DM1.CO.ID, BOALEMO: Dua Anggota Legislatif (Aleg) Lahmudin Hambali dan Wahyu Moridu (yang juga anak Bupati Boalemo), serta Roni Taningo selaku seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) Kabupaten Boalemo, pada medio Maret 2020, terjaring razia Miras dan Narkoba, di Jakarta. Dan kala itu, ketiganya pun dinyatakan tersangka oleh pihak Polres Metro Jakarta.
Belum cukup tiga bulan, ketiganya pun tiba-tiba dinyatakan bebas. Yakni, cukup dinilai karena ketiganya berkelakuan baik selama masa rehabilitasi, di Rumah Sakit Bhayangkara, Jakarta. Namun dengan syarat, ketiganya masih wajib lapor setiap dua minggu sekali, pun dinyatakan dalam pengawasan semua pihak yang berwenang.
Kepulangan mereka di Kabupaten Boalemo, juga sempat membuat publik jadi geger. Sebab ketiganya, berhasil melakukan perjalanan “mudik” dengan rute Jakarta-Manado, dan tembus via darat memasuki perbatasan Gorontalo yang dijaga ketat oleh aparat dari gugus tugas Covid19. Yakni, cukup dengan mengendarai mobil ambulans, pada Kamis dini-hari (4/6/2020).
Dan ketiganya pun akhirnya benar-benar bisa kembali menginjakkan kaki di kampung halamannya, yakni di kabupaten yang berslogan “Damai Bertasbih” itu.
Dua hari setelah berada di Boalemo, Lahmudin Hambali pun kemudian menyampaikan permohonan maaf ke hadapan publik melalui media online.
Ia mengakui kesalahan itu adalah sebuah pelanggaran yang seharusnya tak layak dilakukannya. Sehingga ia pun berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan yang sangat tidak terpuji tersebut.
Meski begitu, tidak sedikit masyarakat yang menilai, bahwa permohonan maaf tidaklah cukup bagi seorang yang menduduki jabatan politik terkait kasus Narkoba.
Bahkan masyarakat dari berbagai penjuru kalangan, baik secara langsung maupun melalui media sosial, menyatakan protes. Umumnya, masyarakat meminta agar 2 Aleg dan seorang ASN di Boalemo itu segera dicabut statusnya, alias diberhentikan dari jabatannya. Sebab, ketiganya telah memperlihatkan contoh perilaku yang sangat tercela, sehingga tak layak lagi dipercaya.
Salah seorang masyarakat peduli Parlemen Boalemo, Kasim Maliu, memberikan sejumlah komentar terkait kembali bebasnya 2 Aleg dan seorang ASN tersebut.
Kasim Maliu mengaku banyak mendapat masukan dari masyarakat, agar pihak DPRD Boalemo mengambil langkah tegas, yakni dengan segera memberhentikan kedua Aleg kasus Narkoba tersebut.
Ia menilai, jabatan sebagai Wakil Ketua DPRD yang disandang oleh Lahmudin Hambali, dan juga posisi sebagai Badan Kehormatan Dewan yang diduduki oleh Wahyu Moridu di DPRD Boalemo, sama sekali tidak layak lagi untuk dilanjutkan.
“Saya sebagai rakyat Boalemo tentu tidak ingin bahwa lembaga DPRD yang terhormat diisi oleh para eks pengguna Narkoba. Hal ini demi marwah dan nama baik Lembaga DPRD Kabupaten Boalemo,” ujar Kasim.
Kasim menegaskan, apabila tidak ada sanksi pemberhentian dari kedua Aleg itu, maka jangan salahkan jika rakyat menilai bahwa “persembunyian teraman” bagi pengguna narkoba adalah berada di gedung parlemen.
Sebab, menurut Kasim, hari ini publik telah mengetahui dengan terang-benderang bahwa 2 Aleg Boelamo tersangka kasus Narkoba, bahkan Wahyu Moridu sebagai anak Bupati Boalemo sudah berulang-ulang “menekuni” perbuatan haram itu, namun sampai hari ini pihak DPRD masih diam seolah memandang bahwa Narkoba bukanlah masalah, sehingga “bebas” untuk dinikmati oleh siapa saja, termasuk anggota dewan.
