SEKITAR setahun lalu, saat diberi amanah menjabat Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman, Rizal Ramli langsung bekerja dengan menunjukkan kualitasnya sebagai seorang pejabat negara yang benar-benar berpihak kepada kepentingan negara, terutama bagi rakyat Indonesia.
Karena dengan memahami betapa Presiden Jokowi mengharapkan pemerintahannya bisa berjalan menuju arah Trisakti yang dijabarkan dalam Nawacita, Rizal Ramli pun memanfaatkan jabatannya sebagai kesempatan untuk benar-benar murni bertindak ke arah perwujudan Trisakti.
Dan Rizal Ramli yakin, bahwa hanya dengan begitu, Indonesia bisa melakukan perubahan untuk menjadi negara yang hebat maju dan berkembang secara penuh kemandirian.
Berdasar dari pemahaman itulah, Rizal Ramli pun memulainya dengan mengeluarkan jurus “Rajawali Ngepret”, lalu mengajak kepada seluruh pihak terutama pejabat negara untuk bertindak serta berbuat “out of the box”.
Tentu saja jurus Rajawali Ngepret yang dilakukan Rizal Ramli saat itu adalah semata agar pemerintahan Jokowi bisa benar-benar lebih baik dari pemerintahan sebelum-sebelumnya.
Dan sederetan hal pun harus dikepret Rizal Ramli. Yakni, selain memperingatkan Garuda Indonesia agar membatalkan rencana pembelian pesawat wide-body Airbus 380 karena dinilai tidak cocok dan hanya berpotensi merugikan perseroan dan keuangan negara, Rizal Ramli juga mengkritisi program pembangunan Megaproyek listrik 35 ribu MegaWatt (MW) yang dicanangkan Presiden Jokowi.
Rizal Ramli selaku Menko Kemaritiman saat itu mengatakan target pemerintah membangun pembangkit listrik 35 ribu MW terlalu ambisius sehingga sangat sulit dicapai. Bahkan, dia menilai bahwa proyek yang dicanangkan Jokowi hingga 2019 itu tak masuk akal. Olehnya itu Rizal Ramli berharap agar proyek listrik tersebut hendaknya dihitung dan dievaluasi ulang.
Mengetahui ada seorang menko yang mengkritisi proyek listrik 35 ribu MW tersebut, Jusuf Kalla (JK) selaku Wakil Presiden (Wapres) pun tiba-tiba jadi geram.
“Sebagai menteri harus pelajari dulu sebelum berkomentar. Memang tidak masuk akal (proyek pembangkit listrik 35 ribu MW) tapi menteri harus banyak akalnya. Kalau kurang akal pasti tidak paham itu memang. Itu kalau mau 50 ribu MW pun bisa dibuat,” kata JK sesumbar, di Gedung Nusantara IV Kompleks Parlemen.
“Jangan bicara tanpa paham persoalan, itu berbahaya,” tambah JK.
Bahkan lebih tegas JK menuding sikap Rizal Ramli yang mengkritisi proyek listrik tersebut adalah sebuah upaya mengurangi wibawa presiden.
“Malah kalau begitu mengurangi kewibawaan presiden. Karena yang resmikan kan presiden, bukan saya. Policy pemerintah, Pak Jokowi yang meresmikannya, berarti memandang kurang pantas Pak Jokowi kalau begitu kan,” jelas JK.
Membalas pernyataan Wapres JK tersebut, Rizal Ramli dengan santai meminta JK untuk menemuinya dan berdebat di depan umum mengenai program pembangkit listrik 35 ribu MW itu.
“Kalau mau paham, minta Pak Jusuf Kalla ketemu saya, kita diskusi di depan umum,” tantang Rizal di Istana Kepresiedenan, Jakarta, Selasa (18/8/2015).
Rizal Ramli selaku Menko Kemaritiman berani mengatakan hal tersebut, sebab memang selain sangat memahami kondisi kelistrikan di tanah air, Rizal Ramli juga sudah menghitung dan mengevaluasi proyek pembangunan pembangkit listrik 35 ribu Megawatt (MW) tersebut.
Hasilnya, Rizal Ramli memperkirakan Indonesia hingga 2019 hanya sanggup membangun kapasitas pembangkit listrik maksimal 18 ribu MW dengan mempertimbangkan berbagai alasan.
