Oleh: Fian Hamzah*
DM1.CO.ID, OPINI: Malam yang baru menggapai pertengahannya, di pukul 23.28 (Rabu, 11/11/2020), tiba-tiba WhatsApp group saya bersuara. Grup tersebut tak asing bagi anak pribumi di salah satu “kerajaan” yang berada di pertengahan barat, timur, utara, selatan. Sebut saja namanya “Kerajaan Damai”, atau Peace Kingdom, demikian bule menyebutnya.
Sebetulnya, saya tidak tertarik membaca apa yang dikirimkan ke ruang maya tersebut. Ya, karena saya berpikir kiriman itu rata-rata paling hanya perkara “jualan” prestasi “Kerajaan Damai” yang tidak istimewa, ini, itu, dan seterusnya.
Namun, pelan-pelan ketertarikan itu muncul, ketika mengetahui jika kali ini berbeda dari kiriman-kiriman informasi sebelumnya. Sehingga akhirnya, saya memutuskan untuk membuka tautan tersebut.
Kaget? Atau mungkin terpukau? Tentu tidaklah! Malah hanya bikin kepala jadi geleng-geleng jika mencermatinya. Paling tidak, dari informasi itu saya mendapat simpulannya. Informasi yang muncul di lintasan waktu itu hanya berisi kepentingan yang berisi pujian yang menjulang tentang “sang raja”. Sehingga tawa pun spontan pecah di ujung malam. Penyebabnya, tentu saja karena merasa geli melihat susunan-susunan kalimat sanjungan yang sangat dipaksakan agar dapat tercium harum, padahal kata orang itu hanyalah sebuah “tumpukan sampah” yang sangat sulit didaur ulang. Mengapa? Karena memang wataknya sudah sangat sulit diubah.
Yuk, kita bernostalgia tentang sepak terjang raja yang mendadak menjadi fenomena di kerajaannya dengan melihat begitu panjangnya “lintasan polemik”, yang membuat tangan harus menepuk jidat.
Tidak pernah habis keanehan dan juga pergolakan yang menghiasi pemerintahan raja itu. Belum lama memimpin, raja sudah sangat doyan merombak karir para pejabat yang membantunya dengan dasar yang sukar dijangkau, selera raja tak ada yang paham. Kurang lumrah dalam kisah-kisah pemimpin yang dicintai dan dikasihi rakyat, raja justru menjadi antitesis.
Ia benar-benar dinilai berhasil memulai amanahnya dengan menabur “ketakutan” hingga penyesalan. Semua yang dipimpinnya nyaris tak ada arah, selain mengumbar bagi-bagi harta dengan publikasi, kalimat-kalimat dari bibirnya keluar dengan bebas bersama arus emosi tanpa kendali, untungnya di sekitar dia tak ada yang “jualan rudal balistik”. Jika ada, maka bisa dipastikan habislah mulut si raja itu dihajar rudal.
Tidak cukup dengan emosi yang meluap-luap, raja juga dengan ambisinya sedang membangun benteng dinasti. Posisi dengan tiket atas nama rakyat yang mulai menampakkan khianat. Semua amburadul.
Pernah satu masa, semua manusia terkurung dikepung pandemi yang menguras segalanya. Termasuk tak bisa pindah dan bepergian sesuka hati, sebab segalanya dibatasi bagai berada dalam situasi darurat “perang”, melawan musuh mikro yang tak bisa dipantau dengan mata telanjang.
Anehnya, pada situasi sulit itu, anak sang raja kataknlah namanya “pangeran” sedang berada di ibu kota dengan biaya perjalanan sepenuhnya ditanggung oleh uang petani, buruh, nelayan, pedagang dan lainnya. Uang sekaligus identitas atas nama rakyat menemaninya. Entah ada urusan apa di sana, namun semua tak pernah tahu bahwa anak sang raja selalu ingin pesta.
Akhirnya, seolah tanpa malu, maksiat di ruang gemerlap pun terungkap dilakukan oleh “sang pangeran”, hingga menyakiti seluruh rakyat yang telah letih membangun peradaban namun sekejap dihancurkan oleh kolaborasi sikap serta perilaku “sang raja” dan “pangeran”.
Bukan hal baru, segala kedigdayaan ini terjadi. Dulu sebelum bertahta, sang raja memajang wajah dan “permohonan” di baliho. Dan rakyat seolah “terhipnotis” dengan wajah calon sang raja yang kala itu “bertopeng” malaikat, tetapi sesungguhnya berhati iblis.
Padahal, sebelum maju berebut tahta, sang raja sudah terkonfirmasi melakukan tindakan aniaya yang mengakibatkan luka berat pada seorang rakyat yang akhirnya meninggal dunia.
Singkat cerita, perkara itu kemudian digali kembali, hingga saat ini pun sang raja harus berhadapan di meja pengadilan yang murni didesak oleh lingkaran barisan dari rakyat. Sehingga keputusannya, harus mencerminkan rasa keadilan yang dikehendaki oleh rakyat pula. Bukan menurut selera sang raja yang justru akan lebih memancing timbulnya persoalan yang baru dan lebih parah.
Olehnya itu, saya bersama barisan rakyat menitip pesan kepada kelompok pembela raja: “Janganlah menjadi hakim, jika bukan hakim. Itu pekerjaan berat, tanggung jawabnya ‘menakutkan’. Kita percayakan penanganannya kepada majelis hakim. Kurang puas? Terserah, bodoh amat. Yang jelas, jangan lupa tanggal vonis putusan “sang raja” di hari yang sakral. Sekian.”
*(Penulis adalah Aktivis Pergerakan Mahasiswa Gorontalo)
—————-
Redaksi menerima artikel dari semua pihak sepanjang dianggap tidak berpotensi menimbulkan konflik SARA. Setiap artikel yang dimuat adalah menjadi tanggungjawab sepenuhnya oleh penulis.