Oleh: dr. Roni H. Imran*
DM1.CO.ID: Penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di Indonesia, dan khususnya di Gorontalo akan segera berakhir. Masyarakat secara umum sangat merasakan dampak pelaksanaannya, dan tentu sektor ekonomi serta jasa yang paling merasakan akibatnya.
Juga satu hal yang paling menarik diperhatikan, adalah banyaknya masalah di wilayah perbatasan yang harus dilewati oleh masyarakat untuk masuk atau keluar.
Surat-suratan pendukung harus lengkap sebagai dokumen yang akan diperiksa di pos-pos perbatasan. Tanpa itu tidak bisa Lewat!
Sehingga banyak masyarakat yang seolah harus main kucing-kucingan dengan aparat. Bahkan ada yang harus melewati sungai, melintasi gunung dan hutan, layaknya seperti penyelundup barang ilegal, dan juga bagai adegan dalam film perang di zaman penjajahan, -di mana para kurir pejuang Republik berusaha melewati ketatnya pos penjagaan kolonial Belanda.
Banyak alasan mengapa masyarakat terpaksa harus melakukan “model” perjalanan seperti itu. Ada karena terdesak oleh masalah ekonomi sehingga harus keluar rumah mencari sesuap rezeki.
Ada juga yang hanya sekadar ingin mudik lebaran, atau menjenguk Keluarga yang sakit bahkan ada yang hanya kangen dengan Pacar yang lama tidak bertemu, seperti dalam sebuah kasus yang kami temukan di salah satu desa di wilayah Boalemo.
Apa yang terjadi sekarang ini dalam pelaksanaan PSBB, adalah sebuah konsekuensi dari pilihan yang diambil oleh pemerintah pusat dalam menghadapi Pandemi Covid19. Negara-negara di dunia terbelah dalam memilih cara mengatasinya.
Ada yang memilih Herd Immunity seperti di Swedia, Inggris dan Brazil. Mereka memilih “perang terbuka”, membiarkan rakyatnya terpapar dengan virus mematikan ini. Mereka menyerahkan pada seleksi alam, siapa yang kuat imunitasnya (kekebalan tubuh) maka dia mampu bertahan hidup.
Ini adalah sebuah “perjudian” besar dalam mengahadapi virus Corona yang penularannya sangat cepat, melampaui kecepatan petugas medis dalam menangani kasusnya, serta membuat peralatan dan ruangan rumah sakit tidak mampu menampung pasien. Sehingga terpaksa petugas medis memprioritaskan pasien yang mempunyai harapan sembuh dan hidup yang lebih besar.
Mereka awalnya yakin dengan sistem dan infrastruktur kesehatannya yang sudah teruji kehebatannya. Namun sekarang, mereka benar-benar nampak kewalahan dengan tingginya angka kematian akibat “perang terbuka” dengan Covid19 ini.
Mereka laksana memilih strategi “Total Football gaya Johan Cruyff” di Barcelona dan Belanda. Yakni, menyerang habis-habisan dan mencetak gol sebanyak mungkin, dan tidak terlalu fokus pada sisi pertahanan.
Pun seolah memainkan gaya bertinju Fighter ala Mike Tyson si Leher beton itu, yang meluluh-lantakkan semua lawan-lawannya.
Namun juga ada yang memilih strategi Lockdown, seperti kebanyakan negara di Eropa dan pula negara-negara di Timur Tengah, serta negara-negara yang mapan ekonominya. Yakni dengan menutup secara total seluruh wilayahnya, dan melakukan isolasi kepada semua masyarakatnya secara secara total pula, dan hanya boleh keluar rumah pada saat ada kedaruratan.
Mereka yakin dengan kekuatan ekonomi dan cadangan devisa negara, serta cadangan minyak dan kekayaan alam untuk membiayai rakyatnya selama pelaksanaan isolasi wilayah total.
Mereka memilih strategi bertahan total, seperti strategi bertahan Sepakbola Italia, Catenacio, mengunci pertahanannya dengan berlapis lapis. Kalau diibaratkan gaya petinju, mereka cenderung memilih gaya boxer seperti Chris Jhon yang mengandalkan pertahanan rapat double cover dalam menundukkan lawan.
Tetapi sekarang, mereka terancam dengan krisis ekonomi yang mungkin lebih mematikan dari pada virus Itu sendiri.
