Menanti “Power” Prabowo di Laut Natuna Utara, Mampukah?

Bagikan dengan:
Oleh: Abdul Muis Syam*

DM1.CO.ID: Sesaat Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) usai menetapkan Prabowo Subianto sebagai pemenang dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) pada Pemilu 2024, ada secercah harapan yang langsung terlintas dan spontan terbayang di benak. Namun, saat ini harapan itu masih sebatas sebagai pertanyaan, yang tentunya hanya bisa dijawab oleh Prabowo Subianto.

Yakni, terbayang dengan jelas sosok Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Prabowo Subianto, ketika nantinya setelah dilantik dan diambil sumpahnya sebagai Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024 mendatang, apakah dapat langsung berupaya dan bergegas menuntaskan persoalan seputar Laut Natuna Utara?

Entahlah! Yang jelas selama ini, persoalan Laut Natuna Utara kini masih bagai benang kusut yang cukup sulit diurai untuk menemui pemecahan dan solusi. Terlebih setelah Kementerian Sumber Daya Alam China, pada Senin (28 Agustus 2023), mengumumkan peta terbaru yang dirilis melalui media China Daily, dengan mematok kawasan Laut Natuna Utara sebagai bagian dari negara China.

Artinya, China secara sepihak saat ini telah mengklaim hampir 95 persen perairan Laut China Selatan (LCS) sebagai wilayah kekuasaannya, termasuk Laut Natuna Utara. Dan satu-satunya yang menjadi landasan China ikut mematok Laut Natuna Utara termasuk dalam bagian dari wilayahnya, yaitu hanya berdasar pada klaim klasik historical background yang dinamai “Sembilan Garis Putus-putus (Nine Dash Line)”, yang malah kini menjadi “Ten Dash Line” atau 10 Garis Putus-putus dalam “Peta Standar China 2023” dengan menambah atau memasukkan kawasan laut bagian Timur Taiwan.

Akibat diterbitkannya “Peta Standar China 2023” secara sepihak tersebut, membuat 9 negara di ASEAN yang wilayahnya berbatasan langsung dengan perairan LCS itu, harus terseret dalam permasalahan dan bahkan pertikaian dengan China. Yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Kamboja, Thailand, Filipina, Taiwan, Vietnam, serta Indonesia.

Dan meski menimbulkan pertentangan dari negara-negara tersebut dengan melakukan protes dan reaksi penolakan terhadap peta terbaru versi China itu, nyatanya tidak membuat Beijing jadi kendur. Bahkan China makin memperlihatkan ambisinya untuk dapat benar-benar menguasai seluruh wilayah yang masuk dalam “Ten Dash Line” tersebut.

Sayangnya, Indonesia sejauh ini juga dengan tegas menyatakan tidak akan pernah mengakui klaim China sejak awal atas wilayah Kepulauan Natuna. Dan penegasan ini pernah dilontarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di hadapan ratusan nelayan di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Selat Lampa, Kabupaten Natuna, pada Rabu (8 Januari 2020).

Dalam kunjungan kerjanya ke Pelabuhan Perikanan Selat Lampa tersebut, Presiden Jokowi menyebutkan, bahwa di wilayah Natuna yang memiliki penduduk sekitar 81.000 jiwa ini dari dulu hingga sekarang tetap menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan menurut Jokowi, tak ada tawar-menawar terhadap kedaulatan Indonesia atas wilayahnya, termasuk seluruh wilayah di Kepulauan Natuna, khususnya di Laut Natuna Utara.

Laut Natuna Utara sendiri disebutkan termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan merupakan hak berdaulat sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni  berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982 yang sudah diratifikasi Indonesia dan China.

Namun kendati begitu, China nyatanya tak mengindahkan semua pernyataan penegasan dari negara ASEAN mana pun, termasuk tidak mengakui konvensi PBB UNCLOS 1982 tersebut. Parahnya, China bahkan menolak putusan Mahkamah Arbitrase Internasional PBB atau Permanent Court of Arbitration (PCA) di Den Haag, pada 2016, yang memutuskan bahwa klaim China terhadap perairan LCS tidak memiliki landasan hukum internasional.

