DM1.CO.ID, JAKARTA: Kekuasaan presiden itu tidak tak terbatas (tidak semau) karena ada konstitusi negara yang membatasi.
Rakyat sebagai pemilik hak (right holder) berhak menilai dan mengkritisi presiden yang menjadi pemangku kewajiban (obligation) atas perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).
Hal tersebut ditegaskan oleh Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai menanggapi tudingan makar yang disangkakan Polisi kepada sejumlah tokoh nasionalis.
“Kritikan rakyat itu merupakan hak konstitusional warga negara, termasuk perbuatan atau tindakan mengganti presiden di tengah jalan, asal konstitusional melalui parlemen,” demikian Natalius Pigai dalam keterangan tertulisnya yang diterima redaksi rmol, Kamis (8/12).
Natalius Pigai memaparkan, bahwa dalam human right and election disebutkan, jika dalam kondisi tertentu atau situasi yang terpaksa, presiden memiliki kemampuan untuk mengeluarkan pernyataan darurat (state in emergency).
Demikian pula, katanya, rakyat yang juga memiliki kesempatan untuk melakukan pengambil-alihan kekuasaan, apakah melalui people power ataupun kudeta.
Keduanya, sambung Natalius, dilakukan hanya semata-mata demi pemulihan stabilitas sosial dan integritas nasional.
“Dan itu selain sudah dipraktikkan di negara kita, juga di negara negara lain. Dan di perguruan tinggi, kami yang belajar ilmu politik, hal tersebut sudah diajarkan dalam teori politik,” jelasnya.
Natalius menjabarkan, kudeta atau makar yang bersifat inkonstitusional yang menimbulkan instabilitas nasional, pelanggaran HAM, dan menghilangkan demokrasi serta kedigdayaan sipil adalah hal-hal yang tidak dibenarkan.
“Tapi sepanjang masih konsitusional, itu tidak masalah. Oleh karena itu, penangkapan terhadap Ibu Rahma dkk, termasuk Pak Hatta Taliwang, menunjukkan tindakan represif pemerintah. Jangan sampai terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power),” pungkas Natalius mengingatkan.