Oleh: Achmad Nur Hidayat*
DM1.CO.ID, OPINI: “Hadiah” kemerdekaan RI yang ke -77 pada 17 Agustus mendatang dari sektor ekonomi ternyata tidak cukup menggembirakan. RI harus rela menempati juara ke-4 di ASEAN secara pertumbuhan ekonomi.
Padahal secara jumlah penduduk, kekayaan alam dan keberagaman kreativitas Indonesia adalah yang Nomor 1 Terbesar di ASEAN.
Tumbuh Namun tidak Berkesan
Sayangnya, Tim ekonomi Indonesia gagal mencapai pertumbuhan ekonomi tertinggi.
Pada Kuartal II 2022, kinerja ekonomi Indonesia tidak begitu berkesan dibandingkan Malaysia, Vietnam dan Filipina.
Indonesia mencapai pertumbuhan 5,44 persen year-on-year (yoy) pada kuartal II-2022, menepati urutan ke-4.
Sementara itu, di posisi ke-1 ada Malaysia yang mencatatkan laju pertumbuhan yang menakjubkan yaitu 8,9 persen (yoy), posisi ke-2 ada Vietnam yang mencatatkan laju pertumbuhan 7,72 persen (yoy) disusul Filipina di posisi ke-3 mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,4 persen yoy.
Salah Arah Karena Pemerintah Berhemat Saat Ekonomi Melemah
Apa alasannya kinerja ekonomi Indonesia pada kuartal II paroh pertama 2022 begitu tidak berkesan? Padahal Indonesia paling kaya SDA & komoditi, paling besar penduduk dan rela pada posisi ke-4 di ASEAN ?
Tim Ekonomi pemerintah Indonesia masih berpedoman dengan ekonomi gaya lama yaitu berhemat disaat ekonomi masih melemah.
Padahal dikondisi ekonomi sedang lesu seperti ini seharusnya Pemerintah Indonesia meningkatkan spending (belanja) disaat sektor private dan rumah tangga sedang terpuruk.
Indikasi berhematnya pemeritah terlihat dari Government Spending atau konsumsi pemerintah kuartal II-2022 yang malah mengalami kontraksi atau berkurang minus 5,24% (yoy).
Penurunan goverment spending juga terjadi pada kuartal pertama 2022 sehingga secara kumulatif pertumbuhan konsumsi pemerintah negatif 6,27%.
Kebijakan berhemat dalam belanja pemerintah tidak sejalan dengan belanja Rumat Tangga (RT) yang mengalami kenaikan 5.51%.
Narasi APBN Ekspansif, Kenyataannya Kontraktif
Narasi bahwa APBN akan ekspansif ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya.
Sebenarnya kuartal II 2022, perrtumbuhan ekonomi bisa tumbuh 7-8 persen manakala government spending (belanja pemerintah) diekspansikan 4-5% dari tahun lalu. Sayangnya belanja pemerintah malah -5,24 persen (yoy).
Anehnya, Pertumbuhan ekonomi yang tidak berkesan 5,44 persen tersebut diklaim sebagai prestasi karena APBN mengalami surplus Rp73,6 triliun pada kurtal II-2022 tersebut.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan APBN surplus sebesar Rp 73,6 triliun pada kuartal II 2022. Menkeu mengklaim sebagai luar biasa positif.
Sri Mulyani mengatakan Realisasi APBN tahun 2022 telah berjalan selama satu semester. Pendapatan Negara mencapai Rp1.317,19 trilyun. Lebih besar dibanding Belanja Negara yang sebesar Rp1.243,60 trilyun. Dengan demikian dialami surplus sebesar Rp73,59 trilyun. Kondisi surplus nyaris tidak pernah dialami selama belasan tahun terakhir.
Klaim Surplus APBN yang Menyesatkan
Tidak perlu seorang akuntan untuk memahami surplus APBN tersebut. Surplus APBN tersebut terjadi karena Pemerintah mengerem atau menghemat belanjanya dibandingkan tahun 2021 lalu.
Bukan disebabkan prestasi belanja yang optimal. Memang ada kenaikan penerimaan negara namun hal tersebut yang tidak signifikan dibandingkan capaian negara lain.
Surplus APBN tersebut seharusnya dikecam oleh DPR dan Publik karena buat apa surplus APBN manakala rakyat sangat membutuhkan belanja negara itu untuk membantu mengurangi beban hidup akibat kenaikan energi, BBM, gas dan listrik.
DPR harusnya marah kenapa belanja pemerintah ditahan padahal ekonomi bisa tumbuh dilevel 7-8 persen pada kuartal II 2022 kemarin manakala belanja pemerintah dinaikan.
Surplus APBN Untuk Membayar Utang LN Tidak Bijak Manakala Belanja Pemerintah Ditahan
Indonesia mencatat utang luar negeri turun menjadi Rp5.933 triliun. Kondisi utang tersebut tercatat pada akhir kuartal II-2022.
Perkembangan tersebut disebabkan penurunan posisi ULN sektor publik dan sektor swasta. Secara tahunan, posisi ULN triwulan II 2022 mengalami kontraksi sebesar 3,4%.
Surplus APBN tersebut sebagiannya digunakan untuk penurunan posisi ULN Pemerintah antara lain karena adanya pelunasan pinjaman bilateral, komersial, dan multilateral yang jatuh tempo selama periode April hingga Juni 2022.
Meskipun membayar utang Luar Negeri krusial namun pembayaran utang tersebut seharusnya tidak dibayarkan karena ditahannya belanja negara seperti yang terjadi pada Kuartal II 2022.
Rekomendasi
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi pada paru terakhir 2022 lebih baik, sebaiknya pemerintah tidak lagi menahan belanja negaranya. Diharapkan belanja negara tersebut mampu mengejar ketertinggalan pertumbuhan ekonomi terhadap Malaysia, Vietnam dan Filipina.
—–
(Penulis adalah Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute)
Redaksi menerima artikel dari semua pihak sepanjang dianggap tidak berpotensi menimbulkan konflik SARA. Setiap artikel yang dimuat adalah menjadi tanggungjawab sepenuhnya oleh penulis.