Oleh: Herman Muhidin, SH, MH*
DM1.CO.ID, OPINI: Darwis Moridu, Bupati Boalemo, kembali berurusan dengan pengadilan setelah sebelumnya pada musim kampanye pilpres tahun 2019, dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemilu, meski hukumannya ketika itu hanya divonis 2 bulan penjara dengan 6 bulan masa percobaan. Putusan pengadilan negeri Tilamuta ketika itu tidak mencerminkan rasa keadilan.
Kali ini Darwis Moridu, sedang menjalani proses hukum (pidana) dan sudah berstatus terdakwa, dan sedang menunggu jadwal sidang di Pengadilan Negeri Gorontalo. Meski kasus ini sudah terbilang sudah lama berlalu, kejadiannya sekitar 10 tahun yang lalu di Kecamatan Dulupi, Boalemo. Namun karena kasus yang menimpa Darwis Moridu ini adalah tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia, maka yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.
Kasus penganiayaan itu diatur di dalam Pasal 351 ayat (1), (2), (3) KUHP. Pasal ini mengatur tentang penganiayaan dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Jika perbuatan mengakaibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Jika mengakibatkan kematian, diancam pidana penjara paling lama 7 tahun.
Sedangkan Pasal 354 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, masuk dalam kategori penganiayaan berat, ancaman pidananya paling lama 8 tahun dan jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka pelaku diancam pidana penjara paling lama 10 tahun. Kasus penganiayaan itu masuk sebagai kategori delik murni, konsekuensinya laporan tidak bisa dicabut.
Publik berharap agar Jaksa Penuntut Umum (JPU), akan menggunakan pasal-pasal penganiayaan berat kepada Darwis Moridu, dan menghadirkan minimal 2 alat bukti yang sah yaitu saksi, surat petunjuk (visum) atau keterangan ahli, dan tentu yang tak kalah pentingnya adalah keterangan terdakwa.
Jika alat bukti yang sah tersebut bisa diwujudkan dalam proses persidangan Darwis Moridu, tentu akan memperkuat peluang hakim untuk menjatuhkan hukuman secara adil kepada terdakwa.
Hakim memiliki kebebasan dari berbagai pengaruh, sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Artinya, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Majelis hakim diharapkan menghasilkan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan fakta-fakta hukum selama persidangan.
Penegakan hukum itu harus mampu mewujudkan rasa keadilan dalam menilai suatu kasus, karena keadilan itu merupakan prinsip dari negara hukum. Rasa keadilan substantif itu telah tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat terlebih Indonesia yang menganut sistem demokrasi sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, yang pada akhirnya akan menghasilkan hukum yang tidak hanya mengedepankan pada prosedural semata, tetapi yang tak kalah pentingnya adalah memberikan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat tanpa diskriminatif.
Hukum tidak boleh diskriminatif, baik pada substansi aturannya, maupun pada pelaksanaannya. Menurut Prof Mahfud MD, bahwa penegakan keadilan saat ini menghadapi masalah besar karena rasa keadilan hampir tidak ada lagi. Hukum tidak lagi berdasarkan hati nurani, tetapi hanya terikat pada pasal-pasal formal undang-undang.
Semoga saja putusan majeleis hakim atas penganiayaan yang telah dilakukan oleh Darwis Moridu, menjadi pembelajaran bagi pejabat publik agar tidak ada kasus yang sama yang menimpa pejabat publik lainnya, karena tidak ada perbuatan pidana yang bisa terbebas dari pertanggungjawaban secara hukum.
Jika minimal 2 alat bukti yang sah dapat dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam sidang terdakwa Darwis Moridu, maka itu artinya penantian keadilan itu insyaAllah sudah dekat.
————
(Penulis adalah pengamat hukum, tinggal di Gorontalo).