DM1.CO.ID, JAKARTA: SAYA tidak akan memaksa kepada siapapun untuk menyepakati artikel intuisi saya ini. Sebab, kebenaran apapun yang timbul dari sebuah pemikiran, tentunya akan sangat sulit diterima oleh mereka-mereka yang berada pada sudut pandang yang berbeda, apalagi dari mereka yang tidak mengakui adanya Tuhan.
Tulisan ini memang bukanlah hasil kajian panjang, mungkin hanyalah sebuah hasil pemikiran yang sedikit melibatkan metafisika, yang meliputi eksistensi dan karakteristik yang di dalamnya terdapat tinjauan ruang dan waktu, kausalitas dan posibilitas.
Bahwa, isu kebangkitan PKI di rezim Jokowi di negeri ini sepertinya bukanlah sebuah hoax. Bahkan Jokowi sebagai presiden dinilai telah membuka “Pintu Gerbang Kemerdekaan” bagi kaum PKI di negeri ini.
Di media sosial, seperti di Facebook dan di twitter, sangat banyak perdebatan hingga bantah-bantahan tentang isu kebangkitan PKI tersebut. Jokowi sendiri bahkan pernah membantah mengenai PKI yang dinilai telah bangkit kembali.
Sayangnya, Jokowi dalam bantahannya hanya menjawab secara spesifik tentang dirinya yang disebut-sebut sebagai anggota PKI, bukan tentang kebangkitan PKI itu sendiri secara umum.
“Tahun 1965 PKI dibubarkan, saya itu masih berumur 3-4 tahun, masa ada PKI Balita?” bantah Jokowi dalam pidatonya pada acara Konvensi Nasional Galang Kemajuan 2018.
Padahal, publik lebih banyak menunggu penjelasan tentang kebenaran isu kebangkitan PKI secara umum, bukan tudingan PKI terhadap individu Jokowi.
Jokowi bahkan seolah tidak mampu melihat, bahwa sebetulnya publik sudah sangat resah dan cemas dengan adanya isu kebangkitan PKI yang memang terindikasi kuat telah mulai bangkit.
Dengan begitu banyak indikasi yang mengarah sebagai tanda kebangkitan PKI, maka Jokowi seharusnya adalah sosok yang bisa lebih peka terhadap keresahan publik tersebut. Yakni dengan segera melakukan upaya-upaya antisipasi konkrit untuk tidak membiarkan samasekali PKI kembali bangkit.
Namun nyatanya, Jokowi sendiri yang justru cenderung melakukan “pembiaran” munculnya kebangkitan PKI tersebut. Yakni, dengan menginstruksikan TNI/Polri agar menghentikan aksi sweeping terhadap orang-orang yang diduga PKI lantaran memakai logo palu-arit.
Melalui Sekretaris Kabinet, Pramono Anung menegaskan, Presiden Jokowi telah memberikan instruksi melalui telepon kepada Kapolri dan Panglima TNI, untuk menghentikan aksi sweeping dalam menangani isu kebangkitan PKI. Sebab, menurut Jokowi, sweeping yang dilakukan oleh TNI/Polri itu sudah sangat berlebihan.
Jokowi menilai, kata Pramono, aksi sweeping untuk menangani isu komunis sudah tidak cocok dilakukan di era demokrasi seperti sekarang.
“Presiden secara tegas, secara jelas, menyampaikan kepada pangllima TNI, kepada Kapolri, untuk segera menertibkan aparaturnya tidak melakukan sweeping. Zaman demokrasi tidak ada lah sweeping-sweeping seperti itu,” ujar Pramono Anung, medio Mei 2016.
Statement Jokowi melalui Pramono Anung ini, secara tidak langsung mempersilakan siapa saja untuk dapat menggunakan kembali lambang atau logo PKI, misalnya di baju kaos, topi, brospin, dan lain sebagainya. Pun bahkan memberikan kans kepada PKI, sekaligus motivasi, untuk dapat benar-benar bangkit.
Padahal, rezim ini sangat ngotot mengatasnamakan diri sebagai kelompok yang sangat Pancasilais. Inilah yang sangat membingungkan dan membuat publik hanya dapat menganga serta merasa tolol sendiri. Sebab, antara Pancasila dan PKI adalah ideologi yang sangat bertolak belakang.
