Rizal Ramli Beri Penjelasan Serta Solusi Sistem Ekonomi Kebodohan Versi Prabowo

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, JAKARTA: Calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), di Pondok Pesantren Minhajurrosyidin Pondok Gede, Jakarta Timur, Kamis (11/10/2018).

Dalam pidatonya, Prabowo menyebut sistem perekonomian saat ini sebagai ekonomi kebodohan.

“Kita lihat sekarang puluh jutaan hektar tanah kita dikuasai oleh perusahaan swasta. Mereka bawa uangnya ke luar negeri,” ungkap Prabowo.

Ini, menurut Prabowo, bukan ekonomi neolib lagi. “Ini lebih parah dari neolib. Ini harus cari istilah baru kita. Ini lebih parah dari neolib,” ujarnya.

Prabowo pun mengaku sudah punya istilah baru bagi sistem ekonomi yang dijalankan pada rezim ini.

“Ini ekonomi menurut saya, saya sebetulnya sudah sebut, tapi nggak tahu ini nanti dianggap mengada-ngada. Tapi tidak, menurut saya ini adalah ekonomi kebodohan,” lontarnya.

Sontak, istilah inipun kemudian memunculkan pro-kontra di berbagai kalangan, terutama dari para elit kedua pendukung pasangan Capres 2019 yang ada.

Menyikapi pro-kontra tersebut, Ekonom senior Rizal Ramli yang hingga kini tidak berada di salah satu kubu, saat dimintai tanggapannya oleh salah satu stasiun televisi secara live, menjelaskan pandangan ekonomi kebodohan versi Prabowo tersebut.

“Mungkin pidato Pak Prabowo tadi karena Pak Prabowo sudah gregetan sekali. Dan seperti  juga banyak orang Indonesia lain, tahu persis, bahwa Indonesia ini negara yang kekayaan alamnya paling besar, paling bagus di Asia Tenggara, bahkan mungkin dibandingkan Asia Selatan, apalagi. Tetapi kenapa  manfaat dari kekayaan alamnya yang besar itu belum dinikmati oleh rakyat Indonesia,” tutur Rizal Ramli memulai penjelasannya.

Mantan Menteri Keuangan inipun melanjutkan, “walaupun ekonomi  kita besar, sudah 1 Triliun Dolar, termasuk ekonomi yang lumayan besar di dunia. Tetapi begitu dibagi dengan 250 juta, itu pendapatan rakyat kita masih 3.800 Dolar perkapita. Malaysia sudah tiga kali lipat dari kita”.

Jadi, kata Rizal Ramli, memang ada ironi di situ. “Kenapa, kok sumber alamnya kaya, malah rakyatnya relatif miskin. Jadi itu, saya melihat pidato Pak Prabowo dalam konteks itu,” jelas Rizal Ramli.

Dalam wawancaranya di salah satu stasiun televisi swasta tersebut, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian era Presiden Gus Dur itu, juga sekaligus memberi saran dan solusi agar pemerintah tak disebut sedang menjalankan ekonomi kebodohan.

Saran dari Rizal Ramli tersebut di antaranya, meminta pemerintah agar dapat mewajibkan (tidak hanya mengimbau secara sukarela) para eksportir Indonesia untuk semua hasil ekspornya dapat dimasukkan ke sistem perbankan.

“Memang yang terjadi hari ini, ekspor Indonesia, begitu ada ekspor, yang masuk ke dalam sistem perbankan kita kurang dari 20 persennya. (Lebih banyak) 80 persennya disimpan di Singapura, di Hongkong, atau di negara lain. Paling yang masuk ke Indonesia hanya modal kerja saja,” ujar Rizal Ramli seraya menambahkan, karena memang sistem kita, sistem devisa kita sangat bebas.

Rizal Ramli pun menunjuk contoh untuk perbandingan. “Saya ingin membandingkan dengan Thailand. Dulu Thailand juga demikian, hanya 5 persen dari ekspornya yang masuk ke dalam sistem ekonomi Thailand,” kata Rizal.

Tapi lebih 10 tahun yang lalu, ungkap Rizal, Pemerintah Thailand bikin peraturan, yakni seluruh pendapatan ekspor harus masuk dulu ke dalam sistem perbankan Thailand, ada waktu mengendap atau  retention, berapa lama.

“Kecuali ada transaksi yang riil dan sungguh-sungguh, silakan, toh itu milik pengusaha eksportir dari sumber daya alam,” jelas Rizal.

Dari peraturan Pemerintah Thailand tersebut, kata Rizal, hari ini Thailand 95 persen hasil ekspornya masuk ke sistemnya, sehingga mata uang Thailand Baht bisa lebih stabil.

