Editorial DM1
DM1.CO.ID, JAKARTA: Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani beserta sejumlah pejabat negara di negeri ini mendampingi Managing Director International Monetary Fund (IMF), Christine Lagarde, melakukan blusukan di Tanah Abang dan RS. Pertamina, pada Senin (26/2/2018).
Kedatangan Christine Lagarde tidak sendiri. Ia ditemani oleh para petinggi IMF lainnya, yakni Director Asia Pacific Department IMF (Changyong Rhee); Director Communication Department IMF (Gerard Thomas Rice); Secretary of the IMF (Jianhai Lin); Senior Resident Representative for Indonesia (John G. Nelmes); dan Division Chief for Indonesia Asia Pacific Department IMF (Luis E. Breuer).
Dalam blusukan tersebut, Presiden Jokowi juga tidak sendiri. Selain didampingi Sri Mulyani, Jokowi juga dikawal oleh Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, dan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, serta pejabat teras lainnya.
Menurut Sri Mulyani, banyak yang dibahas presiden dalam pertemuan dengan Lagarde. Salah satunya mengenai kondisi ekonomi dunia.
Sri Mulyani menyebut bahwa Lagarde menyampaikan kondisi ekonomi dunia tahun ini dan tahun depan relatif stabil dengan pertumbuhan sekitar 3,9 persen.
Sri Mulyani menyampaikan pandangan Lagarde, bahwa untuk Indonesia, IMF memproyeksi pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,3 persen. Dan penggerak pertumbuhan Indonesia didorong oleh sektor konsumsi, ekspor, dan investasi.
“Jadi dari sisi Indonesia, Madam Lagard menyampaikan mengenai ekonomi Indonesia menurut IMF 5,3 persen didorong oleh konsumsi, ekspor, dan investasi. Indonesia bisa berpotensi untuk tumbuh lebih tinggi lagi,” ujar Sri .
Meski Jokowi menyebut belum ada rencana kerjasama antara Indonesia dan IMF. Namun, tidak menutup kemungkinan kerjasama tersebut akan dibahas dalam pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia, pada Oktober 2018 ini.
“Kerjasamanya nanti di bulan Oktober, akan ada IMF-World Bank annual meeting,” ungkap Jokowi.
Kerjasama apakah yang dimaksud oleh Presiden Jokowi? Tak perlu main tebak-tebakkan, paling juga “UUD= Ujung-ujungnya Utang”?!
Kalau betul ujung-ujungnya adalah ngutang lagi, maka boleh jadi blusukan tersebut pemerintah seolah-olah ingin menyampaikan pesan kepada dua pihak (rakyat dan IMF).
Yakni, pesan kepada rakyat, pemerintah seolah berkata: “Bahwa jangan cemas kita masih punya IMF yang bisa menghidupi kita dengan utang”.
Sementara pesan kepada IMF, pemerintah seolah berkata: “Bahwa jangan kuatir, rakyat masih banyak yang susah dan masih butuh bantuan utang dari Anda (IMF)”.
Jika makna blusukan tersebut seperti itu, maka tim ekonomi pemerintahan Jokowi ini benar-benar hanya doyan “mengemis” dan tidak punya banyak cara membangun bangsa dan negara saat ini selain hanya dengan cara mengutang?
Dan apabila “tradisi” mengutang ini terus dipertahankan dan dilakukan oleh pemerintahan saat ini, maka bisa dipastikan pemerintahan Jokowi tak layak menyebut diri sebagai pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia Hebat. Hebat dari mana…???
Bahkan jika hanya doyan ngutang dan bergantung pada kerjasama dengan IMF, maka cita-cita dan tekad mewujudkan Trisakti itu sebatas di bibir saja.
Dari situ, pemerintahan Jokowi juga sebaiknya tak perlu terlalu berlebih-lebihan menamakan pemerintahan dengan nama “Kabinet Kerja”, sebab apabila tim ekonomi yang ada saat ini hanya bisa ngutang, maka yang terjadi bukan bekerja untuk rakyat, tetapi hanyalah ngerjain rakyat.
Rizal Ramli Kembali Ingatkan: “Jasmerah”
Dr. Rizal Ramli mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mantan Menteri Keuangan era Presiden Gus Dur, dan juga mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman era Presiden Jokowi, adalah sosok yang paling cerdas dan tegas berjuang untuk perbaikan ekonomi di negeri ini.
Paling tidak, dalam urusan dengan IMF, Rizal Ramli harus berulang-ulang mengingatkan, bahwa Indonesia punya sejarah kelam saat berurusan dengan IMF.
Bekerjasama dengan IMF, menurut Rizal, bukannya keluar dari krisis moneter tahun 1998. Indonesia ketika itu malah terjerumus ke dalam krisis ekonomi hingga memunculkan kerusuhan di bidang politik dan keamanan.
Melihat “kemesraan” pemerintah dengan IMF saat ini, memang tidaklah perlu diherankan. Sebab, tim ekonomi pemerintahan saat ini adalah boleh dikata sebagai “budak” IMF, yang tentunya ini sangat bisa diperkirakan hanya akan membuat negeri ini kembali mengalami krisis ekonomi yang berat.
