Petani Sawit di Wonosari “Menjerit”: Presiden, Gubernur Gorontalo Hingga Bupati Boalemo Dimohon Turun Tangan

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, GORONTALO:Sudah jatuh, tertimpa tangga pula”. Seperti itulah kiranya kondisi yang sedang dialami oleh para petani kemitraan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Wonosari, khususnya di Desa Pangeya dan Tanjung Harapan, Kabupaten Boalemo.

Mereka tak dibayar, kini malah “diberi” limbah cair Palm Oil Mills Effluent (POME) dan juga tankos (tandan kosong) kelapa sawit. Dan sungguh, para petani di daerah inipun benar-benar “menjerit”.

Dari dialog investigasi yang dilakukan wartawan DM1 di Desa Pangeya, bersama sekitar 20 petani yang juga sempat dihadiri Kepala Desa Pangeya, pada pertengahan November 2019 yang lalu, terungkap sejumlah informasi yang amat memprihatinkan sekaligus menyedihkan.

Sekitar 7 tahun sudah lahan para petani di daerah ini “dikuasai” oleh pihak PT. Argo Arta Surya (PT. AAS). Dan lahan-lahan itulah yang digunakan PT. AAS dalam menjalankan bisnis perkebunan kelapa sawit.

Sebelum menyerahkan lahan-lahannya, para petani itu mengaku telah diiming-imingi dengan pembayaran yang akan dilakukan oleh PT. AAS dalam sebuah perjanjian kerjasama kemitraan, dengan skema perjanjian sistem pembagian lahan plasma dengan inti sebesar 50:50 persen.

Artinya, jika seorang petani yang memiliki lahan seluas 12 hektar, maka perusahaan hanya memberikan pembayaran seluas 6 hektar, dengan nilai satuan Rp.1.350.000 per bulan per hektar (Rp.1.350.000 dikali 6 hektar = Rp.8.100.000 per bulan).

Sesuai perjanjian yang telah disepakati oleh pihak perusahaan bersama para petani, nilai pembayaran tersebut mulai akan dibayarkan pada bulan ke-49, atau sesudah panen pertama.

Artinya, dari bulan pertama (tahap penanaman dan pertumbuhan sawit) hingga 48 bulan atau selama 4 tahun, para petani sepakat tidak mendapatkan apa-apa dari lahan milik mereka yang telah dikelola oleh perusahaan.

Namun nyatanya, sekitar 95 persen dari 397 petani (pemilik lahan) khusus di Desa Pangeya, sampai detik inipun belum mendapatkan pembayaran sebagaimana yang telah dijanjikan oleh pihak perusahaan.

Sehingga selama 7 tahun terakhir sampai dengan saat ini, para petani di desa inipun mengaku terpaksa menjalani kehidupan yang benar-benar sangat sengsara.

Untuk menambal hidup sehari-hari, sebagian besar petani bahkan harus menjual barang-barang berharga, seperti perhiasan dan bahkan motor. “Terpaksa kami jual, karena utang sudah menumpuk di sana-sini. Kami betul-betul dibuat sengsara oleh perusahaan sawit itu,” ujar sejumlah petani.

Parahnya, sudah tidak mendapat pembayaran, para petani dan warga di Desa Pangeya dan Tanjung Harapan kini malah harus terancam terkena dampak buruk dari limbah POME perusahaan sawit tersebut.

Limbah POME didapatkan dari tiga sumber yaitu air kondensat dari proses sterilisasi, sludge dan kotoran, serta air cucian hidrosiklon. Limbah pada pabrik kelapa sawit terdiri dari limbah padat, cair dan gas. Limbah cair yang dihasilkan pabrik pengolah kelapa sawit ialah air kondensat, air cucian pabrik, air hidrocyclone atau claybath.

Menurut para ahli, POME adalah air limbah industri minyak kelapa sawit yang merupakan salah satu limbah agroindustri yang menyebabkan polusi terbesar.

Satu Ton minyak kelapa sawit menghasilkan 2,5 Ton limbah cair, yaitu berupa limbah organik berasal dari input air pada proses separasi, klarifikasi dan sterilisasi. Limbah cair dari industri minyak kelapa sawit umumnya memiliki suhu yang tinggi kisaran 70-80 derajat Celcius, berwarna coklat pekat, mengandung padatan terlarut yang tersuspensi berupa koloid dan residu minyak, sehingga memiliki nilai Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) yang cenderung tinggi.