Jauh-jauh hari, Rizal Ramli sebetulnya sudah menyarankan hal tersebut. “Kami memang menyarankan, agar seluruh ekspor Indonesia harus masuk ke sistem perbankan dulu. Cadangan devisa akan lebih kuat, posisi current account kita akan positif, pengusaha tetap bisa menggunakannya asal  ada underline-transaction,” jelas Rizal Ramli.

“Waktu saya Menko Maritim, saya usulkan di sidang kabinet. Waktu itu kami adakan rapat di Bank Indonesia, ada Gubernur  Bank Indonesia  Agus, ada Pak Darmin Nasution, ada Menteri Keuangan Bambang. Ternyata Bank Indonesia waktu itu keberatan karena berbagai alasan, tentu IMF Bank Dunia nggak setuju, pengusaha beberapa juga ndak setuju. Akhirnya sampai hari ini tidak terjadi. Itu yang menjelaskan, kenapa walaupun ekspor kita besar total, tapi yang masuk dalam sistem perbankan kita kurang dari 20 persennya. Ini sebetulnya bisa diubah,” terang Rizal Ramli.

Menyinggung masalah utang luar negeri, Rizal Ramli menjelaskan, kalau (membahas) soal utang, sederhana. “Setiap hari pemerintah nambah utang 1,4 Triliun Rupiah. Ini tinggi sekali,” katanya.

Rizal menggambarkan, kalau utang itu terlihat (hasilnya) di dalam peningkatan ekonomi yang tumbuh tinggi, mungkin bisa dimaafkan, atau kelihatan di dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, itu bisa dimaafkan.

“Tapi utang tinggi pertumbuhan ekonominya hanya mandet di 5 persen, (maka) itu yang mengkuatirkan, karena ekspornya juga negatif, artinya lebih banyak impor daripada ekspor,” ujarnya.

Yang kedua, kata Rizal, adalah Current Account Deficit (CAD). “Akhir  semester satu, CAD kita minus 8 Miliar Dolar. Ini akan meningkat terus . Inilah yang menyebabkan kenapa rupiah tertekan terus di atas Rp. 15 ribu,” jelasnya.

Mengenai hal tersebut, Rizal Ramli mengaku kerap ditanyai secara bolak-balik tentang nilai Rp.15 ribu itu apakah sudah stabil, atau belum?

“Kami jawab, maaf, sulit untuk stabil. Karena CAD masih negatifnya sangat besar, karena banyak untuk bayar utang, service, ekspor dikurangi impor itu juga negatif,” jelas Rizal.

Nah, hal-hal seperti itulah menurut Rizal sangat merisaukan. “Karena US Fed pasti akan naikin tingkat bunga dalam satu tahun ke depan. Kasus negara-negara berkembang emerging market seperti Turki, Argentina, pasti ada dampaknya ke kita,” ungkap Rizal Ramli.

Yang ketiga, menurut anggota panel ekonomi di badan  dunia PBB ini, adalah Trade-War antara Cina dan Amerika. “Itu buat  kita bakal dibanjiri oleh barang impor dari Cina. Nah hal-hal ini membuat sulit bagi rupiah untuk bisa stabil di Rp.15 ribu,” jelas Rizal Ramli.

Dalam menanggapi sistem ekonomi kebodohan yang sedang berlangsung di negeri ini versi Prabowo, Rizal Ramli juga meninjau dari beberapa sisi.

“Kalau misalnya pendapatan pajak kita tinggi, tax rasio kita tinggi 20 persen, sebetulnya tidak terlalu mengkuatirkan. Tapi tax ratio kita (hari ini) juga cuma 10 persen, sehingga defisit anggarannya pun besar,” ujar Rizal.

Ia juga mengemukakan, “kalau ekspor kita tinggi seperti negara-negara lain, nggak ada masalah kok, kita masih mampu membayar utang. Tetapi ini kan ekspor anjlok, karena yang terjadi sektor riil tidak berkembang samasekali. Tidak ada terobosan di dalam kebijakan”.

Dari seluruh hal tersebut, Rizal Ramli nampaknya tidak mempersoalkan pandangan Prabowo jika sistem perekonomian di negeri ini disebut sebagai ekonomi kebodohan.

Namun, Rizal Ramli mengaku lebih memilih istilah lain tentang sistem ekonomi yang sedang dijalankan oleh rezim ini. Yaitu, sistem ekonomi yang dikelola secara “Medioker”.

“Medioker itu dalam pengertian, harusnya kita bisa lebih tinggi, lebih baik, kita bisa lebih adil. (Tapi) ternyata tidak, karena pengelolaannya sangat di bawah rata-rata,” jelas Rizal Ramli.

