Ekonomi-Hukum Memburuk, Presiden Jokowi Lempar Sinyal Reshuffle

Bagikan dengan:


PADA 20 April 2017 kemarin, usia perjalanan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tepat 2 tahun 6 bulan, atau sudah pada titik setengah perjalanan.

Lalu bagaimana kondisi kualitas kinerja Presiden Jokowi melalui menteri-menteri yang saat ini duduk di Kabinet Kerja?

Jawabnya, sangat buruk. Sehingga sudah sepantasnya memang saat ini Presiden Jokowi untuk segera melakukan reshuffle kabinet jilid III, jika tak ingin disebut gagal total. Mengapa?

Sebab, secara terang-benderang terdapat sejumlah menteri yang benar-benar sudah tak bisa lagi dipertahankan.

Dan apabila dipertahankan, maka bisa dipastikan tak hanya membuat Presiden Jokowi jadi bulan-bulanan politik dan bahan ejekan di hadapan publik, tetapi juga dapat membuat hina bangsa dan negara ini.

Sejumlah menteri yang dimaksud di antaranya adalah seluruh menteri yang termasuk dalam tim ekonomi, terutama Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan. Selain itu, yang tak kalah parahnya adalah kinerja Jaksa Agung.

Bagian ini kemudian disebut bidang Ekonomi dan Hukum, yang keduanya adalah merupakan bidang sangat vital yang sama sekali wajib dijaga agar tidak bobol sedikit pun apalagi sampai harus fatal.

Yang terjadi saat ini, kondisi kedua bidang (ekonomi dan hukum) tersebut di hadapan mata rakyat sungguh sudah kelihatan sangat parah dan memprihatinkan. Sehingga tak ada lagi alasan logis yang bisa menyelamatkan para menteri yang menangani bidang ekonomi serta hukum tersebut untuk berada di posisinya masing-masing.

Buruknya kinerja para menteri Presiden Jokowi, terutama tim ekonomi, sungguh sudah tak bisa disembunyikan lagi. Ekonomi rakyat yang memang sejak awal sudah dibuat babak-belur dengan kenaikan harga BBM, TDL listrik, harga daging sapi, nyatanya sangat sulit dipulihkan oleh tim ekonomi yang ada saat ini.

Bahkan tim ekonomi dibawah pimpinan Menko Perekonomian yang didampingi Menteri Keuangan itu malah menambah berbagai kenaikan harga kebutuhan lainnya, seperti harga beras, cabe, biaya administrasi pengurusan STNK, dan lain sebagainya.

Dan di saat kenaikan harga yang sudah sangat mencekik seperti itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani malah membuat beban rakyat makin berat dengan terus menambah utang luar negeri. Harusnya Sri Mulyani malu dengan program tax amnesty yang pencapaiannya tidak sesuai target.

Begitupun dengan paket-paket kebijakan yang diluncurkan secara bertahap oleh Menko Perekonomian, nyatanya tak mampu memenuhi target maupun harapan Presiden Jokowi yang menghendaki pertumbuhan ekonomi negeri ini jadi meroket. Malah, istilah “meroket” itu hingga kini jadi bahan ejekan publik terhadap Presiden Jokowi.

Parahnya, Darmin Nasution selaku Menko Perekonomian bukannya bergegas menghilangkan bahan ejekan publik tersebut dengan cara mengerahkan segala kemampuannya, tapi ia malah melontarkan sebuah pengakuan yang justru makin “menguliti” Presiden Jokowi.

Di hadapan publik, Darmin membeberkan bahwa dirinya mengaku masih bingung dan belum memahami apa itu Revolusi Mental.

“Terus terang saya kadang mikir, Revolusi Mental itu seperti apa, bagaimana itu mau dijalankan, karena belum ada yang merumuskan,” lontar Darmin di Jakarta, Rabu (5/4/2017).

Lontaran pengakuan Darmin itu tak hanya menampar pipi sendiri, tetapi juga sudah mempermalukan diri Presiden Jokowi.

