DM1.CO.ID, BANDUNG: Pada akhir 2017 nanti, Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi akan berada pada angka 4,00 persen. Naiknya komponen harga-harga yang diatur pemerintah (administered prices) dan suku bunga kebijakan AS Fed Fund Rate (FFR) dinilai akan menjadi penyebab kenaikan inflasi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Yoga Affandi selaku Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter, pada acara pelatihan wartawan ekonomi Bank Indonesia di Bandung, Sabtu (18/2/2017).
“Tahun ini diperkirakan inflasi akan berada di atas 4,00 persen,”katanya.
Yoga mengatakan, meski makro ekonomi saat ini dalam kondisi baik, namun ketidakpastian global dari kemungkinan naiknya suku bunga kebijakan AS FFR akan mempengaruhi perekonomian global.
Untuk Indonesia, katanya, hal ini dapat menyebabkan bergejolaknya nilai tukar rupiah dan berdampak pada inflasi inti (core inflation).
Di sisi lain, dari sisi domestik, komponen inflasi dari harga pangan bergejolak (volatile food) dan harga-harga yang diatur pemerintah (administered prices) rentan mengalami kenaikan pada tahun ini.
Sehingga itu, menurut Yoga, pemerintah dan bank sentral saat ini tengah mendorong agar Indonesia masuk ke low inflasion regime era. Hal ini disebabkan karena inflasi merupakan indikator fundamental yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat.
“Khusus negara berkembang (emerging market), inflasi sebagian besar dari makanan. Makanan sebagian besar dikonsumsi oleh keranjang makanan dari rakyat, terkait dengan kesejahteraan masyarakat,” tutur Yoga.
Untuk itu, lanjut Yoga, pihaknya terus mendorong agar inflasi dapat terjaga sesuai target. Yakni, 4 plus minus 1 persen (3,00-5,00 persen) dengan menjaga komponen inflasi dari harga pangan bergejolak (volatile food).
Harga pangan bergejolak akan didorong rendah, dengan koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan berbagai otoritas. Ditargetkan komponen inflasi harga pangan akan ditekan sekitar 4,00 – 5,00 persen.
Sedangkan, komponen harga-harga yang diatur pemerintah diyakini akan mengalami kenaikan, terutama disebabkan oleh pencabutan subsidi BBM dan kenaikan tarif dasar listrik 900 VA.
Dalam hal ini, menurut Yoga, bank sentral akan memfokuskan pada pengendalian efek lanjutan (second round effect) akibat kenaikan harga-harga ini. “BI bukan hanya merespon dari kenaikan harga BBM saja, tapi second round effect seperti tarif angkutan. Ketika tarif angkutan bisa dikendalikan, itu akan menekan inflasi,” katanya.
Gubernur Bank Indonesia, Agus DW Martowardojo, sebelumnya telah mengungkapkan, inflasi pada pekan kedua bulan Februari 2017 tercatat sebesar 0,35 persen mtm (month to month). Nilai ini jauh lebih baik dibandingkan inflasi pada Januari yang sebesar 0,97 persen mtm.
Agus memaparkan, sumber-sumber inflasi yang memberi kontribusi besar yakni inflasi dari harga pangan dan penyesuaian tarif dasar listrik.
Adapun harga pangan yang menyumbang inflasi terbesar yakni cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah. Sedangkan harga daging ayam dan telur telah mengalami deflasi. “Kalau dilihat dari survei BI, kurang lebih pekan kedua ini inflasi 0,35 persen mtm, atau 3,95 persen yoy,” jelas Agus, Jumat (17/2/2017).
Dari data Bank Indonesia, inflasi akhir tahun 2016 sebesar 3,02 persen yoy. Adapun inflasi IHK (Indeks Harga Konsumen) Januari 2017 tercatat sebesar 0,97 persen (mtm), lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebesar 0,42 persen (mtm).
Agus berharap, bank sentral akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dalam pengendalian inflasi, terutama dalam menghadapi sejumlah risiko terkait penyesuaian administered prices sejalan dengan kebijakan lanjutan reformasi subsidi energi.