Oleh: Abdul Muis Syam
DM1.CO.ID, JAKARTA: Pemilu Serentak 2019 baru saja digelar, Rabu (17/4/2019). Dan beberapa saat usai pencoblosan hingga saat ini, hampir semua lembaga survei bak petir langsung menyajikan quick-count (hitung cepat) dengan menempatkan pasangan Capres nomor urut 01 sebagai pemenang. Betulkah?
Jawabnya memang betul. Tapi bisa dipastikan bahwa angka-angka tersebut tidaklah bisa dijadikan patokan utama untuk menentukan siapa pemenang Pilpres 2019.
Dan juga hampir bisa dipastikan, bahwa angka-angka yang disajikan oleh lembaga-lembaga survei tersebut adalah angka yang bersumber dari TPS-TPS basis atau kantong suara kubu 01, yang kemudian dijadikan sampling untuk membangun opini publik. Mengapa?
Sebab, sudah menjadi rahasia umum, bahwa eksistensi lembaga-lembaga survei saat ini lebih cenderung menyajikan angka yang bisa ditebak adalah untuk “kepuasan dan selera tuan”. Mau meleset atau tidak, itu urusan belakang.
Masih ingat Pilgub DKI Jakarta 2017? Di sana memunculkan anomali data, antara quick-count yang disajikan oleh lembaga-lembaga survei dengan real-count dari KPU.
Pada Pilkada DKI Jakarta 2017, data real-count KPU DKI Jakarta, pasangan Anies-Sandi meraih suara 57,95 persen, jauh mengungguli pasangan Ahok-Djarot yang hanya meraih 42,05 persen suara.
Namun saat itu, semua lembaga survei meleset jauh dalam membuat prediksi hasil akhir Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Artinya, tak satupun lembaga survei yang berhasil memunculkan angka kemenangan telak Anies-Sandi.
Bahkan lembaga survei yang diakui sudah mendapat rapor biru sekalipun, seperti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, kala itu hanya mematok suara Anies-Sandi di angka 51,4 persen.
Lebih parah lagi dengan lembaga survei lainnya, seperti Media Survei Nasional (Median), Saiful Mujani Research Center (SMRC), dan Charta Politika, yang hanya “mampu” memprediksi suara Anies-Sandi di bawah 50 persen.
Yakni ketika itu, Anies-Sandi hanya “diberi angka” prediksi oleh Median 49,0; SMRC 47,9 persen; Charta Politika 44,8 persen.
Bayangkan, untuk memprediksi “secara lokal” hasil Pilkada DKI Jakarta 2017 saja, para lembaga survei itu sangat jauh meleset, apalagi untuk memprediksi hasil Pilpres 2019 dari Sabang sampai Marauke? Hmm.. ada apa dengan lembaga-lembaga survei ini? Apa ada uang di balik angka???
Entahlah! Yang jelas, angka-angka yang telah dihasilkan oleh para lembaga survei dalam menghitung hasil Pilpres 2019 ini, memberi angka rata-rata 54 persen untuk Capres 01 dan rata-rata 45 persen untuk Capres 02.
Angka-angka itu secara psikologis sepertinya menjadi shock-blow, yang bertujuan untuk meruntuhkan dan membungkam “keyakinan” publik yang telah yakin dengan kemenangan Capres Prabowo.
Sebab, angka-angka yang dimunculkan oleh para lembaga survei tersebut, sungguhlah sangat bertolak belakang dengan kondisi riil di lapangan, baik sebelum maupun sesudah pencoblosan.
Kondisi riil sebelum pencoblosan menunjukkan, bahwa publik telah sadar dengan rezim Jokowi yang hanya mampu membuat pertumbuhan ekonomi di negeri ini mandek di capaian 5 persen. Itu yang pertama.
Kedua, publik telah sadar bahwa Jokowi hanyalah “boneka partai” (petugas partai) yang bisa secara leluasa diperintah ini dan itu oleh partai yang mengusungnya.
Ketiga, di mata publik, Jokowi dinilai banyak melakukan kebohongan dan mengumbar janji-janji yang tak mampu ia wujudkan dengan baik.
Sehingga yang keempat, di mana-mana kampanye Jokowi pun kebanyakan terlihat sepi.
Sedangkan kondisi riil sesudah pencoblosan, yakni para netizen dari berbagai penjuru melaporkan secara sukarela suasana dan hasil perolehan suara Pilpres, menunjukkan bahwa pasangan Capres 02 unggul di hampir semua wilayah di Indonesia.
Satu-satunya quick-count yang memunculkan angka kemenangan Prabowo-Sandi adalah penghitungan dari Exit Poll, yang menyajikan angka 55 persen untuk kemenangan Capres 02.
Meski adalah milik internal BPN (Badan Pemenangan Nasional) Prabowo-Sandi, tetapi Exit Poll dalam memberikan formulasi angka tentu masih bisa lebih akurat. Sebab, jaringan militansi mereka di seluruh Indonesia tentu tak perlu diragukan lagi. Dan ini belum tentu dimiliki oleh lembaga-lembaga survei tersebut.
Olehnya itu, angka-angka yang telah dikeluarkan oleh para lembaga survei sejauh ini, itu boleh jadi hanya untuk “membungkam” kemenangan Prabowo-Sandi.
Yang sangat dikhawatirkan dalam upaya pembungkaman itu adalah munculnya “keleluasaan” dari pihak-pihak tertentu dalam memanipulasi data di lapangan, yakni dengan cukup mengikuti angka yang dikeluarkan oleh para lembaga survei tersebut.
Kekhawatiran berikutnya, adalah jangan-jangan angka yang disajikan oleh para lembaga survei itu adalah hasil terbalik, dengan kata lain angka yang sedianya milik Prabowo “disulap” (dibalik) menjadi milik Jokowi? Jangan sampai demikian!!!!
—
(Penulis adalah pengamat politik dan sosial, aktivis pergerakan perubahan dan penegak kedaulatan rakyat)