PERSpektif
Sudah sejak lama Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berulang-ulang mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang kontroversial.
Hal ini sudah menjadi karakternya yang sulit berubah. Mungkin beberapa waktu agak mereda, tetapi tidak lama kemudian, dia mengeluarkan lagi pernyataan kontroversial yang meresahkan masyarakat. Yang mutakhir adalah pernyataannya yang di kepulauan Seribu yang menista ayat Alquran sehingga sangat menyinggung perasaan umat Islam.
Persoalan ini ini jadi merebak, meluas ke gerakan demo lebih dari sepuluh ribu orang di Jakarta, Majelis Ulama Indonesia (MUI)sampai mengeluarkan pernyataan bahwa pidato Ahok di pulau Seribu itu merupakan penistaan agama.
Berbagai kelompok masyarakat pun melaporkan Ahok ke Bareskrim Polri, khutbah Jumat di masjid-masjid di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Sumatera Barat memprotes penistaan agama ini.
Demo dalam jumlah ribuan orang juga terjadi di Surabaya dan kemungkinan besar juga akan menjalar ke-kota-kota lainnya. Dan ini menunjukkan bahwa persoalan penistaan agama itu bukan persoalan yang kecil. Keliru bila pemerintah meremehkan persoalan ini.
Memang bangsa ini bangsa yang majemuk. Karena itulah para pendiri bangsa memulainya dengan menyelenggarakan Kongres Pemuda tahun 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Yakni, suatu ikrar yang menyatukan berbagai kemajemukan menjadi Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa.
Pada waktu mempersiapkan kemerdekaan, para pendiri negara membahas konsep Undang Undang Dasar melalui perdebatan sengit tentang Piagam Jakarta yang hendak dimasukkan sebagai Pembukaan Undang Undang Dasar.
Dan itu mendapat tentangan keras dari beberapa pendiri negara, namun akhirnya dapat dicapai kompromi. Ada 7 kata-kata dalam Piagam Jakarta, yaitu: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan, lalu akhirnya UUD 45 diterima secara bulat oleh para pendiri negara yang berisikan berbagi suku, agama, dan ras itu.
Namun dengan adanya kasus penistaan agama oleh Ahok telah menimbulkan reaksi yang keras dan meluas. Tak hanya sebatas di wilayah DKI saja, namun menyebar ke banyak provinsi lainnya. Memang kasus penistaan agama dan juga kasus SARA selalu demikian, karena memang sangat rawan.
Misalnya, kasus penistaan Nabi Muhammad oleh Arswendo yang akhirnya dihukum 5 tahun penjara. Juga seorang ibu rumah tangga Rusgiani, 44 tahun di Jimbaran, Badung-Bali yang menghina tempat sesajen seorang penganut agama Hindu, menimbulkan protes keras masyarakat dan akhirnya dihukum 14 bulan.
Selain itu beberapa kali terjadi kerusuhan rasial di Bandung, 10 Mei 1963 yang menjalar ke Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan, di Palu 27 Juni 1973, toko milik seorang Tionghoa dihancurkankarena menggunakan kertas yang bertuliskan huruf Arab sebagai pembungkus barang dagangan.
Bandung, 5 Agustus 1973, kerusuhan terhadap etnis Tionghoa meledak di mana-mana, Ujungpandang, April 1980, Suharti seorang pembantu rumah tangga meninggal mendadak, dan beredar isu bahwa itu diakibatkan dianiaya majikannya seorang Tionghoa. Sehingga kerusuhan rasial pun meledak, ratusan rumah milik Tionghoa dirusak.
Juga di Solo 20 November 1980, terjadi pengrusakan dan pembakaran toko-toko milik Tionghoa akibat terjadinya perkelahian antara seorang guru olahraga dan pemuda Tionghoa. Kerusuhan ini menjalar ke Semarang dan kota-kota lain di Jawa Tengah.
Di pulau Kalimantan juga sering terjadi kerusuhan antarsuku. Desember 1996 hingga Januari 1997 terjadi kerusuhan di Sanggauledo, Kalimantan Barat. Kerusuhan yang dimulai dari ‘senggolan dangdut’ itu mengakibatkan 1094 rumah terbakar.
Tahun 1999 terjadi kerusuhan di Sambas, Kalimantan Barat, yang mengakibatkan 1189 orang tewas, hanya dimulai dari peristiwa pencurian ayam.
