DM1.CO.ID, JAKARTA: Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperlihatkan keseriusan untuk mengejar kewajiban pajak dari Google Asia Pacific Pte Ltd. Hari ini jajaran petinggi Google dipanggil untuk menghadap Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak).
Akan tetapi seberapa kuat Ditjen Pajak untuk memaksa Google memenuhi kewajibannya?
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi memastikan pihaknya telah memiliki data yang meliputi laporan keuangan dari Google. Data itu yang menjadi acuan bagi Ditjen Pajak untuk menghitung kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan Google.
“Saya ada datanya, begitu saja. Saya mau buka datanya,” kata Ken , Kamis (19/1/2017)
Dalam pertemuan terakhir dengan Google, Ditjen Pajak telah menyampaikan nominal yang harusnya dibayarkan oleh Google. Akan tetapi Google menolak dan menawar nominal yang sudah disampaikan oleh Ditjen Pajak.
Kepala Kantor Wilayah Pajak Khusus Ditjen Pajak M Haniv mengaku sebelumnya telah mendapatkan data dari salah satu jajaran direksi Google di Singapura tentang pendapatan perusahaan tersebut.
Untuk itu, muncul satu angka yang ditetapkan sebagai pajak yang harus dibayarkan Google. Angka itu pun, menurut Haniv tidak sebesar yang seharusnya. Ini lebih dianggap sebagai angka damai agar ke depan Google menjadi patuh dalam pembayaran pajak.
“Saya bilang bahwa ini Direktur Akuntansimu ini sudah memberikan data. Saya tunjukin datanya. Dihitung pajaknya justru lebih besar dibanding angka settlement,” tegas Haniv.
Selain data, Ditjen Pajak memiliki kekuatan lain untuk memaksa Google. Adalah pasar yang besar. Keuntungan yang didapatkan Google dari Indonesia sangat besar. Bila akses tersebut diputus, maka Google bisa menderita kerugian yang cukup besar.
Aksi Google menghindari pajak tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga dialami oleh banyak negara. Inggris menjadi salah satu negara yang berhasil dalam memaksa Google membayar pajak. Kerasnya pengejaran banyak negara, karena Google memang tidak bermoral.
Alasannya, Google membuat perencanaan pajak yang bisa terhindar dari berbagai jenis hukum. Terlihat penempatan kantor perwakilan pada satu negara dengan tarif pajak yang lebih rendah. Misalnya untuk wilayah Asia Pasifik yaitu Singapura.
Dalam aktivitas usaha, Google menggunakan skema online. Bila ada perusahaan dari negara manapun ingin memanfaatkan jasa dari Google, maka seluruh administrasi diselesaikan dengan sistem online. Termasuk untuk pembayaran.
Sehingga ketika ada pendapatan masuk, Google berhasil menelan dengan mentah-mentah. Artinya tidak ada potongan pajak yang seharusnya wajib dibayar untuk negara tempat Google menerima pendapatannya. Google cukup membayar pajak pada negara yang menjadi lokasi kantor perwakilan.
Padahal hukum yang berlaku di banyak negara, terutama Indonesia, siapa pun yang mendapatkan keuntungan dari aktivitas ekonomi di negara tersebut, diwajibkan membayar pajak.
“Jadi tax planning yang dilakukan Google ini tidak bermoral. Karena menarik uang di negara tersebut tapi tidak membayar pajak,” kata Darussalam, Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center kepada detikFinance.
(dtc/DM1)