Blogger: “Kepemimpinan Darwis, Layu Sebelum Berkembang”

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, BOALEMO: Berbagai kalangan masyarakat Boalemo kini kian gerah dengan “ulah dan sikap” Bupati Boalemo, Darwis Moridu, yang dianggap makin otoriter.

Dan tidak sedikit pihak yang kini merasa “tercederai” dengan tindak-tanduk Darwis Moridu sebagai bupati, di antaranya adalah kebijakan mutasi dan non-job yang dinilai dilakukan cenderung berdasar pada kepentingan politik.

Belum lagi, menurut sejumlah masyarakat, bahwa sejumlah urusan pemerintahan daerah saat ini seolah ikut diintervensi secara leluasa oleh keluarga (anak) Darwis Moridu.

Sejumlah kalangan dari berbagai lapisan pun bermunculan untuk memberi nasehat dan peringatan, termasuk kritikan kepada sosok yang terpilih sebagai bupati dari jalur independen itu namun belakangan justru “mengabdikan” diri ke salah satu partai.

Seorang blogger muda yang boleh dikata ikut merasa gerah dengan gaya kepemimpinan Darwis Moridu yang sangat berbau otoriter itu, menulis sebuah artikel.

Faisal Saidi, demikian nama blogger itu menulis artikelnya dengan nuansa “Surat Terbuka” yang ditujukan kepada Bupati Darwis Moridu.

Faisal Saidi tak keberatan jika artikelnya itu bisa sedikit dikoreksi (diedit) untuk dapat disajikan di dm1.co.id.

Dan sebagai penulis, Faisal Saidi mengaku bertanggung-jawab dengan sajian artikel tersebut, karena memang ia berharap dan meminta agar tulisannya dapat dibaca oleh bupati yang kini telah menjelma menjadi sosok “banteng moncong putih” itu. Berikut tulisannya:

Pada gilirannya, kita hanya bisa mengangguk-angguk dengan kondisi yang terjadi. Mengikuti jalur yang ditentukan, diseragamkan, dikeroyok dengan dalih regulasi, lantas kita menjadi terbiasa, pemakluman di mana-mana.

kita cuma seolah diberi satu cara untuk dapat pura-pura kuat menghadapi kondisi buruk itu, yakni cukup hanya mengucapkan “daerah ini aman-aman saja, tidak ada apa-apa”. Tapi sampai kapan?

Saya kurang yakin sebenarnya, kalau pada akhirnya Bapak (Darwis Moridu) akan membaca tulisan ini.

Boro-boro membacanya, belum juga sampai di telinga Bapak, kemungkinan besar anak Bapak beserta keluarga lainnya lebih dulu mendatangi pihak yang berwajib untuk melaporkan tulisan ini, dengan dalih pencemaran nama baik. Dan itu telah Bapak lakukan kemarin, yakni dengan melaporkan rekan saya atas tuduhan pelanggaran UU ITE. Sampai itu dugaan saya semakin kuat, bahwa Bapak adalah pemimpin yang tega ingin memenjarakan rakyat sendiri.

Sebelumnya, Pak. Tulisan ini tidak sama sekali menghina, mencemarkan, atau apalah yang Bapak anggap kasar. Tidak sama sekali.

Sebagai masyarakat, saya wajib mengkritik, atau menegur Bapak. Hanya mungkin metodenya agak beda dari yang lain. Biasanya masyarakat, aktivis, wartawan, dan lain-lain mengkritik Bapak dengan cara bertatap muka (mungkin) di ruangan ber-AC, dan punya potensi besar akan “aman atau diamankan”, kalau saya lebih mengkritik Bapak dalam bentuk tulisan.

Kalau, toh Bapak ingin mengajak ketemu, saya akan bersedia jika itu bertempat di perempatan Tugu Jagung, monumen yang Bapak banggakan dalam masa kepemimpinan ini. Agar tidak ada dusta di antara kita semua.

Oh, iya. Sekadar mengingatkan, kemarin sidang ke dua rekan saya yang Bapak laporkan tempo hari itu.

Pak. Saya harus jujur, bahwa Bapak itu sangat cocok menjadi “pemimpin”. Bapak sangat potensial. Bahkan bisa diakui di Boalemo, Bapak adalah orang yang paripurna manjadi “pemimpin”. Bapak termasuk sukses menjadi “pemimpin”.