Tahun 2001 terjadi kerusuhan di Sampit, Kalimantan Tengah hampir sepanjang tahun, meluas keseluruh provinsi dan menelan korban 500 orang .
Mei 1998 terjadi kerusuhan besar di Jakarta yang menelan lebih dari 450 korban tewas, toko-toko dan mal dibakar serta ada puluhan korban perkosaan. Kerusuhan ini juga terjadi di Medan dan Solo.
Selain itu juga terjadi berbagai peristiwa konflik SARA di Ambon dan Poso serta pembakaran rumah ibadah di berbagai tempat.
Pembakaran sebuah gereja di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh ,Oktober 2015. Juga di Temanggung 3 buah gereja, Februari 2011, yang dimulai dari penyebaran selebaran dan buku yang menista agama Islam oleh Antonius Richmond Bawengan.
Juga ada pembakaran atau pengrusakan 24 gereja di lima Kecamatan disertai kerusuhan anti Tionghoa di Situbondo pada 10 Oktober 1996. Dalam peristiwa itu 5 anggota keluarga pendeta Ischak Christian tewas terpanggang di dalam rumah. Namun juga terjadi pembakaran masjid di Tolikara Papua, pada 17 Juli 2015.
Peristiwa di Situbondo itu dimulai dari seorang bernama Saleh, 28 tahun, beragama Islam, mengatakan kepada KH Achmad Zaini pimpinan pondok pesantren Nurul Hikam, bahwa Allah itu mahluk biasa, dan KH As’ad Syamsul Arifin almarhum pendiri pondok pesantren As’syafiiyah, kyai khos NU yang sangat dihormati di Situbondo dan Jawa Timur juga di-jelek-jelekan oleh Saleh.
Penghinaan kepada agama dan kyai khos NU oleh Saleh ini kemudian dilaporkan ke polisi oleh KH Achmad Zaini , kemudian diproses dalam sidang Pengadilan Situbondo yang selalu dihadiri oleh 1000-3000an massa.
Namun dalam sidang Pengadilan ke empat tanggal 3 Oktober 1996, Saleh membantah telah menodai agama Islam. Mendengar hal itu massa yang datang dari Besuki, Panarukan dan Asembagus yang berjumlah 1000 orang itupun marah.
Seusai sidang teriakan “bunuh Saleh” pun terdengar. Massa berusaha mengeroyok Saleh tetapi dilindungi oleh puluhan petugas dan dimasukkan kedalam tahanan Pengadilan Negeri Situbondo.
Massa yang sudah kalap itu kemudian merusak pintu dan jendela tahanan, Sekitar 10 orang membongkar genteng dan menjebol plafon, sehingga berhasil menghajar Saleh didalam sel-nya.
Namun tindakan itu berhasil dihentikan oleh Ny.Aisyah (putri KH As’ad Syamsul Arifin). Tapi massa yang di luar tahanan tidak mau beranjak. Mereka menuntut Saleh dihukum mati, dan merekalah yang akan mengeksekusi.
Teriakan Kapolres Situbondo Letkol. Endro Agung sudah tidak didengar. Baru setelah Ny. Aisyah berteriak-teriak melalui megaphone mengajak pulang dalam bahasa Madura, massapun bubar. Saleh diantar ke rutan satu mobil dengan Ny.Aisyah .
Pada tanggal 10 Oktober 1996 sidang Pengadilan Saleh dijaga oleh 100 orang aparat dari Kodim dan sudah sampai pada tahap tuntutan jaksa. Ribuan pengunjung dari luar kota hadir. Mayoritas adalah Madura pendatang. Selama sidang massa tetap tenang. Jaksa menuntut Saleh dengan hukuman 5 tahun penjara.
Tindakan brutal terjadi seusai sidang. Sebagian massa yang tidak puas dengan tuntutan jaksa dan ingin Saleh dihukum mati mulai melempari gedung Pengadilan dengan batu. Suasana jadi kacau, seorang petugas Kodim terkena lemparan batu. Teriakan peringatan Komandan Kodim Letkol Imam Prawoto tidak digubris.
Batu-batu terus berjatuhan setelah ada aparat yang membalas aksi massa ini. Karena terdesak, aparat pun masuk ke dalam gedung.
