Membedah Kabar Hoax: Jokowi Presiden Terbaik Asia-Australia

Bagikan dengan:

Hoax adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjukan pemberitaan palsu atau usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu.

DM1.CO.ID, JAKARTA: Jelang tahun baru 2017, atau beberapa hari terakhir ini (dan bahkan hingga kini) tersiar kabar dari sejumlah media online yang menyebutkan Jokowi adalah presiden terbaik Asia-Australia, versi Bloomberg.

Kabar ini pun langsung “dilahap” dan disebar mentah-mentah ke seluruh penjuru media sosial oleh para “pemuja-pemuji” rezim Jokowi. Sehingga menjadi heboh karena dinilai spektakuler.

Namun bagi banyak kalangan yang mengikuti dan merasakan langsung keadaan riil di tanah air, tentu saja merasa sangat kaget dan bertanya-tanya: Apa iya Jokowi yang semasa kampanye berjanji tidak akan menambah utang luar negeri jika memimpin RI, yang kenyataannya malah dimabuk utang itu kini dinobatkan sebagai yang terbaik?

Juga, apa iya Jokowi yang melanggar janji kampanyenya untuk tidak menaikkan harga (menghapus subsidi) BBM, listrik dan sebagainya itu kini disebut presiden terbaik? Atau apa iya, presiden yang ngotot dan bersitegang sangat yakin proyek listrik 35 ribu MW bisa rampung 2019, namun kenyataannya hanya mampu 20 ribu MW itu, dinobatkan sebagai yang terbaik?

Bahkan belum dua tahun menjabat tetapi sudah dua kali melakukan reshuffle kabinet; pernah pula menyebut secara serampangan bahwa ekonomi Indonesia akan meroket pada September 2015; juga berkali-kali melakukan kesalahan membaca naskah maupun lisan, baik dalam berpidato maupun memberi statement di hadapan publik, dan lain sebagainya itu, apa iya Bloomberg menobatkannya sebagai presiden terbaik Asia-Australia?

Bagaimana mungkin rezim yang tidak memperlihatkan kreativitasnya dalam membangun, yang hanya mengandalkan dana utang luar negeri dan pajak, serta terakhir ini bisa disebut memeras rakyat dengan menaikkan biaya BPKB dan STNK hingga 275 persen, bisa disebut presiden terbaik?

Dengan munculnya seribu satu pertanyaan yang  dipicu akibat dari kabar tersebut, membuat seorang netizen bernama Canny Watae pun menuangkan analisisnya dalam sebuah tulisan dilaman Facebook miliknya.

Tentu saja Canny tidak menelan mentah-mentah informasi seperti itu begitu saja. Dia jelajahi pesan-pesan kunci dari kabar yang disebarkan itu dan akhirnya menyimpulkan, bahwa kabar itu tidaklah sehebat sebagaimana judulnya, dan bahkan sangat jauh dari kebenaran sumber beritanya (alias Hoax). Dan memang Bloomberg hanya menuliskan sejumlah performa pemimpin dunia berdasarkan ukuran ekonomi negara. Tidak disebut terbaik atau terburuk.

Berikut analisa Canny Watae seperti diambil dari laman Facebook miliknya yang diberi judul: “Tahun Baru, Lelucon Baru”:

Sehari dua hari ini, saya membaca kabar di medsos bahwa Jokowi dinobatkan menjadi pemimpin kawasan Asia Pasifik terbaik untuk tahun 2016.

Benarkah?

Saya buka situs Bloomberg, media yang dikatakan para penyebar kabar sebagai sumber informasi. Lalu saya googling judul pemberitaan yang terkait. Hasilnya?

Ternyata, sama dan senada dengan para pekabar medsos, sejumlah situs berbahasa Indonesia (termasuk dari sebuah media Nasional yang sudah tidak saya baca lagi) menulis bunyi serupa: Terbaik.

Ada semacam koor satu irama bahwa “Bloomberg menobatkan Jokowi” sebagai “yang terbaik” tahun 2016 di kawasan Asia Pasifik.

Padahal, sumber informasi awal, yaitu Bloomberg, bukan berbicara soal siapa yang “Terbaik” dalam artikel yang di-publish dalam Bahasa Inggris itu. Judulnya saja berbunyi: “Who’s Had the Worst Year?”. Dalam bahasa kita sehari-hari artinya adalah: Siapakah yang mengalami tahun terburuk kali ini? Judul bernada “sial” ini diperkuat dengan anak kalimat “How Asian Leaders Fared in 2016” yang berarti “Gambaran nasib para pemimpin Asia tahun 2016”.