Tidak ada sejauh ini di Boalemo yang semacam Bapak. Berhasil memimpin perusahaan dengan baik dan disiplin. Berawal dari usaha kecil, sampai pada akhirnya menjadi amat besar. Itu berkat Bapak. Namun sayangnya, tidak dengan memimpin daerah, Pak.

Karena menjadi pemimpin daerah bukanlah bagian Bapak. Makanya kepemimpinan Bapak yang baru terhitung muda ini bisa dibilang gagal.

Mengutip judul lagu Aloysius Rianto, “Layu Sebelum Berkembang”. Judul itu cocok menjadi headline awal di media mainstream. Misalkan: “Kepemimpinan Darwis, Layu Sebelum Berkembang.” Upss!

Pak. Menurut para pemangku adat di Boalemo, daerah itu didirikan dengan adat, dan menjaga pun harus dengan adat.

Begitu pula yang akan menjadi pemimpin di Boalemo, disambut dengan adat, menjaga kelestarian adat, serta dilepas dengan adat (ketika sudah selesai memimpin).

Artinya, Pak, menjadi pemimpin di Boalemo itu tidak mudah, tidak semau gue. Ada hukum adat yang berlaku. Kalau itu dilanggar, resiko terkecil yang akan terjadi adalah sikap alam yang berubah (hukum alam).

Daerah itu bukan perusahaan, yang di dalamnya semau Bapak sendiri untuk mengatur hal umum sampai hal paling privat.

Di Indonesia, -Boalemo khususnya, Pak, hukum positif serta hukum adat menjadi pondasinya. Barangkali Bapak lebih paham soal itu, secara Bapak, kan kuliah di jurusan hukum.

“Oh iya, Pak. Bagaimana kabar Bapak selama berada di lokasi KKLP? Enak, ya, jadi mahasiswa? Apalagi mahasiswa keliling seperti Bapak”.

Nah. Bapak sudah bisa mulai merasa dari sekarang. Kalau Bapak rasa sudah ada  yang mulai aneh di Boelamo selama Bapak memimpin, entah itu soal ghoib atau apapun, maka itu tandanya Bapak semakin dekat dengan jarak kelengseran. Wihhhh!

“Pak masih sering tidur di rumah dinas, kah? Konon katanya, kalau ada pemimpin zalim, dia tidak akan betah bertahan dalam ruang adat”. Hiiiii, ngeriiii.

Baik, saya akan menyodorkan banyak pertanyaan buat Bapak.

Pernah tidak, Bapak duduk santai dengan para pegawai Bapak, lalu mendengar keluh kesah mereka, curhatan mereka? Atau pernah tidak Bapak buat satu ruang diskusi yang di dalamnya, Bapak memberikan kesempatan kepada seluruh pegawai untuk mengkritik Bapak, melepaskan unek-unek mereka, atau hanya sekadar memberikan solusi terhadap kendala mereka?

Pernah tidak, Bapak mengumpulkan seluruh tenaga honorer di Boalemo hanya untuk menanyakan apakah mereka nyaman dengan kondisi mereka yang seperti saat ini? Padahal biaya kuliah yang mereka habiskan sangtlah tidak tanggung-tanggung, sementara mereka rela menerima nasib asam demikian.

Pernah tidak, terlintas di pikiran Bapak untuk menetapkan posisi (job) pegawai sesuai cabang atau latarbelakang disiplin ilmunya, baik itu ASN maupun honorer, tanpa ada sentimen politik belaka?

Pernahkah Bapak berpikir nasib para pemuda? Berpikir bagaimana pemuda mampu mengembangkan kreativitasnya tanpa “ditodong” dengan rasa kepentingan yang “terselubung”? Apakah Bapak tidak merasa ada yang mengganjal di kelompok pemuda? Lihatlah, tidak sedikit pemuda yang memegang dan memainkan jari-jarinya di HP sepanjang hari, yang ternyata hanya bermain game karena kurang diberi kesempatan untuk berimprovisasi. Kasian sekali pemuda saat ini, Pak, banyak yang hanya jadi “penjilat” kepentingan.

