Oleh: Man Muhammad*
DM1.CO.ID, ARTIKEL: Bicara tentang adat istiadat dan tradisi, setiap daerah tentu mempunyai ciri khas dan cara masing-masing dalam melestarikannya. Dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini sejak dulu memang memiliki ragam budaya yang jarang dipunyai oleh negara-negara lain. Sebab memang keberlangsungan adat istiadat di Indonesia juga sebagai bentuk pengokohan identitas bangsa.
Gorontalo sebagai salah satu daerah adat di Indonesia, sudah pasti ingin senantiasa melestarikan adat istiadatnya, tatanan kebudayaan dan tradisi para leluhur untuk dapat diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi ini kemudian membentuk sebuah peradaban masyarakat Gorontalo yang hari ini tidak lepas dari tata aturan dan nilai-nilai adat falsafah: “adati hula-hula’a to syara’a, syara’a hula-hula’a to kitabullah“.
Namun, dewasa ini keberlangsungan adat di Gorontalo seakan mulai tergerus dan tidak diindahkan lagi. Para generasi tua sudah banyak yang acuh tak acuh terhadap nilai-nilai adat dan budaya yang diwariskan para leluhur, sedangkan yang muda tidak lagi memiliki keinginan untuk belajar adat dan budaya daerah.
Kondisi ini membuat sedikit banyaknya berimbas ke sistem pemerintahan yang juga mulai meninggalkan adat. Padahal, untuk melestarikan adat, peran pemerintah sangat dibutuhkan. Apalagi dengan melihat adat istiadat Gorontalo yang lahir dari “persekutuan” lima kerajaan besar yang lebih dikenal dengan Duluwo Limo lo Pohala’a.
Kekhawatiran tergerusnya nilai-nilai adat Gorontalo di masyarakat, kemudian membuat para sesepuh di Kabupaten Boalemo yang memahami adat istiadat Gorontalo berinisiatif melakukan pertemuan. Yakni, pada tanggal 11-12 Desember 2007 silam di Boalemo, diadakanlah Seminar dan Musyawarah untuk membicarakan urgensi keberlangsungan adat istiadat dalam lingkup masyarakat Gorontalo pada umumnya, dan khususnya Pemerintah beserta masyarakat Kabupaten Boalemo. Pada pertemuan tersebut akhirnya tercetus beberapa rumusan nilai-nilai adat yang diharapkan dapat direalisasikan dalam laku kehidupan sehari-hari.
Rumusan-rumusan yang diwarnai kesepakatan para pemangku adat yang hadir saat itu, merekomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten Boalemo agar membentuk suatu Lembaga Adat yang bersifat independen agar nantinya lewat musyawarah para pemangku adat yang tergabung dalam Lembaga Adat tersebut bisa merumuskan aturan-aturan adat, yang kemudian diserahkan kepada pemerintah untuk diusulkan kepada DPRD Kabupaten Boalemo dalam melahirkan Perda (Peraturan Daerah) tentang Adat.
Dua belas tahun berlalu sejak pertemuan para sesepuh di Kabupaten Boalemo yang merumuskan beberapa aturan nilai-nilai adat Gorontalo dan pengusulan untuk dijadikan sebagai Perda Adat dalam pemerintahan kabupaten Boalemo –khususnya— belum juga mampu melahirkan Perda Adat. Padahal, dalam sistem pemerintahan sangat dibutuhkan adanya Perda Adat, terutama dalam membuat keputusan dan kebijakan terkait kehidupan sosial yang tak terlepas dari nuansa adat. Dan ini tentu sangat dibutuhkan agar tidak mencederai nilai-nilai adat.
Namun, jika upaya melahirkan Perda Adat di Kabupaten Boalemo akan ditangguhkan lagi, maka Boalemo sebagai daerah yang masuk dalam teritorial daerah adat Gorontalo dan bersatu dalam naungan Duluwo Limo lo Pohala’a sebagai Lahi Diya, dikhawatirkan Boalemo akan semakin jauh dari nilai-nilai warisan para leluhur.
Buktinya, beberapa kejadian pun mulai bermunculan–salah satu contoh, beredarnya secara viral “video porno” berlatar Pulo Cinta yang menampilkan adegan tanpa busana dari Olivia Preston, model Playboy. Dan hal ini tentu saja dinilai sangat bertentangan, bahkan merupakan pelanggaran adat dan budaya, yang kemudian menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Akhirnya, disadari atau pun tidak, kejadian tersebut sudah sangat menciderai nilai-nilai adat kita sebagai orang Gorontalo.
Agar semua ini tidak terlihat biasa, urgensi Perda Adat Kabupaten Boalemo sudah seharusnya disegerakan. Terlebih dengan melihat gelar Kanjeng Raden Tumenggung dari Keraton Surakarta yang dianugerahkan kepada Bupati Boaleo H. Darwis Moridu karena dianggap memiliki kepedulian lebih dalam melestarikan budaya dan adat istiadat serta kearifan lokal. Juga mengingat sosok Karyawan Eka Putra Noho yang baru yang baru saja menjalani proses “Mohuopo” sebuah prosesi adat penjemputan bagi Ketua DPRD dari kediaman pribadinya menuju rumah jabatan Ketua DPRD, sangat tidak patut untuk menyepelekan lahirnya Perda Adat.
Dengan demikian, selain karena peran adat yang sangat dibutuhkan dalam perkembangan dan pelestarian budaya Gorontalo, maka tentu Pemerintah Boalemo berkewajiban untuk menyegerakan lahirnya Perda Adat. Dan hanya dengan begitu, Pemerintah Kabupaten Boalemo diyakini bisa mengangkat martabat Boalemo sebagai kabupaten yang lahir dari kesepakatan para tokoh adat, tokoh agama, dan para cendekiawan yang berasal dari segala penjuru di Gorontalo. Dan yang terpenting, Gorontalo –Boalemo, khususnya— sebagai daerah adat dengan falsafah Adati hula-hula’a to syara’a, syara’a hula-hula’a to kitabullah dapat menjadi “filter” dari segala hal yang datang dari luar Gorontalo –atau pun yang dilakukan oleh masyarakat Gorontalo— yang ‘diduga’ bisa menciderai nilai-nilai adat.
——-
(Penulis adalah pengamat nilai-nilai sosial dan budaya)