Olehnya itu Rizal Ramli kembali mengingatkan agar jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jasmerah), di mana sejarah telah mengukir bahwa situasi ekonomi Indonesia yang paling dan sangat teramat buruk adalah ketika IMF berhasil mendikte pemerintah Indonesia di era 1998.
Rizal Ramli harus kembali mengingatkan secara tegas, sebab dia adalah menjadi salah satu ekonom yang diundang pemerintah untuk bertemu dengan petinggi IMF di Jakarta ketika itu. Dan dengan keras nan tegas Rizal menentang masuknya IMF saat itu.
“Cuma saya dulu ekonom yang menentang masuknya IMF. Saya bilang keras-keras, Indonesia tidak butuh IMF. Krisis akan makin buruk kalau IMF diundang masuk ke Indonesia,” lontar Rizal Ramli.
Namun terlambat, keesokan harinya Presiden Soeharto meneken perjanjian dengan IMF. Bos IMF Michael Camdessus menyaksikan momen penandatanganan tanggal 15 Januari 1998 itu seraya kedua lengannya bersilang di dada. Sementara Soeharto sebagai presiden membungkuk untuk menandatangani Letter of Intent (LoI). Dan itulah detik-detik awal momen keruntuhan dan kekalahan ekonomi di Indonesia oleh IMF.
Kekuatiran Rizal soal IMF tentu punya alasan. Dia menjelaskan, bahwa beberapa negara malah terperosok makin dalam ketika menjalin kerjasama dengan IMF. IMF merasa sangat paham dan mengerti dengan kondisi sebuah negara dengan segera mengeluarkan aneka kebijakan, yang nyatanya justru makin membuat situasi makin buruk.
“Begitu IMF masuk, dia sarankan tingkat bunga bank dinaikkan dari 18 persen rata-rata jadi 80 persen. Banyak perusahaan langsung bangkrut,” kata Rizal.
Saran IMF agar menutup 16 bank tentulah menuai polemik dan rush. Sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada perbankan Indonesia. Para nasabah ramai-ramai menarik uang simpanan mereka di bank.
Akibatnya, pemerintah terpaksa menyuntikkan dana BLBI sebesar 80 Miliar Dolar AS. Inilah awal mula kasus korupsi megatriliunan yang hingga kini belum tuntas di Indonesia.
Namun yang paling parah, IMF meminta Indonesia menaikkan harga BBM. Akhirnya pada 1 Mei 1998, Presiden Soeharto menaikkan harga BBM hingga 74 persen. Hal ini menurut Rizal yang memantik kerusuhan besar-besaran di Indonesia.
“Besoknya demonstrasi besar-besaran. Kerusuhan di mana-mana, ribuan orang meninggal. Rupiah anjlok,” kata Rizal.
Rizal Ramli mengungkapkan, bahwa almarhum Moerdiono (Mensesneg Pak Harto), mengakui kesalahan paling besar sepanjang karirnya adalah membantu membujuk Presiden Soeharto untuk tandatangani LoI IMF yang sengaja dirancang untuk gagal. Sebab, ada 140 prasyarat (condionalities) di dalamnya.
Hal itu tidak masuk akal dan sebagian besar tidak ada hubungannya dengan stabilitas moneter dan kurs rupiah.
Rizal menceritakan, bahwa krisis ekonomi dimulai di Thailand, Juli 1997. Semua pihak membantah, bahkan IMF & Bank Dunia memuji Indonesia adalah negara super sehat dan tidak akan kena krisis. IMF dan Bank Dunia menyampaikan pujian seperti itu karena sedang mempersiapkan diri untuk menjalin kerjasama dengan Indonesia.
Namun Rizal Ramli adalah satu-satunya yang tidak “larut dalam pujian”. Ia bahkan meramalkan Indonesia untuk hati-hati akan kena krisis di tahun 1997-78, (ramalan Rizal Ramli tersaji dalam Economic Outlook Econit Oktober 1996).
Karena ketika itu terlalu banyak utang swasta, defisit current account yang besar dan rupiah yang over-valued 8%. Pujian Bank Dunia dan IMF benar-benar membutakan mata pejabat-pejabat negara kala itu dengan ngotot membenarkan bahwa ekonomi Indonesia sehat dan tidak bakal kena krisis jika menjalin kerjasama dengan IMF. Namun ketika krisis benar-benar terjadi, pejabat-pejabat tersebut malah diam, seolah ngumpet dan hanya bisa menganga-nganga dan tak bisa melakukan langkah penyelamatan.
Berbeda dengan di Korea, ketika krisis tiba, Korea cepat melakukan restrukturisasi utang swasta, sehingga cepat pulih.
Begitupun dengan di Malaysia yang menolak campur tangan IMF dan paksakan capital control, sehingga ekonominya lolos dari krisis.
Di Indonesia ketika itu tak bisa berbuat apa-apa selain hanya menerima kerjasama dengan IMF, akibatnya ekonomi anjlok dari 6% ke –(minus) 13%, klrs rupiah anjlok dari Rp.2500 per Dolar menjadi Rp.15.000 per Dolar. Sehingga ketika itu pemerintah tak mampu membendung kerusuhan yang terjadi di sejumlah kota-kota besar hingga berjatuhan ratusan korban.
Lalu “Kok bisa banyak yg memuja-muja IMF di Indonesia sampai hari ini?” lontar Rizal Ramli terheran-heran.
(nt-ams/dm1)