Khusus di Indonesia, dalam kondisi sulit seperti ini, nampaknya tidak kehilangan karakternya sebagai negara yang banyak ide dan inovasi. Yakni dengan berusaha untuk mencari solusi dan terobosan baru untuk “menundukkan” Covid19.
Alih-alih memilih salah satunya cara yang telah diterapkan di negara lain, Indonesia bahkan memilih strategi yang tidak biasanya dan tidak banyak dikenal dalam dunia strategi melawan wabah, atau Pendemi seperti sekarang ini.
Lantara kita susah memilih dua strategi yang sudah lumrah, yaitu Lockdown dan Herd immunity, oleh karena kita lemah dalam sistem serta infrastruktur kesehatan, dan juga kita bukan negara kaya yang punya cadangan devisa yang melimpah, maka kita (Indonesia) memilih strategi PSBB, yang mungkin menurut analisisi para pakar di Indonesiaa, menilai dalah upaya tepat dan cocok yang bisa menaklukkan Covid19.
Memilih salah satunya antara Herd Immunity atau Lockdown, bagi Indonesia adalah seperti memakan buah simalakama: dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu yang mati.
Sehingga Indonesia memilih jalan tengah, dengan harapan bisa melewati Pandemi ini dengan dampak di bidang kesehatan yang tidak terlalu parah, yaitu dengan menekan seminimal mungkin insiden kesakitan dan kematian akibat Covid19, tetapi juga bisa selamat dari sisi ekonomi, sehingga Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap bisa dipertahankan dalam lajur yang tepat.
Mungkin Pemerintah juga berharap bisa mencatatkan namanya di Rekor Muri, atau dalam catatan Rekor Dunia sebagai negara yang sukses mengatasi Pendemi Covid19 dengan Jurus Baru.
Di dalam Pelaksanaan PSBB ini, lebih fleksibel, bisa menyesuaikan dengan situasi perkembangan kasus penyakitnya. Kalau virus Covid19 tertekan (kasusnya bisa ditekan), maka kita ubah strategi dengan relaksasi atau pelonggaran, yang sekarang sementara disosialisasikan oleh Pemerintah, yaitu: New Normal (kehidupan normal baru).
Kehidupan normal yang baru adalah kehidupan lama yang ditambah dengan Protokol Kesehatan. Yakni pakai masker, cuci tangan pakai sabun, jaga jarak dan protokol kesehatan lainnya.
Kalau kita yang tertekan oleh invasi Covid19, maka dilakukan konstriksi ada pengetatan. Kembali pergerakan orang dan moda transportasi, serta kegiatan lainnya dibatasi secara ketat.
Pemerintah sepertinya ingin meniru gaya petinju legendaris (Si Mulut Besar) Muhammad Ali, yang dikenal dengan petinju gaya The Flying Butterfly yang mampu mengkanvaskan George Forman pada ronde ke-8 di Zaire, pada saat publik tinju dunia lebih mengunggulkan George Forman, seorang juara dunia dengan rekor tidak terkalahkan ketika itu.
Cuma mungkin kita harus Mawas diri, tidak boleh langsung menduplikasi gaya Muhammad Ali. Oke, karena dia (Muhammad Ali) mempunyai fisik yang kuat, tahan pukul dan sangat lincah.
Sementara Indonesia tidaklah bisa dianalogikan seperti Muhammad Ali. Sebab, dari sisi ekonomi sepertinya Indonesia kesulitan menghadapi tekanan akibat resesi yang melanda dunia.
Juga dari sistem kesehatan kita, sejauh ini belum bisa dikatakan kuat menghadapi gempuran serangan virus Corona yang sangat cepat, dan menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang kini cukup besar.
Dengan PSBB, kita harus Lebih realistis, karena sistem ini juga ada kelemahan dan kekurangannya. Sistem (PSBB) ini memilih jalan tengah, bukan hitam, juga bukan putih. Dia cenderung di area “abu-abu”.
Dia diterapkan sesuai situasi di lapangan. Dia seperti celana karet yang bisa dipersempit atau dilonggarkan sesuai body pemakainya, atau sesuai keinginan pemiliknya.
