pajak dalam APBN 2017. Seharusnya, jika Pemerintah ingin mencapai target pendapatan 100 persen, maka realisasi penerimaan pajak semestinya sekitar 25 persen terhadap target pajak tiap triwulan.
Sehingganya, untuk memompa pertumbuhan pendapatan pajak tahun inipun Pemerintah harus benar-benar melibatkan kekuatan ekstra. Mampukah? Jawabnya, sangat kecil kemungkinannya! Sebab, penerimaan pajak-pajak yang diharapkan dalam jumlah besar tersebut adalah dari rakyat. Bagaimana mungkin rakyat bisa membayar pajak jika Pemerintah belum mampu menaikkan tingkat kesejahteraan rakyatnya?
Dalam hal ini, andai saja tim ekonomi (menteri-menteri bidang ekonomi) yang ada di dalam kabinet punya banyak terobosan memberdayakan kesuburan dan kekayaan di negeri ini (bukan pandai berutang dan “memeras” rakyat melalui berbagai kebijakan yang hanya menyusahkan rakyat, misalnya pencabutan subsidi atau kenaikan harga bbm dan kebutuhan lainnya), maka Pemerintah tidak perlu cemas mengenai pendapatan hingga harus repot-repot berkutak pada masalah pajak.
Anehnya, dari kondisi kesulitan bangsa yang terjadi saat ini, para menteri (tim) ekonomi itu justru merasa diri sebagai pihak berprestasi. Padahal kenyataanya, kinerja yang telah ditampilkan oleh tim ekonomi saat ini masih sangat jauh dari capaian yang diharapkan.
Dan parahnya, dalam kondisi seperti itu, mereka enggan mengali cara yang disodorkan sebagai saran alternatif untuk solusi terbaik dari pihak lain. Seolah seburuk apapun cara mereka, maka itulah yang terbaik.
Padahal, selain realisasi program Tax Amnesty yang boleh dikata gagal, penerimaan bea dan cukai juga tak mampu dicapai sesuai yang ditargetkan.
Realisasi penerimaan bea dan cukai dari Januari hingga 21 Juni 2017, tercatat sebesar Rp.57,6 Triliun. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemkeu), jumlah tersebut terdiri dari penerimaan dari bea masuk Rp.15,6 Triliun; penerimaan cukai Rp.40,2 Triliun; dan penerimaan bea keluar Rp.1,6 Triliun.
Namun capaian penerimaan bea dan cukai tersebut ternyata belum mencapai separuh target, yaitu hanya 30,12 persen dari target dalam APBN 2017 yang dipatok sebesar Rp.191,23 Triliun.
Semua yang diuraikan di atas, tampaknya hanyalah segores catatan kecil dari setumpuk catatan kelam (kinerja buruk) yang telah diukir oleh Sri Mulyani selama berada di dalam pemerintahan, baik pada masa lalu maupun pada masa kini bersama sang Menko Perekonomian, Darmin Nasution.
Namun anehnya lagi, meski tidak sedikit rakyat di negeri ini telah mengetahui adanya “catatan hitam dan rapor merah” yang diperbuat oleh Sri Mulyani, nyatanya Pemerintahan yang mengaku pro-rakyat dan berlabel Trisakti ini justru seolah “tunduk” pada sosok “agen” World Bank dan IMF itu.
Menurut sejumlah pengamat, Sri Mulyani dan Darmin adalah tipe ekonom yang hanya text book thinker, penghafal mazhab neolib, yang rumusnya antara lain ngutang dan potong anggaran.
Menurut pengamat, kalau dulu Harmoko dikenal dengan istilah apa-apa serba “atas petunjuk Bapak Presiden”. Sekarang ini dengan Darmin dan Sri Mulyani, apa-apa serba “atas petunjuk World Bank dan IMF’’. Sehingga tak perlu heran jika rezim Pemerintah saat ini lebih gampang mengeluarkan kebijakan yang “menindas” (menekan) rakyat, itu bisa ditebak karena demi menghidupkan dan menyukseskan “misi” World Bank dan IMF yang kini diemban oleh Sri Mulyani.
Jika memang tak ada misi IMF (atau mungkin misi poilitik lain) yang diemban oleh Sri Mulyani dan Darmin Nasution, maka kedua sosok ekonom penganut paham neolib ini seharusnya sedari dulu sudah “lempar handuk” karena kondisi ekonomi bangsa dan negara ini yang masih sangat memprihatinkan, tak ada tanda-tanda perbaikan, bahkan semakin memperlihatkan indikasi menuju kerusakan yang lebih fatal. Yakni, Sri Mulyani dihembuskan berhasil “membujuk” Presiden Jokowi untuk menduduki Menko Perekonomian.
Jika hembusan (kabar gosip) ini benar, maka ini sama saja mempercepat hilangnya kepercayaan rakyat terhadap Pemerintahan Jokowi, juga sekaligus sebagai tanda dimulainya babak “penindasan rakyat” pada level yang lebih tajam. Dan apabila level ini terjadi, maka sangat boleh jadi bukan hanya Sri Mulyani yang akan didesak lempar handuk, tetapi juga Jokowi selaku Presiden harus dengan terhormat diminta untuk “lempar handuk” karena dianggap sudah tak berdaya memperjuangkan dan mewujudkan cita-cita Trisakti.
Menurut kalangan intelektual dari berbagai lapisan, Jokowi pada sisa-sisa waktu (periode) kepemimpinannya selaku Presiden seharusnya sudah bisa secara terang-benderang melihat mana menteri yang mampu menyenangkan hati rakyat, dan mana menteri yang hanya menyakiti atau mencederai hati rakyat.
Presiden Jokowi harus yakin, bahwa pemimpin yang meski harus tumbang ketika membela habis-habisan kepentingan rakyatnya adalah pemimpin yang paling mulia. Sebaliknya, pemimpin yang melawan kehendak rakyatnya dan tunduk pada kepentingan kelompok tertentu demi mempertahankan singgasananya adalah pemimpin yang paling hina.
Olehnya itu, pada sisa waktu (periode) kepemimpinan Jokowi selaku Presiden seperti saat ini hendaknya dimanfaatkan untuk segera merombak dan membersihkan Kabinet Kerja dari menteri-menteri yang tidak berpihak kepada wong cilik, yang lebih berpegang teguh pada paham neoliberalisme.
Sekadar mengingatkan, bahwa penolakan Presiden RI Pertama, Soekarno, terhadap liberalisme ekonomi (neolib) nyata dan jelas, antara lain dikatakannya melalui salah satu tulisannya di dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi: Liberalisme ekonomi telah membawa bencana, menjadi ibunya semua bencana…”.
Olehnya itu, jika memang sisa waktu dalam periode ini Presiden Jokowi harus melakukan reshuffle, maka inilah saatnya untuk berbenah dengan cara “melempar” jauh-jauh sosok neolib dari lingkungan pemerintahan, dan sebagai gantinya ada banyak di depan mata sosok ekonom yang telah terbukti benar-benar pro-wong cilik . Dan hanya dengan begitu, kesempatan untuk mewujudkan cita-cita Trisakti secara all out bisa ditunaikan demi Indonesia Hebat.
(dbs/DM1)