Jika limbah tersebut dibuang langsung ke perairan, maka dapat mencemari lingkungan karena dapat menimbulkan kekeruhan dan akan menghasilkan bau yang tajam yang dapat merusak ekosistem perairan, dikarenakan proses penguraiannya yang lama dan cenderung akan mengonsumsi oksigen terlarut dalam jumlah yang banyak.

Tak hanya baunya yang busuk dan sangat menyengat, luapan limbah POME maupun tankos dari PT. AAS saat ini bahkan juga telah meluas memasuki lahan-lahan perkebunan warga di Desa Pangeya serta Tanjung Harapan. Dan limbah itu dipastikan akan mengalir dan berbaur di sungai besar di daerah tersebut.

Terkait masalah limbah itu, sejumlah warga setempat mengaku telah pernah menemui langsung salah seorang karyawan di PT. AAS tersebut.

“Tapi jawaban dari seorang karyawan perusahaan bahwa alat dari mereka sedang rusak. Kami masyarakat tidak dipedulikan. Apakah kami hanya dibiarkan tersiksa terus begini pak? Jagung kami mati pak, karena dampak dari luapan limbah. Pembagian lahan plasma saja sampai dengan sekarang tidak dibayarkan sesuai dengan kesepakatan, kami menunggu hasil dari perusahaan tentang pembagian sampai dengan saat ini tidak ada, lalu kami harus bagaimana menikmati kesusahan yang diberikan perusahaan terhadap kami?” ujar warga.

“Kami minta pemerintah dan DPRD harus menyelesaikan permasalahan PT. Argo Arta Surya ini, jangan lagi hanya menimbulkan masalah terus-menerus, pembagian hasil saja belum jelas ditambah lagi limbah pabrik, apes yang kami dapat pak dari pihak perusahaan yang dibawa masuk oleh Pemerintah Boalemo,” keluh warga setempat, lalu diiyakan oleh sebagian besar warga di kedua desa tersebut.

Menanggapi khusus permasalahan limbah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Boalemo (Roslina Karim) mengatakan, pihaknya sudah turun langsung memantau limbah pabrik sawit tersebut.

“Kami sudah memberikan waktu selama sebulan kepada pihak perusahaan agar menggenapkan sepuluh kolam untuk pembuangan limbah. Yang sekarang sudah berjumlah delapan kolam. Kami akan turun kembali untuk mengecek langsung. Jika selama sebulan tidak diindahkan oleh pihak perusahaan, maka kami akan berikan sanksi,“ ujar Kadis Lingkungan Hidup Boalemo, Roslina.

Sebetulnya, Bupati Boalemo (Darwis Moridu) pada sebuah kesempatan telah berjanji, bahwa sesudah Hari Ulang Tahun ke-20 Kabupaten Boalemo (pada 20 Oktober 2019) yang lalu, akan menyelesaian seluruh masalah yang terjadi antara PT. AAS dengan para petani pemilik lahan kelapa sawit. Namun hingga kini, menurut para petani, janji itu masih sebatas di bibir.

Warga beserta para petani di Desa Pangeya dan Tanjung Harapan pada khususnya, dan di Kecamatan Wonosari pada umumnya, saat ini mengaku benar-benar merasa sangat tersiksa dengan kehadiran PT. AAS yang awalnya dianggap dapat mendatangkan manfaat besar, tetapi kenyataannya justru memunculkan masalah yang sangat besar dengan memberikan kesengsaraan kepada warga setempat.

Pada kesempatan dialog investigasi wartawan DM1, para petani pun menuliskan beberapa poin pernyataan sikap yang dibacakan secara tegas dalam dialog tersebut, yakni:
1. Kami atas nama petani sawit di sekitar Kecamatan Wonosari sudah tidak mau lagi ikut kerja sama dengan PT. AAS, karena PT. AAS telah terbukti berkali-kali mengingkari perjanjian. Olehnya itu, kami meminta seluruh lahan-lahan kami segera dikembalikan.
2. Memohon Kepada Bapak Presiden Joko Widodo, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie, dan Bupati Boalemo Darwis Moridu, agar sudi kiranya segera turun tangan menuntaskan seluruh masalah di PT. AAS yang membuat hidup para petani di Wonosari saat ini jadi kian sengsara. (kab/dm1)

Bagikan dengan:

Muis Syam

179,252 views

Next Post

Hanya Sengsarakan Petani, Gubernur Gorontalo dan Bupati Boalemo Didesak Cabut Izin PT. AAS

Sen Jan 6 , 2020
DM1.CO.ID, GORONTALO: Para petani sawit di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, menyatakan bahwa keberadaan PT. Argo Arta Surya (PT. AAS) di Desa Pangeya, selama ini benar-benar hanya membuat warga dan para petani jadi makin sengsara.