Kalau saja yang melontarkan pengakuan seperti itu adalah pihak di luar pemerintahan, mungkin masih bisa dimaklumi. Tetapi bila itu dilontarkan oleh seorang Menteri Koordinator, maka bisa dipastikan menteri-menteri yang dibawahi pun jauh lebih bingung dan tak paham.

Sekiranya demikian, maka tak heran apabila cita-cita dan harapan Presiden Jokowi hingga detik ini sedikitpun belum bisa terwujud di bidang ekonomi.

Di Bidang Hukum

Dalam jajaran Kabinet Kerja, selain bidang ekonomi, kinerja di bidang hukum terutama oleh kepala Kejaksaan Agung juga saat ini dianggap makin buruk, dan sangat pantas untuk dicopot pada Reshuffle jilid III.

Kinerja Kejaksaan Agung (Kejagung) sejak dipimpin HM Prasetyo, sejauh ini makin memburuk di mata publik.

Dilansir Jawapos, kinerja buruk Kejaksaan Agung itu ditengarai disebabkan oleh orang yang memimpin lembaga tersebut berasal dari kalangan partai politik (parpol), HM Prasetyo.

Dan hal ini justru dapat membuat prestise Presiden Jokowi jadi ikut tumbang bersamaan dengan runtuhnya penegakan hukum karena cenderung dijalankan di atas rel politik.

Tak keliru jika anggota Komisi III DPR Muhammad Syafii mengatakan, Kejagung saat ini tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam penegakan hukum.

Menurutnya, posisi Prasetyo sebagai orang parpol membuat nuansa intervensi politik sangat kental sekali terlihat di korps Adhyaksa tersebut dalam menangani sebuah perkara.

“Tambah parah (Kejaksaan Agung) ditengarai menjadi tangan-tangan dari kepentingan pihak tertentu bukan untuk penegakan hukum. Ini kan berbahaya,” tutur Syafii kepada JawaPos.com, Sabtu (17/12).

Oleh sebab itu, Syafii menegaskan, tak ada alasan bagi Presiden Jokowi untuk mempertahankan Prasetyo sebagai Jaksa Agung, etika dan norma-norma hukum akan sangat mudah luntur karena latar belakangnya seorang politikus Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

“Memang harus segera diganti, berbahaya ini orang (Prasetyo, red),” tegas Syafii.

Menurut dia, Korps Adhyaksa harus dikembalikan sebagaimana mestinya. Seperti dalam penegakan hukum tidak tebang pilih atau campur tangan dari pihak manapun.

Nyatanya, dalam tuntutan kasus dugaan penodaan agama terhadap terdakwa Ahok, Prasetyo tiba-tiba tampil di hadapan publik seolah dengan bangganya membeberkan bahwa Ahok tidak terbukti melakukan penistaan agama, dan hanya dikenai pasal 156.

Sikap Prasetyo inilah kemudian langsung mendapat sorotan oleh berbagai kalangan dari seluruh penjuru, termasuk netizen di banyak media sosial.

Mereka umumnya sangat kesal terhadap sikap Prasetyo yang dinilai amat “menjijikkan” dan memalukan karena seolah menjadi juru bicara terdakwa Ahok.

Sehingganya, tak sedikit pihak merasa bingung dan mempertanyakan, bshws Prasetyo itu bicara kapasitasnya apa? Apakah sebagai Jaksa Agung yang mewakili Jaksa Penuntut Umum ataukah sebagai pengacara Ahok?

Tak luput, Rizal Ramli selaku salah satu tokoh naional pun bahkan ikut jadi bingung lalu menuliskan kebingungannya itu di akun twitter miliknya, @RamliRizal.

Saya ndak ngerti hukum,, agak bingung itu Jaksa Penuntut Umum atau Pembela Umum. Mohon tanya Pak @mohmahfudmd @Yusrilihza_Mhd,” tulis @RamliRizal.

Mahfud MD yang dilemparkan pertanyaan seperti itupun menjawab melalui akun twitter miliknya, @mohmahfudmd, “Pak Rizal. Sy jg tak bisa menjawab pertanyaan Anda. Sy tak tahu bagaimana menjelaskan sesuatu yg bagi sy jg tak jelas.”

