DM1.CO.ID, BEIJING: Pada 2017 kali ini, Pemerintah Cina kembali mengeluarkan aturan baru yang dipandang sangat diskriminatif terhadap warga Muslim di Provinsi Xinjiang, Cina.
Dianggap diskriminatif, karena dalam peraturan itu menegaskan kepada setiap warga Muslim setempat, agar tidak menggunakan penyebutan unsur yang berbau Islam untuk dipakai sebagai nama orang. Misalnya: Muhammad, Rizal, Abdul, Ali, Umar, Hasan, Syarif, Habibie, Rahmat, Siti, Humairah, Sabrina, Khadijah, Aisyah, Fitri, Mujahid, Madina, Arafat, dan lain sejenisnya.
Dokumen mengenai isi larangan tersebut didapatkan oleh The New York Times. Di dalamnya, terdapat sangat banyak daftar nama-nama yang dekat dengan unsur Islam atau cenderung dimiliki oleh setiap Muslim yang tidak diperkenankan untuk digunakan.
Pejabat Cina dikabarkan sudah mengonfirmasi, bahwa aturan tersebut benar dan akan diberlakukan dalam waktu dekat.
Dalam larangan penggunaan nama dengan unsur Islam pada aturan tersebut ditekankan, bahwa mereka yang melanggar dapat dikenakan sanksi, yaitu secara penuh tidak diberikan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan seluruh hak-hak yang berkaitan dengan pelayanan publik lainnya.
Warga yang beragama Islam di Provinsi Xinjiang terdiri beberapa etnis Muslim, yakni etnis Uighur, Hui, dan Kazakh. Dan menurut data yang ada, jumlah penduduk Muslim di Cina pada lima tahun terakhir ini berkembang sangat pesat, yakni telah mencapai 50 juta jiwa.
“Kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Cina kali ini semakin mengekang dan menimbulkan permusuhan. Muslim Uighur dengan terpaksa harus berhati-hati untuk memberi nama bagi anak-anak mereka,” ungkap juru bicara Kongres Uighur untuk Dunia, Dilxat Raxit, dilansir The Times, Kamis (27/4/2017).
Larangan itu juga telah didahului dengan dikeluarkannya aturan yang tidak memperkenankan warga laki-laki di Xinjiang memiliki jenggot panjang, pada awal April lalu. Bagi perempuan, mereka tidak diperbolehkan menggunakan hijab panjang dan cadar, khususnya di tempat-tempat umum.
Aturan ini juga memerintahkan para petugas yang bekerja di tempat umum, seperti di stasiun kereta api dan bandara harus mengawasi orang-orang yang melanggar aturan.
Mereka yang kedapatan mengenakan cadar, dan memiliki jenggot panjang, tidak diperkenankan menggunakan transportasi umum, dan bahkan harus dilaporkan untuk kepmudian berurusan dengan kepolisian setempat.
Seluruh peraturan terbaru itu dikatakan oleh Pemerintah Cina adalah sebagai upaya mencegah kelompok radikal terkait Islam. Sebab menurut Pemerintah Cina, beberapa tahun terakhir sejumlah kekerasan terjadi di Xinjiang dan diduga berhubungan dengan organisasi semacam itu.
Aturan baru yang juga diterapkan bagi warga Muslim di Xinjiang yang dikeluarkan pada tahun ini, di antaranya adalah melarang menyekolahkan anak-anak mereka di tempat lain (misalnya, di pesantren) selain sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga menerapkan penegasan kepada mereka untuk mematuhi kebijakan keluarga berencana, dan juga dilarang menikah jika hanya melalui proses agama.
Itulah aturan-aturan baru yang dikeluarkan oleh Pemerintah Cina, yang suka atau tidak suka harus berusaha dipatuhi oleh warga Muslim di Provinsi Xinjiang, meski merasakan diskriminasi dan bahkan penindasan pelan-pelan secara rutin dari pemerintah pusat, di Beijing.
Sebelumnya, pada 2016 lalu, Pemerintah Cina juga telah mengeluarkan larangan terhadap warga minoritas Muslim di Provinsi Xinjiang, untuk tidak menggelar sejumlah kegiatan keagamaan, terutama larangan berpuasa saat Bulan Suci Ramadhan tiba.
Akibatnya, warga Muslim di Xinjiang itupun terpaksa hanya bisa menunaikan ibadah puasa secara sembunyi-sembunyi pada Bulan Ramadhan. Dan semoga kita di Indonesia bukan malah sebaliknya, yang harus sembunyi-sembunyi jika tidak berpuasa.
Dan juga sepatutnya seluruh Rakyat Indonesia bersyukur, karena hingga saat ini meski Muslim adalah penduduk mayoritas di Indonesia, tapi sejauh ini masih senantiasa menjaga keutuhan kaum minoritas (bukan individu) dalam bingkai NKRI yang berbhinneka tunggal ika.
(dbs/DM1)