Massa yang sudah kalap terus merangsek. Aparat dan para hakim, termasuk Erman Tanri, Ketua Pengadilan Negeri Situbondo yang keningnya luka terkena lemparan batu, melarikan diri lewat sungai di belakang gedung Pengadilan Negeri. Saleh pun diselamatkan ke arah belakang .
Entah siapa yang menyulut, ada massa yang berteriak bahwa Saleh dilarikan ke Gereja Bukit Sion yang terletak sekitar 200 meter sebelah barat gedung PN. Isu bahwa hakim yang mengadili ada yang Kristen pun merebak.
Padahal 3 hakim dan jaksa yang mengadili Saleh semuanya beragama Islam. Massa yang marah kemudian membakar 3 mobil di depan gedung PN milik Kejaksaan dan anggota Polres serta sebuah motor. Pesawat televisi pun dibakar.
Akhirnya gedung PN pun membara terbakar. Massa pun bergerak ke gereja Bukit Sion. Berbekal bensin dari pom bensin di depan gereja dan dari kendaraan kendaraan bermotor yang dihentikan mereka membakar gereja setelah menguras dulu isinya.
Ribuan massa yang puas inipun mencari sasaran lainnya. Gereja GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat) yang terletak di sebelah Polres semula akan jadi sasaran berikutnya, tapi pembakaran gagal karena dicegah oleh petugas anti huru-hara. Hanya pagar dan papan nama gereja saja yang sempat dirusak.
Karena diblokir, maka massa bergerak ke Jl. WR. Supratman. Mereka membakar bangunan SD dan SMP Katholik dan gereja Maria Bintang Samudra. Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) dan gedung TK/SD/SMP Kristen Imanuel menjadi sasaran berikutnya .
Massa bergerak lagi ke arah Timur. Gereja Pantekosta dan gereja Bethel Injil Sepuh (GBIS) di jalan Ahmad Yani jadi sasaran berikutnya. Tak hanya gereja dan bangunan sekolah Kristen saja yang diincar, namun rumah makan Malang dan pertokoan Tanjungsari pun tak luput dari pengrusakan.
Malapetaka terjadi pada sasaran berikutnya, yaitu rumah pendeta dan gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) “Bahtera Kasih”.
Di dalam rumah itu tinggal pendeta Ischak Kristian, 71 tahun, istrinya Ribka Lena, 68 tahun, dan anaknya Elizabeth Kristian, 23 tahun, juga keponakannya Nova Samuel dan Rita Karyawati yang sedang magang pendeta di sana. Mereka tak berani keluar rumah, namun akhirnya terpanggang sampai tewas di dalam rumah.
Setelah membakar gereja, sebagian massa naik 3 truk ke arah Timur, diduga menuju Asembagus. Lainnya menyebar ke jalan Argopuro dan membakar salah satu rumah pendeta yang juga dijadikan gereja. Massa masih bergerak menuju pertokoan Mimba’an Baru di depan terminal Situbondo. Selain rumah bilyar, mereka juga merusak gedung bioskop.
Ketika merusak pertokoan inilah, satu kompi senapan Yonif 514 datang. Petugas yang langsung memukuli dan mengangkut orang yang dianggap sebagai biang kerusuhan membuat massa tunggang langgang.
Sebagian lari ke gang Karisma dan masih sempat-sempatnya membakar Rumah Anak Yatim di bawah asuhan Yayasan Buah Hati.
Sebagian massa lainnya lari ke jalan Jaksa Agung Soeprapto, di sana membakar TK Santa Theresia dan sebuah susteran . Tragedi Situbondo ini baru benar-benar berhenti di kota Situbondo pada pukul 15.00.
Namun aksi massa menjalar ke daerah sekitarnya. Di Asembagus dan Besuki yang jaraknya lebih dari 30 kilometer ke arah Timur Situbondo, mereka membakar 3 gereja, sedang di Kecamatan Banyuputih ada 6 gereja dan sebuah rumah pendeta yang di bumi hanguskan.
Massa juga bergerak ke arah Barat. Sejak pukul 15.00 sampai maghrib, massa beraksi di Panarukan , 6 kilometer dari Situbondo, dan membakar 2 gereja. Dari sana mereka bergerak ke Besuki yang jaraknya hampir 30 kilometer dari Situbondo dan membakar 2 gereja, sebuah kelenteng, serta merusak sebuah toko di alun-alun. Aksi bakar hangus ini baru benar-benar reda pada pukul 23.00.
