DM1.CO.ID, GORONTALO: Sistem retribusi sampah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Gorontalo melalui Dinas Badan Lingkungan Hidup Kota Gorontalo dinilai oleh warga termasuk paling buruk dan dilaksanakan secara semrawut. Bahkan, diduga sudah dipraktikkan pungli (pungutan liar) oleh sejumlah oknum tukang sampah.
Hal tersebut diungkapkan Muis selaku mantan Ketua RW 07 Kelurahan Wumialo, Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo. Dia mengaku kesal karena adanya ulah oknum petugas sampah yang bertugas tidak profesional di wilayahnya, bahkan terkesan ingin mempraktikkan pungli.
Muis pun kemudian menceritakan pengalamannya. Bahwa sekitar 2 tahun lalu, ada oknum petugas pengangkut sampah menggunakan benjai (motor roda tiga) yang beroperasi di wilayah perumahan Belle Moyyoto Indah-Wumialo, ketika menagih retribusi sampah hanya dilakukan dengan cara lisan tanpa dibekali lembaran karcis sebagai bukti pembayaran retribusi.
Akibatnya, kata Muis, pada sekitar 2 tahun lalu tersebut tidak jarang oknum petugas itu dalam sebulan bisa lebih dari sekali melakukan penagihan kepada sejumlah warga. Dan dalam kondisi tersebut, tentunya para warga sangat sulit untuk tidak membayar kembali di bulan yang sama karena tidak memiliki bukti pembayaran berupa karcis tersebut. “Dan itu berlangsung cukup lama,” katanya.
Parahnya, selain penagihan dilakukan langsung oleh oknum petugas sampah tersebut secara lisan, di kesempatan lain juga ada dua wanita petugas khusus yang lebih dulu datang ke rumah warga untuk melakukan penagihan untuk satu tahun. Sehingga menurut Muis, khusus soal retribusi sampah, warga tak jarang harus membayar retribusi sampah secara super-dobel , tarif sekali tagih Rp. 5.000 per bulan.
Yang membuat warga bertambah kesal, termasuk Muis, yakni di saat warga ngotot tak ingin membayar karena merasa yakin telah melakukan pembayaran, maka di saat itu pula oknum petugas sampah dengan angkuhnya sengaja melewati rumah warga dengan tidak mengangkut sampah di rumah warga tersebut karena dianggap belum melakukan pembayaran.
Karena kondisi seperti itu pernah dialami langsung, Muis yang juga seorang tokoh jurnalis di daerah ini pun berinisiatif membayar langsung ke BLH Kota Gorontalo sekaligus melaporkan sikap oknum petugas sampah tersebut.
Namun kendati telah membayar langsung disertai bukti pembayaran hingga Agustus 2017, ternyata tidak membuat oknum petugas sampah itu berhenti untuk terus menagih Muis. Pada dua hari berturut-turut (Kamis dan Jumat, 5-6/1/2017), Muis kembali didatangi oleh oknum petugas sampah tersebut untuk menagih dengan cara-cara yang terkesan kurang etis, mengucap salam bagai berteriak sambil menggedor-gedor pintu dengan sangat keras layaknya seorang preman yang ingin menagih puluhan juta rupiah.
Untung saja Muis masih menyimpan bukti pembayarannya, coba kalau sudah tercecer atau lupa disimpan di mana? Tentulah Muis mau tak mau harus membayar kembali.
Situasi seperti itulah, kata Muis, yang membuat dirinya kembali kesal sekaligus heran dan diliputi seribu satu pertanyaan.
Di antaranya, apakah BLH tidak punya catatan sendiri yang khusus untuk mengecek dan mengetahui siapa-siapa warga yang telah melakukan pembayaran atas retribusi sampah? Atau apakah ini perintah langsung dari oknum “bos” di BLH Kota Gorontalo untuk melakukan penagihan spekulasi dengan hanya menggunakan perkiraan baik waktu maupun bukti pembayaran yang dianggap mungkin telah tercecer, dan lain sebagainya, sehingg membuat warga kembali harus membayar?
Dengan adanya fakta-fakta tersebut, Muis pun meminta kepada Walikota Gorontalo Marten Taha agar tidak menyepelekan sistem pembayaran retribusi yang sangat buruk tersebut seperti saat ini.
“Jangan lupa, di mana-mana persoalan sampah dan pengelolaannya itu bisa menjadi ukuran seseorang Walikota bisa dinilai apakah berhasil atau tidak sebagai walikota,” ujar Muis seraya menyarankan kepada Walikota Gorontalo agar dapat melakukan training lebih dulu kepada para petugas sampah agar dapat melayani warga dengan baik.