Sehingga tak heran, penerapan PSBB sejauh ini pula cenderung masih banyak terlihat pelanggaran di lapangan tanpa diikuti sanksi yang tegas dan maksimal oleh karena banyak pertimbangan. Sehingga membuat kita kadang agak bingung. Hal ini terjadi lantaran juga banyak hal yang multi-tafsir dalam pelaksanaannya. Terlebih memang orang Indonesia juga terkenal dengan toleransinya yang tak jarang kebablasan.
Dan kadang kita tidak sadar dengan penerapan PSBB yang berjilid-jilid itu sesungguh sangat menguras tenaga, energi dan bahkan anggaran. Sehingga lama-lama anggaran pun dipastikan menipis. Belum lagi tenaga dan konsentrasi petugas gugus tugas yang saat ini mulai “down” dan terkuras tenaganya, sehingga memungkinkan fokus jadi buyar.
Kesabaran masyarakat untuk penerapan disiplin juga nampak mulai menipis, dikikis oleh masalah ekonomi dan kebutuhan lain yang tidak mungkin hanya menggantungkan bantuan pada Pemerintah yang mempunyai kemampuan sangat terbatas.
Sehingga kasus seperti di perbatasan Atinggola (Gorontalo Utara-Bolaang Mongondow Utara) akhirnya “jebol” dan kembali menimbulkan masalah lain, yaitu setelah dilaksanakan pelacakan pada pelaku perjalanan dari luar daerah ada yang positif Corona.
Di Kabupaten Boalemo sendiri, kasus positif hampir semuanya adalah berasal dari pelaku perjalanan dari luar daerah.
PSBB dapat diibaratkan seperti Timnas Indonesia: sangat bersemangat, bertenaga dan lincah di babak pertama. Namun mulai kelelahan di babak kedua, dan Kehabisan stamina di babak perpanjangan waktu (atau di babak sudden death). Dan hasilnya bisa ditebak, Indonesia menjadi “lumbung” gol oleh lawan-lawannya.
Seperti itulah nasib PSBB di sebagian wilayah Indonesia. Bersemangat di awal, namun kedodoran di akhir pelaksanaannya. Dan hasilnya boleh kita lihat seperti apa, rata-rata kasusnya bertambah banyak setelah pelaksanaan PSBB.
Hal ini juga banyak di sebabkan oleh tingkat kedisplinan dari masyarakat dalam menjalankan aturan PSBB dari Pemerintah, masih sangat rendah dan juga bisa karena sosialisasi dan edukasi serta komunikasi dengan masyarakat yang belum terlalu maksimal. Sehingga perlu strategi yang lebih baik lagi, agar kita bisa menaklukkan Covid19.
Butuh analisis dan kajian epidemiologi, serta masukan dari semua pihak yang berkompeten, sehingga pelaksanaan “New Normal” life tidak berakibat fatal bagi masyarakat dan bangsa ini.
Konsep “New Normal” life yang sementara disusun dan disosialisasikan oleh Pemerintah, saat ini harus kita kawal dan dukung serta laksanakan dengan baik.
Banyak negara yang bahkan sudah melakukan Lockdown berbulan-bulan pun, namun setelah mereka coba membuat pelonggaran, malah kasusnya langsung melonjak dan terpaksa harus melakukan pembatasan kembali. Sebuah pelajaran berharga bagi Indonesia dalam melakukan strategi baru, yaitu “New Normal Life.
Artinya, pemerintah harus memastikan semua persyaratan dalam memberlakukan “New Normal” Life ini betul-betul terpenuhi, dan benar-benar bisa dimatangkan.
Seperti: kajian epidemiologi, kajian surveilans, sistem pelayanan kesehatan, termasuk kemampuan tempat tidur pasien di rumah sakit, APD, kemampuan laboratorium dalam melakukan pemeriksaan PCR harus di tingkatkan, sosialisasi edukasi harus lebih maksimal lagi.
Evaluasi harus dilakukan dengan seksama, sehingga pemerintah cepat mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus di lapangan. Sehingga setiap saat pula bisa dilakukan pengetatan secara ketat di semua sektor kehidupan jika kasusnya mengalami kenaikan atau membahayakan masyarakat luas.
Semoga negara dan kita masyarakat Indonesia bisa selamat melewati masa Pandemi Covid19 ini. Aamiin!
—–
*(Penulis adalah Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Boalemo)