DM1.CO.ID, JAKARTA: Pancasila itu bagus sekali, sangat ideal dan sangat indah. Bahasa sederhananya, satu, percaya kepada Tuhan YME; yang, kedua adalah Humanity; yang ketiga adalah Nasionalism; yang keempat, demokrasi; dam yang kelima, Social-justice.
Hal tersebut dikemukakan Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, Dr. Rizal Ramli, saat tampil sebagai narasumber dalam sebuah program acara di salah satu stasiun televisi di tanah air, bertajuk: Ekonomi dalam Bingkai Pancasila, Rabu malam (31/5/2017).
Menurut Rizal Ramli, jika nilai-nilai Pancasila tersebut dapat dicapai, maka betul-betul sangat indah dan luar biasa. Namun Rizal Ramli merasa menyayangkan dengan negara yang menganut Pancasila, namun sejauh ini rakyatnya masih banyak yang miskin.
“Bahasa sederhananya, 20 persen bangsa kita sudah menikmati arti kemerdekaan, 40 persen yang sedang-sedang saja, yang 40 persen paling bawah ini belum pernah menikmati arti kemerdekaan, kemerdekaan ekonomi,” ujar Rizal Ramli seraya melontarkan pertanyaan, kok bisa suatu negara yang punya ideologi yang sangat bagus yang sangat indah, tetapi dalam kenyataannya rakyatnya tidak sejahtera (yang paling bawah).
Dan kemiskinan tersebut, menurut Rizal Ramli, terus-terang bukan hanya salah pemerintah yang sekarang. “Itu akumulasi dari kebijakan ekonomi dari beberapa pemerintahan,” kata Rizal Ramli seraya kembali mengemukakan pertanyaan, bahwa kenapa hal itu bisa terjadi?
Rizal Ramli menjelaskan, hal tersebut disebabkan ada missing-link, ada yang hilang. Sehingga keindahan UUD 45 serta Pancasila, dan sebagainya juga jadi hilang lantaran undang-undangnya kebanyakan dalam bidang ekonomi itu dirancang oleh orang asing, dibiayai oleh orang asing, diubah ke dalam bahasa Indonesia lalu dijadikan undang-undang. Yakni, undang-undang yang sebetulnya tidak sesuai dengan prinsip UUD 45 dan Pancasila.
Sehingga, kata Rizal Ramli, tidak aneh jika kemudian undang-undang tersebut pada praktek dan implementasinya seringkali ugal-ugalan karena memang tidak sesuai dengan UUD 45 dan Pancasila.
Rizal Ramli mengungkapkan, pada 40 tahun lalu semua negara di Asia sama-sama dalam kondisi miskin. Cina misalnya, pendapatan perkapitanya setengah daripada Indonesia. “Cina waktu itu 50 Dolar, kita 100 Dolar. Dalam waktu 40 tahun, Korea, Singapura, Jepang, dan Cina sudah melewati (mengalahkan) kita,” ujar Rizal Ramli.
Saat presenter menanyai tentang bagaimana membuat Pancasila menjadi kokoh, Rizal Ramli dengan tegas menjawab, kalau mau Pancasila kokoh maka rakyatnya mesti sejahtera.
Secara historis, sambung Rizal, ekonomi Indonesia memang ada kemajuan, tidak bisa dibantah setiap tahun tumbuh 5%. “Namun begitu kita menggunakan pendekatan komparatif dengan negara-negara Asia lainnya, 40 tahun kita ketinggalan,” kata Rizal.
Rizal menyebutkan, data dari badan dunia PBB, Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia) sebagai indikator kesejahteraan rakyat di suatu negara, Indonesia berada pada peringkat di bawah.
“Indonesia sangat rendah sekali, nomor 73 kalau tidak salah dari 140 negara. Di Asean sendiri kita nomor 4. Yang indeks pembangunan manusianya kesejahteraannya yang paling tinggi Singapura, Malaysia, Thailand. Tidak aneh, 3 juta orang Indonesia bekerja di kebun-kebun Malaysia, juga jadi TKI di Singapura, Hongkong karena memang kesejahteraannya lebih bagus dan tinggi,” ujar Rizal Ramli yang juga aktif sebagai anggota panel ekonomi di badan dunia (PBB) tersebut.
Mengingat dengan besarnya isu radikalisme akhir-akhir ini, menurut Rizal Ramli, negara yang berhasil memakmurkan rakyatnya dengan mampu memberikan rasa damai dan rasa nyaman, serta pemerintah yang mampu memperlakukan rakyatnya secara adil, maka tidak usah kuatir dengan radikalisme, disintegrasi bangsa, dan lain sebagainya.
Lebih jauh, Rizal Ramli menjelaskan, bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sulit diwujudkan, itu bukan hanya karena banyaknya pejabat yang korupsi, dan bukan pula semata karena diangkatnya sejumlah menteri yang dianggap tak kompeten, akan tetapi disebabkan lantaran pemerintah lebih memilih kebijakan neoliberalisme.
