Press-Release
PADA dasarnya, sistem pembuangan sampah di Rumah Sakit Tani dan Nelayan (RSTN) Kabupaten Boalemo sudah berjalan sesuai SOP (Standar Operasional Prosedur) pengelolaan sampah rumah sakit.
Yakni, melalui beberapa tahap. Mulai dari tahap reduksi, pemilihan dan pewadahan, pengumpulan, pengelolaan setempat hingga pengangkutan.
Sejak masih di unit pelayanan/ruang pelayanan, sampah rumah sakit telah melalui proses pemilihan dan pewadahan, di mana sampah RS ini terdiri dari sampah medis dan non-medis yang masing-masing memiliki wadah penampungan tersendiri dengan label dan warna tertentu.
Untuk sampah medis dipilah lagi menjadi sampah tajam dan non-tajam yang masing-masing memiliki wadah yang telah berlabel, sehingga memudahkan petugas pengelola sampah. Kendala utama saat ini terletak pada proses pengelolaan setempat dan pengangkutan.
RSTN sebelumnya memiliki incinerator atau pembakaran sampah yang digunakan untuk mengelola limbah medis, tetapi sejak November 2014 alat ini rusak total, sehingga proses pengelolaan sampah setempat terhenti.
Situasi seperti itu membuat seluruh sampah medis hanya bisa ditampung dan dikumpulkan dalam tempat penampungan sementara sambil pihak RSTN tetap berusaha untuk melakukan kerjasama dengan Dinas Kesehatan atau RS lain yang memiliki incinerator.
Sebetulnya, Manajemen RSTN berkeinginan untuk membeli kembali alat incinerator, namun ternyata alat tersebut (incinerator) sudah tidak direkomendasikan lagi (tidak masuk dalam e-catalog).
Selain itu, Dinas Lingkungan Hidup juga saat ini tidak memberikan izin untuk menggunakan atau mengoperasikan alat incinerator karena menurutnya bisa menyebabkan polusi. Padahal, sebetulnya yang paling berakibat mendatangkan dampak adalah sampah yang berceceran dibandingkan dengan polusi asap dari pembakaran sampah.
Alat pengeloaan sampah medis yang direkomendasikan saat ini adalah dengan sistem autoclave, tetapi harganya sangat mahal mencapai Rp.3,3 Miliar. Pihak RSTN /Pemda Boalemo tidak mampu untuk membeli alat tersebut, dan bahkan tidak dapat mengusulkan melalui dana DAK, sebab alat ini belum masuk dalam Juknis DAK.
Permasalahannya adalah tidak semua RS atau Dinas Kesehatan di Provinsi Gorontalo memiliki alat pengelolaan limbah tersebut. Ada beberapa yang punya, itupun belum mengantongi izin dari Dinas Lingkungan Hidup, sehingga untuk melakukan kerjasama pengelolaan sampah medis masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan.
Olehnya itu sambil menunggu solusi yang terbaik, pihak RSTN pun mengambil langkah berupa menyimpan limbah/sampah medis di tempat penampungan sementara, di area belakang RSTN.
Namun produksi sampah medis terus meningkat setiap harinya seiring dengan meningkatnya jumlah kunjungan dan perawatan pasien di RSTN. Hal ini menjadi permasalah karena kapasitas penampungan terbatas, sehingga untuk barang-barang tertentu (limbah medis non tajam) dilakukan pembakaran biasa. Sedangkan untuk limbah medis tajam tetap disimpan.
Jika sempat dikabarkan bahwa pihak RSTN dinilai sengaja membiarkan limbah medis berceceraan, maka kabar itu sudah pasti sangat keliru, sehingganya perlu diluruskan.
Bahwa adanya limbah medis padat berceceran di halaman belakang RSTN, itu sama sekali tidak ada unsur kesengajaan. Hal itu terjadi karena over kapasitas penampungan sampah, ditambah lagi dengan pihak-pihak tertentu (terutama para pemulung) yang tidak bertanggungjawab setelah membongkar-bongkar dan mengambil sampah plastik pada wadah sampah medis, isinya langsung dibuang sembarangan dan dibiarkan berserakan.
Dari permasalahan tersebut, pihak RSTN merasa persoalan ini seharusnya dipikirkan oleh pihak-pihak terkait lainnya untuk mencarikan solusinya, sekaligus supaya menjadi perhatian khusus untuk pemerintah agar permasalahan ini tidak berlarut-larut.
Pihak RSTN juga berterima kasih kepada sejumlah pihak yang menyoroti persoalan pengelolaan sampah ini.
“Kondisi permasalahan ini (soal pengelolaan sampah) pernah kami sampaikan saat Rakerkesda Provinsi Gorontalo tahun 2017. Dan bahkan pernah kami sampaikan kepada komisi IV DPRD Provinsi Gorontalo untuk memperoleh solusi terbaik,” ujar Direktur RSTN, dr. Sukri Djakatara.
RSTN terus berupaya untuk melakukan kerjasama dengan pihak terkait termasuk merencanakan untuk menyewa alat atau kerjasama dengan sistem KSO (Kerja Sama Operasional).
Seluruh upaya untuk terus membenahi pengelolaan limbah medis di RSTN, pada prinsipnya adalah sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab pihak RSTN terhadap kesehatan lingkungan masyarakat dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.
(*/dm1c)