Sungguh, China benar-benar menunjukkan keangkuhan dan arogansinya sebagai negara terkuat di Asia, sehingga perselisihan beberapa negara ASEAN dengan China terhadap wilayah perairan LCS itu pun masih terus berlanjut. Dan hal ini pernah diakui pada Selasa (19 Maret 2024) oleh Marsekal TNI (Purn.) Hadi Tjahjanto selaku Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), yang mengungkapkan bahwa sengketa di Laut Cina Selatan (termasuk adanya dengan Laut Natuna Utara) sampai saat ini masih terus berlangsung dan belum menemui titik terang. Dan hal ini tentu saja menjadi ancaman terhadap kedaulatan wilayah NKRI.

Laksamana TNI (Purn.) Marsetio, Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KASAL) 2012-2015, yang kini sebagai Guru Besar Universitas Pertahanan, dalam artikel opininya di kompas.id (edisi 27 September 2022) berjudul “Tantangan Menghadapi “Gray Zone Operation” China di Laut Natuna Utara”, mengungkapkan dan menekankan beberapa hal penting.

Ia mengingatkan, langkah agresif China untuk mempertahankan klaim Laut China Selatan dengan membangun kekuatan militer dan didukung kekuatan ekonomi melalui program pendanaan Inisiatif Sabuk dan Jalan (The Belt and Road Initiative/BRI), sungguh tidak dapat dianggap remeh.

Marsetio membeberkan, China tidak hanya mengirim kapal ikan dan kapal penjaga pantai, tetapi juga kapal riset dan kapal perang. Kapal perusak Kunning-172 diketahui berada di Laut Natuna Utara pada 13 September 2021, dan kapal riset Haiyang Dizhi-10 berlayar mondar-mandir di sana sepanjang Agustus-Oktober 2021.

Ia pun mengimbau, kapal-kapal negara RI harus konsisten hadir di Laut Natuna Utara sepanjang tahun untuk menjamin kedaulatan NKRI. Selain itu, Pemerintah RI juga diharapkan dapat menghadirkan dan mengerahkan kapal-kapal nelayan di Laut Natuna Utara sebagai bentuk pernyataan, bahwa hak berdaulat Indonesia di ZEE Indonesia tidak terbantahkan oleh klaim negara mana pun.

Namun di balik semua itu, tentu akan memunculkan pertanyaan, bahwa sebenarnya apa yang mendorong China begitu sangat berambisi ingin memiliki sepenuhnya Laut China Selatan termasuk Laut Natuna Utara?

Dari sejumlah data yang tersebar  menyebutkan, bahwa kawasan LCS diketahui menjadi salah satu pintu gerbang komersial yang krusial bagi sebagian besar industri logistik dunia, dan bahkan menjadi sub-wilayah ekonomi strategis di kawasan Indo-Pasifik.

Dilansir CFR Global Conflict Tracker yang dikutip cnbcindonesia.com, mengurai total nilai perdagangan yang melintasi kawasan ini mencapai 3,37 Triliun Dolar Amerika pada 2016. Bahkan pada 2017, perdagangan gas alam cair global yang transit melalui perairan LCS ini mencapai 40 persen dari total konsumsi dunia.

Selain itu, China begitu tergila-gila ingin menguasai Natuna sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya, karena potensi ikan di Laut Natuna ini mencapai lebih 500 ton per tahun. Dan tak hanya itu, Natuna juga diketahui memiliki kandungan kekayaan bumi berupa minyak dan gas. Yakni, cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 14.386.470 barel, dan gas bumi sebesar 112.356.680 barel. Salah satunya adalah ladang gas D-Alpha yang terletak 225 Km Utara Pulau Natuna dengan total cadangan mencapai 222 Trillion Cubic Feet (TCT), serta gas hidrokarbon sekitar 46 TCT, yang kesemuanya merupakan salah satu sumber kekayaan bumi terbesar di Asia.

Ambisi dan “kegilaan” China untuk menguasai penuh Laut China Selatan, dengan salah satunya memasukkan Laut Natuna Utara ke dalam peta terbaru mereka, membuat sejumlah pihak dari berbagai organisasi pun terpanggil melakukan kampanye penegakan kedaulatan NKRI sebagai harga mati. Yakni di antaranya, datang dari ISDS (Indonesia Strategic and Defence Studies), yang secara terbuka menggaungkan adanya ancaman konflik di Laut China Selatan terhadap kedaulatan Indonesia. “Ancaman kedaulatan ini nyata dan perlu disadari oleh segenap masyarakat Indonesia,” demikian penggalan kalimat yang tertulis di situs ISDS.