Pula, pada bagian kickers (kaki judul) editor Bloomberg mencantumkan:

“And some of the headaches they face in 2017”, alias: “Dan sejumlah ‘sakit kepala’ yang dihadapi tahun 2017”.

Jadi, sama sekali tidak ada nobat-nobatan bersubyek “Terbaik” pada artikel itu. Atau, sebagai hadiah hiburan belaka, dapat saja dikatakan “Siapa yang Terbaik di antara yang Terburuk”.

Nampaknya, dalam amatan saya, terjadi semacam pembelokan makna yang dilakukan para pekabar medsos , dan sejumlah media (baik yang media berbadan hukum maupun “media” garapan personal).

Khusus bagi para pekabar personal, kelihatan sekali bagai mendapat setitik air di tengah kegersangan catatan pemenuhan janji-janji kampanye Joko Widodo. Di tengah kabar pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW yang mulai menjauh dari harapan, Tol Laut yang mulai kehilangan semangat, Harga BBM di Papua yang ternyata masih belum sama sepenuhnya dengan di kawasan barat, nilai tukar Rupiah yang masih berkutat di level 13 ribuan, Kartu Ajaib yang masih jauh dari keajaiban, dll, dll…. Dan artikel Bloomberg pun jadi pelipur lara.

Agar lebih fair, mari lihat indikator yang digunakan Bloomberg (dalam rangka membandingkan para pemimpin Asia-Pasifik, bukan dalam rangka menunjukkan adanya perubahan yang dilakukan pemimpin bersangkutan di negaranya masing-masing):

  1. Rupiah menguat 2,41?

Sekilas, ini tampak sebagai indikator “Positif”. Menjadi makin bercitra positif saat dibandingkan dengan mata uang beberapa negara pembanding yang mengalami penurunan.

Namun, penguatan 2,41? itu belum bisa menutupi penurunan nilai tukar Rupiah (terhadap Dollar AS) yang terjadi sejak Joko Widodo menjadi presiden. Saat ia dilantik, Rupiah berada pada level 12.100 per Dollar. Saat ini, pertanggal 30 Desember 2016, Rupiah berada dievel 13.475. Artinya, Rupiah mengalami depresiasi (penurunan) lebih dari 10?. Penguatan 2,41? di atas masih terhitung “tekor“. Pula, data 2,41? itu rancu karena hanya mencakup jendela data Juli sampai Oktober 2016.

Sementara data nilai tukar negara pembanding lainnya seperti China, Jepang, dan Korea mencakup jendela data yang lebih lebar. China mencakup keseluruhan tahun (Jan-Des), Korea Januari hingga November, Jepang Januari hingga Oktober. Jadi, pembandingan data menjadi sangat rancu.

Mengapa untuk Rupiah hanya mencakup Juli-Oktober? Sekedar info, Rupiah sempat menyentuh nilai tukar 12.900-an (nilai terkuatnya selama 2016) pada awal Oktober). Mengapa hanya pada jendela waktu singkat dan pada saat ada strong point seperti itu? Mungkin jawabannya ada pada Saiful Mujani Research & Consulting yang menjadi sumber Bloomberg.

  1. Pertumbuhan Ekonomi 5,02?

Ini berarti pertumbuhan datar datar saja karena berkisar pada angka pertumbuhan yang sama dengan tahun sebelumnya. Angka ini jika dibandingkan dengan apa yang sudah dilakukan rezim sebelumnya, yaitu rezim SBY, masih belum ada apa-apanya. SBY pernah membawa Indonesia ke angka pertumbuhan 6?.

  1. Approval Rating 69?

Silahkan dinikmati. Dengan sumber SMRC, saya rasa ini merupakan hadiah hiburan bagi kita semua. Sebagai catatan: angka 69? bukanlah yang terbaik. Ada Presiden Filipina dan Presiden India yang memiliki approval di atas 80?.

So… Benarkah Jokowi pemimpin Terbaik versi Bloomberg?

Saya rasa… Itu adalah lelucon. Lelucon tahun baru kita.

Happy New Year, para penggemar lelucon!

(dbs-ams/DM1)
Bagikan dengan:

Muis Syam

3,179 views

Next Post

Pemerintah Siapkan Paket Kebijakan Ekonomi Mengenai Logistik

Kam Jan 5 , 2017
DM1.CO.ID, Bogor – Pemerintah tengah menyiapkan Paket Kebijakan Ekonomi ke-15 yang akan mengatur mengenai logistik termasuk di dalamnya upaya menurunkan “dwelling time” menjadi hanya dua hari.