“Kami sebagai masyarakat menginginkan para pejabat, khususnya Anggota DPRD dan juga ASN Boalemo bersih dari perbuatan yang melanggar hukum, termasuk Narkoba,” tegas Kasim Maliu kepada wartawan DM1, Kamis (11/6/2020).
Sementara Salahudin Pakaya selaku praktisi hukum di daerah ini juga mengaku heran dengan “perlakuan” negara terhadap mereka-mereka yang tersangkut kasus Narkoba.
“Sampai dengan saat ini saya merasa ada yang ganjal pada penanganan kasus narkoba dua Aleg dan seorang ASN Boalemo tersebut. Mereka dinyatakan bebas setelah proses rehabilitasi kurang dari tiga bulan di Rumah Sakit Bhayangkara,” tutur Salahudin Pakaya.
Pemberlakuan rehabilitasi Narkoba ini, menurut Salahudin Pakaya, seharusnya disama-ratakan dengan masyarakat umum. Jangan hanya karena mereka pejabat, (lalu) mendapat perlakuan khusus,” ujar Salahudin.
Salahudin Pakaya yang juga sebagai pengacara itupun menyoroti pernyataan ketiga tersangka narkoba tersebut. Bahwa, belum sampai 3 bulan masa rehabilitasi, bisa bebas dengan berdasarkan surat keterangan berkelakuan baik dan wajib lapor.
Padahal, kata Salahudin, seseorang yang keluar dari masa rehabiitasi Narkoba, baik medis atau sosial, seharusnya yang dikantongi itu adalah surat keterangan yang bersangkutan benar-benar dinyatakan sembuh dari ketergantungan Narkoba.
“Jika mereka sebelum tiga bulan (menghabiskan) masa rehabilitasi Narkoba sudah keluar berdasarkan surat keterangan berkelakuan baik, di kelurahan juga bisa mengeluarkan surat keteragan berkelakuan baik,” sindir Salahudin.
Salahudin pun menjelaskan, proses rehabilitasi itu sesuai dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Yakni, pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Salahudin mengurai, dalam Pasal 55 (1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Salahudin melanjutkan, (2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
“Jadi menurut saya, syarat-syarat dalam rehabilitasi itu yang melaporkan diri, bukan yang tertangkap menurut undang-undang,” tegas Salahudin.
“Inilah yang saya katakan perlakuan yang berbeda dalam penaganan Narkoba, antara masyarakat biasa dan pejabat. Apakah karena mereka sebagai pejabat, maka penangananya sangat istimewa?” lanjut Salahudin dengan nada bertanya.
Padahal, kata Salahudin lagi, Polres Metro Jakarta Pusat saat memberi keterangan resmi melalui konferensi Pers mengatakan, dua Aleg dan 1 ASN Boalemo tersebut adalah tersangka.
“Artinya jika mereka dinyatakan sebagai tersangka, maka seharusnya mereka ada berita acara pemeriksaan, ada surat perintah penangkapan, surat perintah penahanan, surat pernyataan rehabilitasi. Tetapi sampai dengan saat ini, proses tersebut tidak pernah muncul di publik bahwa yang bersangkutan dalam proses hukum,” tegas Salahudin.
Meski menyatakan tetap menghargai asas praduga tak bersalah, sebelum ada putusan pengadilan, namun Salahudin Pakaya mengaku proses rehabilitasi dan perlakuan terhadap dua Aleg dan seorang ASN Boalemo ini memang patur dipertanyakan karena “sangat aneh”.
“Dan baru kali ini saya menemukan proses hukum seperti ini,” pungkas Salahudin Pakaya kepada wartawan DM1, Kamis (11/5/2020).
Sementara itu, sejumlah anggota DPRD Boalemo lainnya yang telah dimintai komentar terkait kasus Narkoba ketiga orang tersebut, hingga tulisan ini ditayangkan, tidak memberikan keterangan sepatah dua kata pun, seolah memang para anggota Parlemen di Boalemo ini sedang melakukan aksi “tutup mulut”. (kab/dm1)
Sab Jun 13 , 2020
DM1.CO.ID, JAKARTA: Rektor Unima (Universitas Negeri Manado) dinilai telah melakukan kriminalisasi terhadap seorang aktivis, serta seorang dosen di universitas tersebut.