“Karena kami sudah mempelajari sebelumnya dengan studi dan wawancara di dalam maupun di luar, target 35 ribu kurang realistis. Perkiraan kami paling banter terealisasi 17 ribu-18 ribu MW sampai 2019. Tapi banyak dari kita, yang mohon maaf, Asal Bapak Senang, memasang target berlebihan kurang realistis,” tegasnya di kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Jakarta, Selasa (31/5/2016).
Dia mengatakan, estimasi target pembangkit listrik 17 ribu-18 ribu MW lebih tinggi dibanding pencapaian di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun yang hanya mampu membangun sekitar 10.200 MW. Bahkan dari hasil audit BPK, listrik yang terbangun di pemerintahan sebelumnya jauh lebih rendah, yakni 7.919 MW.
Sayangnya, penjelasan Rizal Ramli sedetail apapun ketika itu nyatanya tidak membuat Jokowi dan JK terpengaruh. Bahkan, Rizal Ramli disebut dan dituding sebagai biang kegaduhan di dalam kabinet, yang akhirnya ini kemudian jadi salah satu alasan Rizal Ramli dicopot dari jabatannya.
Sebab sebelumnya, Presiden Jokowi dan Wapres JK memang kerap memperingati Rizal Ramli agar tidak melakukan kegaduhan di dalam kabinet.
Presiden Jokowi bahkan menyinggung Rizal Ramli dengan mengatakan bahwa banyak pihak yang merasa pesimis dengan mega proyek listrik tersebut.
Dan pernyataan Presiden Jokowi seputar proyek listrik tersebut tentu saja sangat cenderung “membela” JK sebagai wapresnya.
“Banyak yang menyampaikan bahwa 35 ribu megawatt itu sebuah target yang sangat ambisius,” kata Jokowi usai membuka The 3rd Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) 2015, di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (19/8/2015).
Bahkan dengan tegas Presiden Jokowi tak akan merevisi program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt karena proyek tersebut memang menjadi kebutuhan. Karena itu, Jokowi terus mendorong agar pembangunan pembangkit listrik itu bisa lekas selesai.
Jokowi mengatakan jika mau gampang, buat saja target 5.000 megawatt. Pasti tercapai. “Kalau saya kan enggak mau (dengan 5.000 megawatt),” katanya seusai membuka acara The Indonesia International Geothermal Convention and Exibition di Jakarta Convention Center, Rabu, 19 Agustus 2015.
Namun seiring dengan waktu yang berjalan, dan di saat Rizal Ramli terlanjur telah dicopot dari jabatannya, dan seolah baru siuman, belakangan Presiden Jokowi sendiri yang malah meminta target megaproyek 35 ribu MW tersebut untuk dihitung ulang.
Menurut Jokowi, dengan tingkat konsumsi masyarakat yang masih rendah, kelebihan kapasitas listrik justru akan merugikan Indonesia.
“Hitungan-hitungan sebelumnya memang, ini ada kalkulasi, ada perhitungan. Dalam praktik di lapangan, pertumbuhan ekonomi dengan perencanaan mengenai pertumbuhan ekonomi yang kita hitung memang berbeda,” kata Presiden Jokowi dalam sidang Dewan Energi Nasional (DEN) di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (5/1).
Menurutnya, kelebihan pembangunan pembangkit salah satunya akan merugikan perusahaan listrik negara (PLN). Di mana listrik yang diproduksi tidak akan terserap karena rendahnya konsumsi listrik masyarakat.
“Sehingga saya kira juga perlu dikalkulasi lagi. Kalau kelebihan (kapasitas listrik) saya kira juga ada masalah. Karena apapun ini akan membuat pemborosan di PLN, karena apapun itu harus kita bayar. Sehingga cost of moneynya menjadi lebih tinggi,” jelas Jokowi.
Apa yang menjadi pernyataan dan penjelasan Jokowi tersebut, jika kembali ditengok ke belakang, maka sangat seirama dengan pernyataan dan penjelasan yang pernah diungkapkan oleh Rizal Ramli semasa menjabat Menko Kemaritiman.
Mungkin karena tak ingin disebut sebagai orang yang baru siuman, Jokowi pun seolah berkelik dengan menyatakan bahwa angka 35 ribu bukan target melainkan kebutuhan yang harus dipenuhi. “Kita harus lihat ini bukan lagi semata target, tapi ini kebutuhan,” kata Jokowi.
Dan ketika Presiden Jokowi akhirnya harus meminta mengevaluasi ulang mengenai proyek listrik itu seperti yang pernah disuarakan oleh Rizal Ramli, maka apakah saat ini JK akan menyebut pula Jokowi sebagai orang yang kurang akal, atau tukang gaduh?