Oleh: Herman Muhidin, SH, MH*
DM1.CO.ID, OPINI: Kasus penganiayaan yang menimpa Bupati Boalemo (Non-aktif), Darwis Moridu, yang kemudian berujung di Pengadilan Negeri Gorontalo, telah diputuskan oleh majelis hakim, pada Jumat (13 Oktober 2020), dengan vonis hukuman kurungan badan selama enam bulan.
Tentu sangat menguras energi untuk membicarakan mengapa hukumannya sangat ringan, terutama jika dikaitkan dengan meninggalnya korban Awin Bin Idrus, seorang petani jagung yang tinggal di Desa Kotaraja, Kecamatan Dulupi, Kabupaten Boalemo.
Walau pernah redup, namun kasus ini kemudian muncul lagi karena adanya desakan bertubi-tubi dari mahasiswa dan sejumlah kelompok kritis kepada penegak hukum, agar segera serius memproses perkara hukum Darwis Moridu.
Berhubung Darwis Moridu adalah pejabat publik, maka perbuatan penganiayaannya digolongkan sebagai perbuatan tercela sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Memang, konsekuensinya bagi Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah yaitu terancam akan diberhentikan dari jabatannya. Terlebih di saat proses persidangan sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Gorontalo, terbit keputusan Mendagri tentang pemberhentian sementara.
Perintah pemberhentian ini diatur di dalam Pasal 83 ayat (1 dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan dengan tegas bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan register perkara di pengadilan.
Keputusan Mendagri ini merupakan upaya pemerintah pusat untuk mewujudkan adanya kepastian hukum di daerah, sehingga pemerintahan tetap berjalan meskipun Bupati diberhentikan sementara.
Dan sebagai alternatif solusi untuk melaksanakan tugas kewenangan Bupati yang sedang diberhentikan sementara tersebut, maka Wakil Bupati ditunjuk untuk melaksanakan tugas dan kewenangan Bupati non-aktif. Dengan demikian, tidak ada kekosongan jabatan Bupati yang bisa mempengaruhi lambannya pengambilan keputusan di daerah.
Dengan diadilinya Bupati Boalemo non aktif, Darwis Moridu, sesungguhnya sudah merupakan kemajuan dalam penegakan hukum di Gorontalo. Karena dengan begitu telah ada iktikad baik guna mewujudkan keadilan, meski harus diwarnai dengan berbagai upaya yang tidak sederhana yang telah dilakukan oleh mahasiswa dan kelompok kritis tersebut.
Dan mengingat terdakwa Darwis Moridu sebagai bupati aktif kala itu, maka sangat membutuhkan dorongan yang kuat untuk menegakkan prinsip dari negara hukum, yang salah satunya adalah semua orang sama di depan hukum (equality before the law). Hukum tidak boleh diskriminatif, terutama pada prinsip penerapannya.
Selain menggunakan dasar hukum keputusan Mendagri tentang pemberhentian sementara Darwis Moridu sebagai Bupati Boalemo, proses politik di DPRD dapat pula dilakukan pasca putusan majelis hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkracht dengan pemakzulan.
Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah. Pemakzulan DPRD kepada kepala daerah dapat dilakukan dengan alasan karena Kepala Daerah tersebut telah melakukan perbuatan tercela. Penganiayaan Darwis Moridu kepada korban yang kemudian meninggal dunia dapat diinterpretasi sebagai perbuatan tercela.
Dan kiranya, inilah “kondisi” penegakan hukum di negeri ini ketika dalam prosesnya terkait pejabat publik, maka sangat terasa sulit untuk mewujudkan keadilan. Artinya, tidak bisa disangkali, bahwa harus melewati jalan terjal.
*(Penulis adalah pengamat masalah hukum, politik dan sosial)
—————
Redaksi menerima artikel dari semua pihak sepanjang dianggap tidak berpotensi menimbulkan konflik SARA. Setiap artikel yang dimuat adalah menjadi tanggungjawab sepenuhnya oleh penulis.