Rizal Ramli menegaskan, kebijakan yang berbau neoliberalisme sesungguhnya adalah merupakan pintu masuk dari neo-kolonialisme. Dan kebijakan neoliberalisme ini adalah kebijakan yang dianjurkan oleh Bank Dunia.
Padahal, kata Rizal, kebijakan neoliberalisme yang dianjurkan oleh Bank Dunia tersebut terbukti tidak ada negara di seluruh dunia yang mampu menjadi makmur dan sejahtera, misalnya negara di Amerika Latin.
Selain itu, menurut Rizal Ramli, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sulit dicapai karena struktur ekonomi Indonesia yang terjadi saat ini adalah menyerupai struktur “gelas anggur”.
Rizal Ramli menjelaskan, di bagian atas dari “gelas anggur” diisi oleh BUMN yang besar-besar, ada 160 BUMN (perusahaan non-independen) sekaligus diisi oleh 200 keluarga yang punya lebih 100 perusahaan.
Sementara di bagian tengah (pegangan gelas anggur) mengecil dan tetap menjadi “kurus” itu menunjukkan hampir tidak adanya golongan usaha menengah yang harusnya bergerak secara independen.
Sedangkan di bagian bawah (kaki) dari gelas anggur tersebut menunjukkan terdapat 60 juta usaha kecil dan rumah tangga. Mereka yang berada di bagian ini kebanyakan memakan modal dan rata-rata harus merugi jika menggunakan accounting modern.
Dan struktur seperti ini (gelas anggur) sangat berbahaya buat demokrasi, tidak sustainable. Karena yang bagian atas makin kaya, dan bagian bawah makin miskin karena sangat sulit berkembang. Akhirnya terjadi kecemburuan ekonomi, kalau dicampur dengan faktor etnis, dicampur faktor agama, bahaya sekali, dan ini bisa menjadi sumber pemicu disintegrasi bangsa.
Dan menurut Rizal Ramli, model ekonomi gelas anggur seperti inilah yang menjadi proses pemiskinan struktural selama ini di Indonesia. Dan model ekonomi “gelas anggur” inilah yang bisa menjadi ladang subur bagi radikalisme. “Biasanya masuk ideologi khas, apakah agama, ataukah komunisme, atau apa. Karena rakyat ini nggak sejahtera, dia nggak happy,” kata Rizal.
Sementara, menurut Rizal Ramli, mereka yang berada di bagian atas dari “gelas anggur” ini dilindungi terus. Bahkan bukan hanya dilindungi, kata Rizal, belakangan kebijakan dibeli oleh mereka yang ada di atas tersebut.
Dikatakannya, negara-negara Asia yang makmur, yang berhasil mengejar ketinggalannya dari Eropa, Amerika, struktur ekonominya tidak seperti gelas anggur. Negara-negara Asia lainnya justru nampak dengan struktur ekonomi berbentuk “Piramida”.
Ada negara kecil, tapi mereka jago dunia. Barangnya diekspor. “Kita ini semua, kecuali sawit. Rata-rata itu jago kandang. Rasionya sederhana, kalau ditanya rasio ekspor dibanding total penjualan, ini rata-rata hanya 10%,” tutur Rizal..
Ini berbeda dengan 200 perusahaan paling besar di Jepang, Korea, rasio ekspor dan penjualannya itu rata-rata 90%. Artinya, mereka ambil keuntungan yang besar dari luar negeri nilai tambah dipakai buat ke dalam negeri. Kedua, karena mereka pasarnya dunia, mereka perlu banyak spareparts dan komponen, mereka membantu mengembangkan pemasok menengah untuk spareparts dan komponen-komponen kecil, di-direct semua, sehingga mereka pro-aktif membangun kesejahteraan mereka masing-masing dengan saling mendukung memunculkan banyak produk berkelas dunia.
Sementara bisa dibayangkan, menurut Rizal Ramli, Indonesia sebagai negara besar nomor 5 di dunia ternyata lebih banyak hanya jago kandang dengan hanya bisa memiliki dua barang produk “kecil” yang ada di luar negeri, yakni mie-instan dan minyak/obat tolak angin.
Jadi kesimpulan Rizal Ramli menjawab mengapa Sila kelima belum bisa diwujudkan, yakni karena model ekonominya masih dilakukan secara neoliberalisme, dan juga struktur ekonomi Indonesia yang masih berbentuk “gelas anggur”. Dan kedua hal itulah yang harus segera dirombak.
Sebab, kedua hal itulah yang membuat jurang ketertinggalan ekonomi yang makin lebar dan dalam di negara ini, sehingga kesejahteraan rakyat makin sulit pula diwujudkan. Kalau rakyatnya sejahtera, kemudian ada keadilan dalam bersikap pada setiap masalah, maka menurut Rizal Ramli, rakyat tidak akan mungkin menjadi radikal dan lain sebagainya.
(dbs/DM1)