Ada seorang warga Twitter yang coba menjelaskan hal itu, namun kemudian ditanggapi oleh Mahfud, “Ya, Anda saja yg jelas kan pd Pak @RamliRizal sebab kalau sy tak mampu memahami keganjilan itu. Mnrt sy itu hrs dijelaskan oleh ilmu batin.”

Seorang warga Twitter lainnya coba menyederhanakan pertanyaan Rizal Ramli dengan menuliskan, “Apa sesuai tuntutan JPU terhadap pak ahok?”

Inipun kemudian dijawab lagi oleh Mahfud, “Ya. Itu yg sy tak paham. Mungkin kejanggalan itu tak bs dijelaskan oleh Ilmu hukum tp bidang ilmu lain. Bs ilmu Politik, bs ilmu Jiwa.”

Jokowi Lempar Sinyal Reshuffle

Dalam sambutannya di acara Kongres Ekonomi Umat (KEU) 2017, di Hotel Grand Sahid-Jakarta, Sabtu (22/4/2017), Presiden Jokowi menegaskan dirinya tak segan-segan mencopot menteri yang tak berhasil mencapai target.

“Saya kerja memang selalu pakai target, pak menteri tidak pernah tanya ke saya, pak ini targetnya terlalu besar, itu urusan menteri, target itu harus selesai, kalau tidak selesai, bisa diganti, bisa digeser, bisa dicopot dan lainnya, karena kalau tidak ada target konkret,” kata Jokowi di acara KEU tersebut.

Memang ketika ingin me-reshuffle kabinet jilid I dan II, Jokowi terlebih dulu melempar sinyal-sinyal sebelum benar-benar mengganti para pembantunya.

Sebelum reshuffle partama pada bulan Agustus 2015, Jokowi kerap bicara soal evaluasi kinerja menteri. Soal evaluasi ini ‘disuarakan’ Jokowi pada Juni 2016, lalu reshuffle pun benar-benar terjadi dua bulan setelahnya.

Begitupun pada reshuffle jilid II di penghujung Juli 2016, pernyataan soal kemungkinan pergantian menteri sudah lebih dulu dilempar Jokowi pada Maret 2016. Jokowi mengutarakan hal itu saat menghadiri peringatan HUT Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.

Dan hasilnya, 3 bulan berselang atau tepatnya di tanggal 27 Juli 2016, Reshuffle jilid II akhirnya terjadi.

Sekarang, Presiden Jokowi, pada April 2017 ini pun kembali bicara soal pergantian menteri. Dan menurut kabar yang beredar, memang diduga kuat hal itu merupakan sinyal akan dilakukannya perombakan kabinet besar-besaran, terutama di bidang ekonomi dan hukum.

Reshuffle Jilid III ini memang diduga kuat akan segera dilakukan secepatnya oleh Presiden Jokowi.

Alasannya, selain faktor kinerja para menteri yang menjadi pertimbangan utamanya, juga kemungkinan dipengaruhi oleh kekalahan PDI-P dalam Pilkada DKI yang sedikit banyaknya akan memunculkan “konsekuensi logis” politik di tubuh Kabinet Kerja.

Selanjutnya, kita tunggu saja wujud sinyal hak prerogatif presiden tersebut!

—–

—Penulis: Abdul Muis Syam (Pengamat Independen dan Aktivis Pergerakan Kedaulatan Rakyat)—

Bagikan dengan:

Muis Syam

2,474 views

Next Post

Kasus Terdakwa Ahok Terus Didesak, Bukti Bukan Karena Politik Tapi Murni Penistaan Agama

Sel Apr 25 , 2017
DM1.CO.ID, JAKARTA: Pasangan Anies-Sandi telah menang dalam Pilkada DKI. Dan jika kasus terdakwa Ahok adalah soal politik yang bermaksud memenangkan pasangan Anies-Sandi sebagaimana yang dituding oleh kubu Ahok selama proses Pilkada, maka tuntutan bebas sekalipun dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap diri Ahok tentu tak perlu lagi dipermasalahkan.