DM1.CO.ID, JAKARTA: Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Ashiddiqie, penerapan Presidential Threshold (PT) 20% awalnya kelihatan makruh. Tapi kondisi saat ini membuat Jimly kemudian mengubah pendapatnya, bahwa penerapan PT 20% adalah haram di mata konstitusi.
Sebabnya, kata Jimly, penerapan PT 20 persen sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 hasil amendemen.
Jika dilihat dari kacamata konstitusi, maka sangat jelas keberadaan Presidential Threshold tidak memiliki landasan.
Mekanisme pencalonan presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945 ayat 6A, tidak ada klausul yang mengamanatkan adanya Presidential Threshold.
“Kalau saya masih jadi hakim MK, tuntutan dari masyarakat yang menggugat Presidential Treshold 20 persen akan saya kabulkan,” ujar Jimly dalam diskusi bulanan yang diadakan Policy Centre (Polcen) Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI), di Kampus UI Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (13/7/2018).
Seperti diketahui, terdapat beberapa kalangan yang menggugat PT 20% tersebut ke MK. Di antaranta, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hadar N Gumay, dan Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini.
Ia menyebutkan, PT sebesar 20 persen pada Pemilihan Presiden (Pilpres) di ajang Pemilu 2019, bisa merusak iklim demokrasi.
Pasalnya, Pilpres dan Pemilihan Legislatif (Pileg) diselenggarakan serentak, dan ada presiden incumbent.
Jimly menerangkan, pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2017, yang menetapkan PT sebesar 20% bisa menghambat parpol yang ingin mengajukan Capres-Cawapres.
“Karena itu, penerapan Presidential Threshold 20 persen harus dipertimbangkan oleh MK untuk dikurangi atau dicabut,” tegas Jimly
Di sisi lain, Hadar menjelaskan bahwa negara-negara yang menerapkan sistem serupa tidak menetapkan persyaratan batas suara bagi parpol untuk mengusung capres, yang penting sudah dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilu, maka mereka (para parpol tersebut) berhak mengajukan Capres-Cawapres.
Sementara itu di acara ILC beberapa waktu lalu, Dr. Rizal Ramli juga pernah menyuarakan agar Presidential Threshold segera dicabut karena tidak sesuai dengan sistem presidensial yang dianut di negeri ini.
Tokoh pergerakan perubahan ini menceritakan, bahwa saat sebelum sakit dan meninggal, Lee Kuan Yew pernah bertandang ke Indonesia pada 4 tahun silam.
Saat itu, kata Rizal Ramli, Lee Kuan Yew sempat mengundang dirinya makan malam, lalu menanyakan sesuatu hingga terlibat bantah-bantahan.
“Doktor Ramli, sistem politik di Indonesia itu apa, presidensial atau parlementer?” ujar Rizal Ramli menirukan pertanyaan Lee Kuan Yee ketika itu.
Mendengar pertanyaan tersebut, Rizal Ramli kemudian menjawab, bahwa selama ini Indonesia menganut sistem presidensial.
Namun jawaban tersebut langsung dibantah oleh Lee Kuan Yew, “Nggak benar, doktor Ramli. You’re parlementer”.
Rizal Ramli balik membantah, “Loh nggak (bukan parlementer), undang-undang kita adalah presidensial”.
Namun bantahan Rizal Ramli langsung ditanggapi Lee Kuan Yew dengan mengatakan, “Bukan (presidensial). Karena kalian (Indonesia) ikut seperti kita, kita parlementer. Kita pilih dulu anggota DPR, baru habis itu, tiga bulan pilih perdana menteri atau presiden. Jadi Indonesia parlementer”.
Rizal mengaku baru memahami pertanyaan Lee Kuan Yew ketika terjadi pemilihan presiden di Perancis yang memenangkan Emmanuel Macron.
“Rakyat Perancis sudah bosan dengan partai-partai besar. Emmanuel Macron bikin partai baru, anggotanya dari teman-teman Facebook-nya, hanya 200-an ribu orang. Dia ikut pemilihan presiden, lalu menang. Tiga bulan kemudian baru dipilih DPR. Orang paling hebat, paling baik di Perancis gabung dengan partai guremnya, akhirnya partai milik Emmanuel Macron menang mayoritas 65 persen. Sehingga, itulah presidensial,” jelas Rizal Ramli.
Dengan sistem seperti yang terjadi di Perancis, kata Rizal, Emmanuel Macron tidak perlu dagang sapi dengan partai di DPR.
Beda dengan di Indonesia. Menurut Rizal, hari ini Jokowi (malah) dagang sapi, orang-orang yang kacau dan tidak berprestasi dengan mudahnya ditunjuk jadi menteri hanya karena satu tinjauan dan pertimbangan, yakni karena didukung oleh partai pengusung dan pendukung.
“Ada permainan duit di dalam sistem politik kita kayak begini. Jadi kalau Mahkamah Konstitusi betul-betul ingin sesuai dengan undang-undang, maka kembalikan (PT) ke nol persen. Banyak calon presiden nggak ada masalah, nanti toh tinggal dua, pada tahap dua. Dan Pak Jokowi nggak usah kuatir, tetapi bahwa kalau menang syukur, kalau kalah ya nasibnya memang rakyat Indonesia ingin perubahan,” jelas Rizal.
Kasus-kasus korupsi yang besar ini, menurut Rizal, tidak mungkin bisa dibuka apalagi dituntaskan. Karena elitnya semua pakgulipat dan saling sandera akibat diawalnya sudah ada “permainan” dalam penentuan Capres-Cawapres dengan penerapan sistem PT 20%.
“Jadi kalau rakyat kita ingin perubahan, maka mari kita ramai-ramai tekan Makhkamah Konstitusi supaya menghapus Presidensial Threshold,” ajak Rizal Ramli. (dbs-ams/dm1)