DM1.CO.ID, KOLAKA TIMUR: Nilam menjadi tanaman primadona warga di Kabupaten Kolaka Timur (Koltim) saat ini. Tanaman itu bisa dianggap sebagai penyangga warga di tengah pandemi corona yang cukup lama “memukul” ekonomi bangsa ini.
Sebagai alternatif, tanaman ini pun sangat digemari. Selain mudah menanamnya, harga minyak yang dihasilkan dari ekstraksi daun tanaman semak tropis ini juga cukup fantastis.
Sehingga tak sedikit petani sawah maupun kebun di daerah ini, lebih cenderung memanfaatkan waktu luangnya untuk ikut menggarap tanaman nilam guna menambah penghasilan rumah tangga.
Seperti halnya dengan petani yang ada di Desa Lalowura, Kecamatan Loea. Mereka tak ketinggalan berburu rupiah di jenis tanaman yang bisa tumbuh mencapai 1 meter ini. Apalagi, waktu yang dibutuhkan untuk memanen nilam tidaklah lama, kurang lebih 5 sampai 7 bulan lamanya.
Meski harga minyak nilam terbilang cukup menggiurkan, akan tetapi petani nilam di Desa Lalowura mempunyai beberapa kendala. Selain kekurangan bibit, di wilayah itu juga sama sekali belum ada tempat penyulingan nilam (ketel).
Untuk menyuling nilam, para petani terpaksa harus membawa hasil panen ke desa tetangga, yaitu di Desa Lara maupun Desa Putemata, Kecamatan Ladongi. Jarak yang ditempuh pun cukup jauh. Ke lokasi penyulingan desa Lara jaraknya kurang lebih 3 Kilometer, sedangkan ke Desa Putemata jaraknya kurang lebih 5 Kilometer.
Kondisi seperti itu, membuat petani Nilam di Desa Lalowura ini harus meninggalkan keluarganya, bahkan harus begadang semalam suntuk akibat tak adanya penyulingan di desa mereka.
Lebih parahnya lagi, ketika tiba di tempat penyulingan, mereka harus ikut mengantre 2 sampai 3 malam. Hal itu disebabkan, pengelola penyulingan bukan saja menerima pesanan dari petani Lalowura, akan tetapi juga dari petani desa lainnya.
Jamaluddin, salah seorang petani di Desa Lalowura mengatakan, biasanya mereka sudah mendaftarkan diri terlebih dahulu ke pihak pengelolaan penyulingan, yakni untuk dimasukkan dalam daftar antrean.
“Selain kami, ada juga petani (dari desa) lainnya yang menyuling nilam di sana. Biasanya kami antre dua atau sampai tiga malam. Itupun saya sudah mendaftarkan diri dua hari sebelumnya,” tutur Jamaluddin.
Ia menjelaskan, untuk menghasilkan minyak nilam, dibutuhkan waktu antara 8 hingga 12 jam. Sekali menyuling, para petani nilam di Desa Lalowura harus mengeluarkan ongkos, mulai dari jasa pengangkutan nilam kering, bahan bakar kayu, serta jasa penggunaan mesin penyulingan kepada pihak pengelolah (pemilik ketel).
Aco, petani nilam Lalowura lainnya juga mengungkapkan, biaya yang dikeluarkan untuk jasa pengangkutan nilam kering menuju penyulingan di Desa Lara, bisa mencapai Rp.100 Ribu, sedangkan ke lokasi penyulingan Desa Putemata mencapai Rp. 200 Ribu.
“Kalau ongkos pengangkutan kayu yang digunakan untuk menyuling nilam sebesar Rp.200 Ribu. Tetapi kalau kita tidak mau repot, kita juga bisa menyerahkan tanggungan itu kepada pihak pengelolah penyulingan. Tentu otomatis ongkos menyulingnya juga naik,” ujar Aco.
Aco menceritakan, sekali menyuling nilam apabila bahan bakar kayu ditanggung oleh si petani nilam, maka biaya yang dikeluarkan bervariasi. Sebesar Rp.650 Ribu untuk lokasi penyulingan di Desa Putemata, serta Rp.750 Ribu untuk penyulingan di Desa Lara.
Sementara itu seorang petani di Desa Lalowura, Sirang, juga berharap agar problematika yang dirasakan petani nilam di desanya bisa segera teratasi.
Paling tidak, menurut Sirang, pemerintah daerah Kabupaten Koltim bisa meringankan beban para petani nilam di desa yang belum memiliki tempat penyulingan, yakni dengan memberikan bantuan penyulingan.
“Kami sudah memasukan proposal melalui kelompok tani sejak beberapa bulan lalu. Semoga pemerintah daerah mau memperhatikan kondisi kami,” pintanya.
Dari informasi yang ada, Pemerintah Kabupaten Koltim melalui Dinas Perkebunan dan Hortikultura, tahun ini telah menganggarkan pengadaan penyulingan nilam sebanyak 30 unit, yakni anggarannya bersumber dari APBD 2021.
Saat dikonfirmasi, Kepala Dinas Perkebunan dan Hortikultura Koltim, Muhammad Aras, membenarkan bahwa tahun ini pihaknya sudahengalokasikan kegiatan pengadaan mesin penyulingan nilam sebanyak 30 unit.
“Saat ini sementara proses. Baru saja kemarin penandatanganan kontrak. Dan berakhir pada Desember 2021. Jadi kemungkinan besar, Desember itu sudah selesai semua dan siap dialokasikan kepada kelompok tani selaku penerima,” ujar Aras, pada Senin (18/10/2021), di ruang kerjanya.
Kelompok tani yang bakal menerima bantuan ini, kata Aras, tentunya dilihat dari sisi teknis terutama pertimbangan mengenai kondisi tanaman yang terdapat di kelompok tani tersebut.
Selain itu, jelas Aras, juga dilihat dari pertimbangan politis berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
“Di dalam undang-undang itu kan disebutkan ada pendekatan politis. Di situ juga ada janji-janji kepala daerah, maka di situ juga menjadi pertimbangan. Tentu yang didahulukan pertimbangan secara teknisnya. Dan juga ada proposal yang dimasukkan sebagai bukti keseriusan kelompok tani. Dan proposal yang sudah masuk ke dinas kami sewaktu bupati Andi Merya Nur belum diinonaktifkan,” katanya.
Aras berharap agar kelompok tani yang sudah mengajukan proposal, lalu kemudian belum terakomodir, hendaknya bersabar. Dan semoga tahun depan sudah bisa mendapat bagian juga. (rul/dm1)