Selanjutnya, dengan mengetahui semua hal yang mendasar terhadap permasalahan terkait Laut China Selatan selama ini, maka apakah Prabowo Subianto setelah dilantik sebagai Presiden RI dapat segera bergegas turun tangan untuk mengatasi ancaman kedaulatan wilayah NKRI di Laut Natuna Utara tersebut? Ataukah Prabowo nantinya justru akan gentar terhadap kekuatan militer dan ekonomi China yang lebih kuat, sehingga lebih memilih menerima klaim peta terbaru dari China tersebut?

Sekali lagi, entahlah! Yang jelas sejak menjabat sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI), Prabowo Subianto telah memperlihatkan upayanya menjaga kedaulatan NKRI, yaitu dengan “mempersiapkan, memperlengkapi dan memperkuat” Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Alutsista (Alat Utama Sistem Senjata) atau peralatan militer. Yakni mulai dari peralatan personel, radar, rudal, senjata dan amunisi, serta kendaraan tempur seperti helikopter, tank, mobil lapis baja, pesawat tempur hingga kapal selam.

Upaya tersebut kemudian membuat mantan Menko Bidang Perekonomian, Chairul Tanjung selaku Chairman CT Corp, menganugerahi Prabowo Subianto sebagai Tokoh Peneguh Kedaulatan Negara, pada momen detikcom Awards 2023.

Dan tak cuma itu, keseriusan menjaga kedaulatan bangsa dan negara Indonesia, ternyata juga dituangkan oleh Prabowo ke dalam visi misinya yang dirangkum dalam “Asta Cita” sebagai pasangan calon peserta Pilpres 2024. Yaitu, pada poin kedua yang berbunyi: “Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.”

Bahkan sebelumnya, Prabowo Subianto juga pernah menegaskan sebagai pembicara kunci dalam Seminar Maritim Internasional 2022, dengan menyebutkan bahwa Indonesia harus segera membangun kekuatan maritim yang digabung dengan kekuatan darat dan udara untuk menjamin kedaulatan serta kemakmuran bangsa.

Tak hanya sampai di situ, saat menerima kunjungan KASAL, Laksamana TNI Muhammad Ali di Kementerian Pertahanan (Kemhan), Jakarta, belum lama ini atau pada Kamis (2 Mei 2024), Prabowo Subianto menegaskan secara khusus pentingnya sinkronisasi antara TNI AL dan Kemhan dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan program pengembangan kekuatan TNI AL pada tahun anggaran 2024 ini.

Memperkuat matra laut sangat penting sebagai bagian integral dari pertahanan nasional,” tandas Prabowo Subianto selaku Menhan dalam pertemuan tersebut, seraya menambahkan bahwa dirinya berkomitmen untuk meningkatkan kemampuan operasional dan pertahanan laut Indonesia, terutama dalam menghadapi dinamika keamanan maritim di wilayah perairan Indonesia.

Jika sedemikian besarnya tekad dan keseriusan Prabowo Subianto dalam menjaga keutuhan kedaulatan wilayah NKRI, maka tentulah saat ini seluruh rakyat Indonesia akan menantikan “power” Prabowo Subianto sebagai Presiden RI, agar dapat benar-benar berdiri paling depan menancapkan dan menegakkan panji-panji kedaulatan di setiap jengkal tanah air di Bumi Pertiwi ini, termasuk di Laut Natuna Utara. Sehingga dengan begitu, rakyat Indonesia pun merasa tidak “menyesal” telah memilih Prabowo Subianto sebagai Presiden ke-8 RI. Semoga!

—–

Opini ini juga dapat disimak melalui video berikut di bawah ini:

#KedaulatanIndonesia #JagaNatuna #LombaISDS

*Penulis adalah pengamat sosial dan aktivis penegak kedaulatan bangsa, juga pemimpin redaksi dm1.co.id

Bagikan dengan:

Muis Syam

827 views

Next Post

China "Rampas" Wilayah Indonesia, ISDS Galang Kesadaran Kedaulatan NKRI

Kam Mei 30 , 2024
DM1.CO.ID: Sejak Kementerian Sumber Daya Alam China secara resmi merilis Peta Standar China terbaru, pada Senin (28 Agustus 2023), sejumlah negara di Asia pun sontak jadi geger, dan bahkan ramai-ramai mengecam keras sikap Beijing yang dianggap telah “merampas” wilayah kedaulatan negara mereka.