Sejak statement itu ditegaskan Jokowi melalui Pramono Anung secara terbuka, beberapa indikasi pun makin bermunculan secara terang-terangan, dan bahkan semakin menajam.
Di antaranya, terjadi kriminalisasi sejumlah ulama, Islam mulai dihina, alQuran mulai diinjak-injak dan bahkan disobek-sobek, dan semua itu terlihat serta dipertontonkan di media sosial. Dan secara ke dalam, Islam mulai dikotak-kotakkan dengan mendukung kemunculan Islam Nusantara.
Bukan cuma itu, rezim ini seolah benar-benar memperlihatkan keberpihakannya kepada kebangkitan PKI. Yakni di antaranya, munculnya gelombang imigran TKA yang berasal dari negara Komunis China mengisi lapangan-lapangan kerja strategis di negeri ini dengan upah fantastis.
Dan sejak statement itu ditegaskan Jokowi melalui Pramono Anung secara terbuka, maka sejumlah konflik dan kekerasan pun mulai terjadi di mana-mana. Sejumlah oknum bermata sipit pun sudah mulai lupa daratan.
Di antaranya, ada karyawan pribumi di hotel BBC dipukul oleh seorang oknum China di hadapan aparat, juga ada remaja yang diikat tangannya di pinggir jalan lalu ditendangi di kepalanya oleh seorang oknum China, dan masih banyak lagi. Sungguh menyedihkan!
Parahnya, bukannya berupaya agar situasi yang tak sehat itu bisa segera diatasi untuk tidak terjadi lagi, Jokowi malah seolah semakin memancing agar kekerasan-kekerasan berikutnya dapat terjadi.
Yakni, Jokowi dengan mudahnya seolah tanpa pertimbangan, malah pernah menganjurkan pendukungnya untuk dapat berantem apabila diajak (oleh lawan).
“Jangan membangun permusuhan, jangan membangun ujaran-ujaran kebencian, jangan membangun fitnah-fitnah. Tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang lain. Tapi kalau diajak berantem juga berani,” imbau Jokowi dalam pidatonya pada Rapat Umum Relawan Jokowi, di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Sabtu (4/8/2018), disambut tepuk tangan riuh dari para relawannya. Seolah relawan yang hadir tersebut benar-benar siap berantem jika diajak agar dapat segera menghajar lawannya secara habis-habisan tanpa melalui jalur hukum.
Tak seberapa bulan setelah Jokowi berpidato dalam Rapat Umum Relawan itu, anggota TNI-AU di Medan pun menjadi korban penganiayaan oleh etnis Tionghoa di Medan, Minggu (23/9/2018). Dan lagi-lagi, Jokowi tidak memperlihatkan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut.
Tiga hari sebelumnya, atau Jumat (21/9/2018), dikabarkan penganiayaan juga dialami oleh aktivis perempuan, Ratna Sarumpaet.
Pelaku kekerasan itu dinilai cukup biadab menghajar wajah Ratna Sarumpaet. Publik baru mengetahui kebiadaban tersebut setelah foto Ratna Sarumpaet dengan wajah babak-belur beredar secara viral di sejumlah WhatsApp Grup (WAG).
Sungguh parah negeri ini, betapa rusak Ibu Pertiwi di era rezim Jokowi ini. Tak hanya ekonomi yang berantakan, politik dan hukum juga makin hilang jati diri serta kian beringas menghajar lawan dalam kendali rezim.
Lucunya, dengan kondisi yang serba hancur berantakan itu, rezim ini malah mengaku sebagai kelompok yang sangat Pancasilais, yakni dengan meluncurkan tagar #2019TetapPancasila. Sayangnya, setelah ditengok Visi-Misi Capres Jokowi-KH. Ma’ruf tak ada satu kata Pancasila pun di sana.
Justru pasangan Capres Prabowo-Sandiaga yang selama ini tidak pamer diri sebagai pihak yang paling Pancasilais, dalam Visi-Misinya justru sangat jelas tertulis kata “Pancasila dan UUD 1945”.
Bagi rakyat Indonesia, saya memohon agar secara sadar sesadar-sadarnya, untuk segera berhenti dibodohi-bodohi dengan kebohongan-kebohongan yang nampak terbentang di wajah rezim saat ini.