Aparat keamanan dari lokasi seputar kerusuhan baru berdatangan ke Situbondo menjelang maghrib. Malam itu juga 120 orang ditangkap, dan diseleksi menjadi 46 orang. Selain pelajar juga ditahan sejumlah santri dari pondok Wali Songo, Mimba’an dan “anjal ” alias anak jalanan .
Malam itu diadakan pertemuan antara Kasdam Brawijaya Brigjend Muchdi, Kapolwil Besuki, Danrem Malang, Muspida Situbondo, dan para ulama. Kasdam meminta agar para ulama untuk menenangkan suasana. Pertemuan serupa juga diadakan oleh Pangdam Brawijaya Imam Oetomo keesokan harinya.
Dari uraian panjang lebar di atas, bahkan peristiwa di Situbondo kami uraikan dengan sangat detil, menunjukkan bahwa isu SARA itu SANGAT RAWAN dan SANGAT MUDAH MUNCUL.
Dan apabila kerusuhan itu sudah meletus, massa sudah tidak mempunyai akal sehat lagi. Akal sehatnya menjadi nol, dan sangat mudah digerakkan oleh isu-isu yang dibuat-buat, isu-isu bohong yang langsung mereka percayai.
Pertanyaannya adalah apakah peristiwa-peristiwa kerusuhan SARA itu akan kita ulangi lagi..? Bukankah sebaiknya kita mencegah agar kerusuhan SARA tidak akan terjadi lagi ..?
Kerusuhan-kerusuhan SARA itu bisa dimulai dari berbagai sebab yang tidak terduga. Misalnya, pembantu rumah tangga yang meninggal mendadak, perkelahian antara 2 orang yang berbeda suku, senggolan di acara dangdut, kertas bertulisan Arab yang dibuat bungkus dagangan, serempetan antara mobil yang ditumpangi ras tertentu dengan gerobak yang ditarik oleh suku lain, pencurian ayam, penghinaan agama dsb.
Dan kerusuhan SARA itu terjadi sejak jaman Orde lama (10 Mei 1963 di Bandung), berkali-kali di jaman Orde Baru yang pemerintahannya sangat kuat bahkan otoriter, juga sering terjadi di jaman reformasi yang baru berjalan 18 tahun, yang terakhir, di Tanjung Balai Sumatera Utara, Agustus 2016, baru 3 bulan yang lalu.
Terkait dengan Pilkada serentak, terutama Pilkada DKI, kita harus sangat waspada dan berhati-hati. Karena benih-benih kerusuhan SARA sudah mulai tampak. Sudah banyak keributan, saling debat di media sosial, bahkan sudah terjadi demo lebih dari 10.000 orang memprotes adanya penistaan Agama di Jakarta yang sudah menjalar ke kota Surabaya berupa demo yang diikuti oleh ribuan massa.
Dan itu bukan tidak mungkin akan menjalar ke kota-kota lainnya. Sangat disyukuri bahwa sampai saat ini demo-demonya dilakukan dengan tertib dan tanpa kekerasan.
Namun apabila nanti situasinya menjadi memanas, maka untuk MENCEGAH terjadinya kerusuhan SARA, pemerintah harus bertindak tegas dengan tindakan preemtive.
Ada dua pilihan tindakan, yaitu pertama; penyelesaian secara politik, sesudah Ahok dinyatakan sebagai TSK (tersangka) penista agama, Ahok dipaksa mundur dari jabatannya kemudian ditugaskan keluar negeri, misalnya sebagai Duta Besar.
Pilihan yang kedua, penyelesaian secara hukum, ialah setelah Ahok menjadi TSK penistaan agama, proses hukumnya dilanjutkan sampai sidang Pengadilan dan diteruskan sampai dengan jatuhnya vonis hakim.
Namun pilihan yang kedua ini mengandung resiko, yaitu bila sidang-sidangnya dihadiri oleh ribuan orang, pada akhirnya akan memicu kerusuhan juga.
Pemerintah jangan menganggap ini persoalan kecil atau persoalan yang bisa diremehkan. Situasinya sudah menggelinding dan bisa berkembang dengan cepat dan menjalar ke-daerah-daerah. Kondisi Indonesia bisa mundur kembali, bisa meruntuhkan kepercayaan luar negeri, dan akhirnya meruntuhkan ekonomi.
—–