Saat “diserang” pertanyaan bahwa kondisi saat ini adalah merupakan warisan dari rezim sebelumnya, Rizal Ramli pun menjawab, “di mana-mana di negara demokrasi , pemerintah yang berkuasa bisa menyalahkan pemerintah sebelumnya maksimum hanya satu tahun. Tapi ini kan sudah berkuasa nyaris empat tahun, masa masih menyalahkan rezim yang lama. Iyakan. Tugasnya rezim yang baru adalah untuk memperbaiki, dong. Udah tau bermasalah, harusnya kan diperbaiki cara pengelolaannya supaya lebih canggih, tidak medioker”.

Jadi kebiasaan menyalahkan rezim yang lama, menurut Rizal Ramli, boleh dibiasakan hanya satu tahun buat negara demokrastis.

“Kalau lewat dari itu, udah empat tahun masih nyalahin rezim yang lalu, artinya tidak mampu menyelesaikan masalah, tidak  punya terobosan, tidak punya kemampuan. Itu lah yang menjelaskan kenapa resiko makro ekonomi Indonesia dua tahun terakhir malah meningkat. Itulah kenapa rupiah tertekan terus, dan ini kami sudah ingatkan sejak satu setengah tahun yang lalu,” jelas Rizal.

Sementara masalah rupiah yang terus tertekan seperti saat ini,  Rizal Ramli sepenuhnya tak setuju jika pemerintah kerap lebih menyalahkan faktor internasional (eksternal).

“(Pengaruh eksternal) Itu betul. Tapi faktanya, kalau internal kita kuat, badan kita sehat, antibodi kita kuat, ada virus negara lain, kita kenanya (cuma) sedikit. Ini begitu ada virus di mana, di Argentina, US Fed, kita sakitnya berat, karena kondisi badan kita lemah. Jadi coba belajar fair, (jika) ada yang internal kita lemah, kita harus perbaiki,” jelas Rizal.

Rizal Ramli pun menyarankan langkah sederhana yang perlu dilakukan saat ini oleh pemerintah.

“Fokus ke 10 impor Indonesia yang paling besar. Salah satu misalnya, baja. Impornya itu 10 Miliar Dolar. Kenapa banyak sekali banjir baja impor dari Cina, karena Cina kapasitasnya berlebihan. Dia jual banjir dengan dumping, Krakatau Steel, dan perusahaan baja Indonesia lain rugi. Kita harus kenakan tarif anti dumping 25 persen. Kalau itu terjadi, impor baja akan turun setengahnya, dan Krakatau Steel pabrik baja Indonesia akan untung,” terang Rizal.

Sayangnya, kata Rizal, menteri keuangannya hanya fokus kepada barang impor yang ecek-ecek, yaitu 1147 komoditi yang total impornya hanya 5 Miliar Dolar, pajak sama bedak, lipstik.

Kondisi seperti ini disebut oleh Rizal Ramli dengan istilah Behind the Cave. “Artinya kecenderungannya ini pemerintah, tim ekonomi di belakangnya. Bahasa anak mudanya ‘telmi’ begitu, loh. Bahasa sopannya Behind the Cave,” tutur Rizal seraya menambahkan bahwa, tim ekonomi rezim saat ini tidak punya kemampuan dan keberanian untuk mengambil langkah-langkah yang penting untuk bangsa.

Dan itulah, menurut Rizal Ramli, kenapa pengelolaan ekonomi Indonesia ini lebih pas disebut Medioker. “Medioker itu, yaahh.. payahlah, di bawah rata-rata, gitu,” lontar Rizal.

Iapun menegaskan, bahwa jika Indonesia ingin benar-benar menjadi negara hebat, maka Indonesia harus bisa mengelola ekonomi secara lebih canggih, secara juga lebih fair dan adil buat bangsa.

Medioker (mediocre) menurut pengertian sederhananya, adalah sebuah istilah yang menggambarkan sesuatu yang negatif karena mengandung pengertian “biasa-biasa saja”, bukan hal yang hebat atau tidak ada istimewa. Bahkan Medioker bisa juga disebut sesuatu “antara ada dan tiada”. (ams/dm1)

Bagikan dengan:

Muis Syam

2,453 views

Next Post

Sepulang dari Palu, Anggota Basarnas ini Disambut Hembusan Nafas Terakhir Sang Istri

Sel Okt 16 , 2018
Wartawati: Dewi Mutiara Kartika~ Editor: AMS| DM1.CO.ID, GORONTALO: Tentu tak pernah terlintas sedikitpun dalam pikiran, bahkan pasti tak pernah terlukis dalam mimpi Alfrits M. Rottie (29), tentang keringat yang belum sempat kering dari perjalanan mulia dalam menunaikan tugas kemanusiaan, harus kembali tumpah bersama kesedihan yang amat mendalam.