Kebangkitan PKI di rezim ini sepertinya bukan lagi isu, tetapi sudah benar-benar nampak di depan mata.
Indikasinya, bukan hanya statement Jokowi melalui Pramono Anung, bukan hanya Jokowi yang mengimbau relawannya untuk beranten jika diajak, juga bukan hanya sejumlah penganiayaan yang dialami oleh pribumi, TNI, dan aktivis perempuan dan HAM. Bukan cuma itu indikasinya!
Rakyat Indonesia harus bisa benar-benar membuka mata, hati, telinga, dan pikiran yang diberikan Tuhan Yang Maha Pencipta, -bukan pemberian dari Jokowi-, untuk melihat dan mengetahui kebenaran dari apa yang sesungguhnya terjadi di negeri kita saat ini.
Di saat kita saling berdebat dan berbantah-bantahan tentang isu kebangkitan PKI, dengan rentetan kejadian yang mengikutinya. Dan di kala kita bingung dan tak bisa mendapatkan jawaban tentang isu tersebut, maka Tuhan hadir memperlihatkan tanda-tandanya sebagai jawaban sekaligus peringatan keras bagi seluruh rakyat Indonesia.
Yakni, gempa bumi yang terjadi di Lombok pada Agustus 2018 lalu, dan juga gempa bumi yang mengguncang Palu akhir September 2018, itu adalah sebagai jawaban yang sangat jelas bagi orang yang menggunakan pikirannya.
Mengapa gempa di Lombok terjadi pada Agustus? Sebab sepertinya Tuhan ingin mengingatkan kita, bahwa ada Konferensi PKI yang dilaksanakan pada Agustus 1948 yang memutuskan dan mengesahkan sebuah Resolusi PKI yang bernama “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”.
Kemudian, mengapa gempa bumi di Palu harus terjadi di akhir September? Karena kita semua tahu, dan harus diingatkan, bahwa pada bulan itu PKI telah melakukan pemberontakan yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).
Dan gempa bumi di Lombok dan Palu itu adalah dua wilayah yang sangat boleh jadi sengaja dipilih oleh Tuhan, agar kita bisa dengan mudah melihat sebuah “simbol” untuk dapat dijadikan jawaban terhadap kondisi kekacauan di negeri ini, yakni adalah akibat telah bangkitnya komunis sebagai paham yang tidak mengenal adanya Tuhan.
Gempa di lombok dapat dianalogikan sebagai buah “Lombok” (cabe) yang kebanyakan buah ini berbentuk melengkung menyerupai “Arit”.
Dan, gempa di Palu dapat digambarkan secara mudah dalam bentuk simbol sebagai alat pemukul “Palu” atau hammer.
Dan kedua simbol tersebut hanya sebatas sebagai ilustrasi penggabungan dua nama daerah (Lombok dan Palu) yang dapat membentuk lambang PKI “Palu-Arit”, dan bukan sebagai cerminan kepada penduduk di kedua daerah tersebut.
Selanjutnya, sebagai umat Islam, cobalah untuk kita semua merenungi ayat ini. “Musa berkata: “Tuhan yang menguasai Timur dan Barat dan apa yang ada di antara keduanya: jika kamu mempergunakan akal”. (Q.Surah Asy Syu’ara’: 28).
Dan apabila Tuhan telah memberikan kita tanda-tanda dan peringatan yang sangat jelas, namun kita tak ingin menggunakan akal untuk segera sadar agar dapat keluar dari kekacauan saat ini, maka: “…Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya”. (Q. Surah Yunus: 100).
Semoga artikel ini bisa menjadi pencerahan buat kita semua agar dapat senantiasa bertakwa kepada Tuhan Sang Maha Kuasa, terlebih buat kemajuan dan keselamatan seluruh bangsa Indonesia di dunia dan di akhirat. Aamiin…
——
Penulis adalah Aktivis Kedaulatan Rakyat dan Presidium GSI (Gerakan Selamatkan Indonesia)
DM1.CO.ID, JAKARTA: Sejumlah politikus pengguna akun Media Sosial (Medsos) twitter sedang digemparkan dengan kabar penganiayaan aktivis perempuan ternama, Ratna Sarumpaet.