Oleh: Arief Gunawan*
KENAPA masyarakat Amerika menangisi Obama saat menyampaikan pidato perpisahannya sebagai presiden?
Karena seperti umumnya presiden Amerika, Obama punya garis perjuangan dan legacy yang jelas yang didedikasikan buat rakyat selama delapan tahun masa jabatannya. Antara lain, Obamacare, berupa hak-hak rakyat untuk mendapatkan jaminan sosial dan kesehatan.
Di Amerika tugas utama presiden melindungi konstitusi dan menegakkan hukum. Undang-undang dasarnya menjelaskan secara rinci tugas dan kekuasaan seorang presiden.
Di Indonesia di era sekarang kita terlalu gampang menyerahkan jabatan presiden kepada orang-orang yang tidak menghayati dan mengamalkan konstitusi, cita-cita proklamasi, dan yang tidak memahami sejarah Indonesia.
Sehingga, mengutip Bung Hatta, zaman yang besar ini hanya menghasilkan manusia-manusia berjiwa kerdil, dan dengan jiwa kerdilnya mereka mengkerdilkan bangsanya sendiri.
Calon presiden sekarang dimonopoli ketua umum partai, pengusaha, media darling, pesohor, pemilik media, dan yang terbaru menurut kabar, terdakwa penista agama katanya juga mau dijadikan presiden…
Prinsip-prinsip bernegara dan berbangsa termasuk Pilpres bukanlah kebenaran, melainkan figurnya ngejual atau nggak. Kebenaran dan nilai-nilai baik dikesampingkan, maka tokoh-tokoh yang tampil tidak bisa dibanggakan, tidak punya malu, bertindak salah tapi bersuara keras, dan melukai orang banyak.
Elit Indonesia sebelum kemerdekaan mengutamakan pematangan diri dan studi. Ciri pemimpin Indonesia pada masa itu semasa mudanya mengatur hidup mereka secara disiplin menurut cita-cita serta peranan yang mereka idamkan.
Masyarakat Indonesia hari ini sepertinya kesulitan dalam asumsi mengenai kepemimpinan, model kepemimpinannya selalu stereotipe, fisik dan citra diri dianggap lebih penting, kalau laki-laki misalnya harus impressive and charming meskipun menipu, ibarat handphone casing-nya saja yang bagus.
Pilpres 2019 yang wacananya kini mulai muncul bersamaan dengan isu Presidential Threshold adalah critical momentum untuk kebangkitan Indonesia, karena itu wacananya harus wacana visi, kompetensi, wacana integritas moral, standar etika, dan tentang figur yang memiliki keberpihakan kepada rakyat secara jelas. Bukan wacana penjegalan berupa Presidential Treshold yang merupakan oligarki politik partai-partai di parlemen yang bermasalah.
Inti Presidential Threshold yang merupakan ambang batas partai dalam mencalonkan presiden, esensinya adalah untuk membatasi, bahkan untuk menghilangkan figur yang memiliki keberpihakan kepada rakyat secara jelas untuk maju menjadi calon presiden.
Presidential Threshold merugikan demokrasi. Pertama, karena menjadi alat untuk menjegal peluang munculnya capres alternatif. Kedua, pemerintah hanya membela kepentingan partai di parlemen. Ketiga, melanggengkan figur-figur capres daur-ulang yang terbukti gagal dan bermasalah.
Keempat, wacana Pilpres akan semakin tidak menarik dari segi pendidikan politik, demokrasi, dan akal sehat, karena akan didominasi oleh wacana uang dan wacana iklan, utamanya partai-partai besar pendukung Presidential Threshold akan tetap bertumpu pada kekuatan uang dan para cukong politik, seperti para taipan dan para bandar.
Esensinya, Presidential Threshold itu belenggu ‘’kolonialisme baru’’ ala para politisi parlemen di Senayan dengan mengatasnamakan demokrasi. Dibutuhkan gerakan moral dan political preassure dari seluruh elemen rakyat pro demokrasi untuk mematahkan pisau jagal bernama Presidential Threshold ini.
Mereka tidak ingin Indonesia jadi negara rakyat, tapi negara partai. Di tahun 1950-an, koran-koran menyebut partai-partai di parlemen yang tidak bekerja untuk kepentingan rakyat sebagai Monster Verbond alias perkumpulan para monster atau setan-setan. Partai menjadikan konstitusi sekadar alat untuk perebutan kekuasaan.