Pak. Apakah pernah bapak sempatkan waktu untuk menengok anak-anak yang putus sekolah di Boalemo? Apakah Bapak tahu kendala mereka sehingga tidak mampu lagi melanjutkan sekolah, Pak?

Di Boalemo orang yang putus sekolah makin bertambah. Bahkan banyak mereka yang berniat tidak ingin sekolah, pak. Yang gilanya, ada juga orang tua yang memang tidak menyuruh mereka sekolah, alasanya karena sekolah tidak menawarkan kehidupan cerah dan itu dianggap oleh orang tua hanya buang-buang waktu saja. Apalagi ada banyak bukti, bahwa yang tidak sekolah pun justru bisa menjadi bupati/walikota atau bahkan menteri.

Pernah tidak Bapak temui para orang tua yang di pelosok Boalemo? Mereka menderita, Pak. Bahkan di zaman sekarang, masyarakat Boalemo masih ada yang menghuni gubuk kecil, tidak punya rumah, Pak.

Pernah tidak, Bapak berniat memberdayakan kelompok disabilitas? Agar mereka tidak merasa didiskriminasi oleh lingkungannya.

Juga apakah Bapak tahu bagaimana nasib para ustaz, mubalig, dan para tokoh adat di Boalemo?

Atau apakah Bapak tidak kepikiran untuk lebih pro aktif memperhatikan kaum perempuan di Boalemo? agar mereka juga tidak merasa termarjinalkan dalam lingkungan? Bayangkan, Pak. Para pelajar perempuan banyak yang menjadi korban asusila. Bapak tahu soal itu?

Pak. Apakah sempat terlintas di benak Bapak bahwa banyak orang yang memanfaatkan Anda, Pak? Bisa tidak, Bapak mengelurkan kebijakan tidak dengan dasar bisikan orang?

Bisa tidak Bapak bedakan mana urusan daerah dan mana urusan politik? Apakah Bapak bisa mengubah rasa fanatisme Bapak itu? Atau apakah Bapak bisa merangkul semua elemen masyarakat, -termasuk lawan politik?

Dan yang terpenting, apa Bapak bisa berpikir dewasa dengan tidak membiarkan anak Bapak untuk ikut campur di dalam kepemerintahan Bapak?

Bisa tidak Bapak banyak belajar dulu? Agar tidak mudah dihasut oleh orang lain, termasuk oleh anak Bapak sendiri, misalnya.

Terakhir. Kalau, toh Bapak sudah tidak mampu memimpin, bisa tidak Bapak dengan berbesar hati menyatakan mundur diri saja? Jangan gengsi, Pak. Kita pun mafhum kalau semisal itu terjadi. Daripada banyak yang menjadi korban atas ulah Bapak yang orang-orang sudah menilai “brutal dan membabi-buta” itu.

 Yang mulia, Pak Darwis, Bupati Boalemo. Masih 90 pertanyaan yang ingin saya tanyakan, dan sebagai evaluasi kritik kepada Anda, Pak. Hanya saja saya masih menyimpanya.

Intinya, Pak. Perbaiki tingkah laku Anda, perbaiki kekerabatan Anda dengan masyarakat, jangan batasi pergaulan, redam sedikit rasa “pubertas” kepemimpinan Anda, jangan anti-kritik, Pak.

Dan masyarakat sangat berharap agar Bapak bisa dewasalah dalam bertindak. Jangan semua hal harus diukur dengan uang. Dan yang terpenting lagi “Jaga ‘identitas’ Boalemo, Pak”. Kalau itu semua tidak dijaga, maka Anda bisa dipastikan akan jatuh secara sendirinya.

Semoga Anda membaca tulisan ini dengan bijak, Pak.

Sumber: icalsaidi

Bagikan dengan:

Muis Syam

7,336 views

Next Post

AD. Khaly Ingatkan, Jangan Terpecah Belah Hanya Karena Beda Pilihan

Ming Feb 3 , 2019
DM1.CO.ID, BOALEMO: Anggota MPR/DPD-RI perwakilan Provinsi Gorontalo, Drs. A.D Khaly, menggelar Sosialisasi 4 Pilar kebangsaan, di SMA Negeri 1 Dulupi, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, pada Jumat (1/2/2019).