DM1.CO.ID, JAKARTA: KPU Kota Makassar pada rapat pleno hasil perhitungan suara Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar 2018, di Hotel Max One, Jalan Taman Makam Pahlawan, Jumat (6/7/2018), menetapkan kotak kosong sebagai pemenang dalam Pilkada Makassar 2018.
Meski didukung 10 partai politik, namun pasangan calon (paslon) tunggal pada Pilkada Makassar 2018 itu hanya berhasil mengantongi 46,77 persen suara. Sedangkan kotak kosong mencapai 53,23 persen.
Kemenangan kotak kosong dalam Pilkada Kota Makassar 2018 ini, sudah pasti menjadi fenomena dan catatan baru perjalanan demokrasi di Indonesia.
Pilkada di daerah lain yang memiliki pasangan calon tunggal, juga dikabarkan mendapat perlawanan sengit dari kotak kosong.
Perlawanan maupun kemenangan kotak kosong dalam ajang pemilihan kepala daerah ini, tentu saja dapat menjadi bukti, bahwa rakyat sesungguhnya sudah sadar tentang politik.
Selain itu, kekalahan paslon tunggal dari kotak kosong, juga menandakan bahwa rakyat sudah cerdas tentang pentingnya memilih calon pemimpin yang benar-benar berkualitas, bukan calon pemimpin yang hanya seenaknya disodorkan oleh partai politik.
Artinya, rakyat tidak ingin dipaksa untuk hanya memilih calon pemimpin yang didukung oleh partai politik manapun dengan sesuka hati.
Kemenangan kotak kosong juga sekaligus menandakan, bahwa rakyat mengingkan calon pemimpin yang benar-benar dinilai mampu berpihak kepada kepentingan seluruh rakyat, bukan calon pemimpin yang hanya mengutamakan kepentingan partai politik atau golongan tertentu saja.
Olehnya itu, meski seluruh partai politik bersatu mendukung dan bergerak untuk memenangkan paslon pilihannya, namun jika rakyat menilai dan meyakini paslon tersebut tidak mampu mengatasi persoalan rakyat (terutama persoalan pembangunan ekonomi), maka kotak kosong menjadi pilihan.
Perlawanan signifikan maupun kemenangan kotak kosong adalah merupakan peringatan keras dan tegas dari rakyat, bahwa para parpol (partai politik) dalam mengusung calon pemimpin jangan lagi memberlakukan sistem mahar.
Sebab, jika sistem mahar yang menjadi patokan utama dalam menentukan dan menetapkan paslon (calon pemimpin), maka “perampok, penipu, dan pembohong” pun bisa menjadi pemimpin.
Olehnya itu, perlawanan dan kemenangan kotak kosong pada ajang Pilkada Serentak 2015, 2017, dan 2018 ini hendaknya (wajib) menjadi bahan renungan sekaligus pertimbangan bagi seluruh parpol dalam menghadapi Pilpres (Pemilihan Presiden) 2019.
Bahwa, para parpol hendaknya tidak lagi mengusung sosok yang hanya mengandalkan uang (mahar) yang dibalut pencitraan. Juga tidak lagi memajukan “petugas partai” yang hanya bertugas sebagai “boneka” partai politik.
Justru jika memang seluruh partai politik benar-benar berkomitmen ingin membangun dan membenahi negeri ini dari segunung persoalan, maka seharusnya partai politik rela berkorban mengeluarkan uang dari kantong sendiri (internal parpol), guna mengusung sosok yang benar-benar memiliki integritas dan kapasitas yang tinggi untuk dimajukan sebagai calon pemimpin.
Dan hari ini, rakyat tahu betul dan sangat sadar, bahwa persoalan utama yang terjadi di negeri ini adalah negara belum juga mampu mengatasi persoalan ekonomi bangsa. Sekali lagi, masalah ekonomi!
Sehingga pada Pilpres 2019 mendatang, parpol sebaiknya jangan lagi coba-coba mengusung sosok “petugas partai”, seseorang yang hanya bisa pencitraan, dan juga figur yang tak punya skill serta kemampuan dalam mengatasi persoalan negara, terutama persoalan ekonomi. Sekali lagi, persoalan ekonomi! Bukan persoalan politik!
Sebab saat ini, kondisi ekonomi di negeri ini masih sangat memprihatinkan. Boleh dikata, seluruh rakyat Indonesia sesungguhnya masih sangat miskin, termasuk para politikus dan para elit juga sebetulnya masih cukup miskin.
Jika kalangan parpol sudah kaya, dan ekonomi mereka sudah baik, maka pasti tidak akan memberlakukan sistem mahar di saat ingin mengusung sosok sebagai calon pemimpin. Inilah bukti bahwa sesungguhnya negeri ini butuh pemimpin yang mampu mengatasi dan membenahi persoalan ekonomi.
Dan hari ini, satu-satunya sosok dari non-parpol yang telah mendeklarasikan diri untuk maju sebagai calon presiden (Capres) pada Pilpres 2019 mendatang, adalah Dr. Rizal Ramli.
Tekad Rizal Ramli maju bertarung pada Pilpres 2019, adalah untuk memenuhi panggilan jiwa dan jeritan bangsa serta tangisan rakyat kecil yang sampai saat ini masih menjadi “nyanyian penderitaan”, yang belum mampu digubah oleh pemerintah menjadi “nyanyian kebahagiaan”.
Rizal Ramli adalah sosok pakar ekonomi senior di negeri ini, yang kemampuannya di bidang ekonomi tak perlu diragukan lagi. Bahkan keberpihakannya kepada kepentingan rakyat juga tak perlu diragukan.
Masih bocah sudah menjadi yatim-piatu, hingga kemudian beranjak dewasa di tengah-tengah rakyat yang susah, membuat Rizal Ramli selalu tampil membela kepentingan bangsa di bawah panji-panji rakyat, bukan di bawah bendera partai.
Semasa masih sebagai aktivis mahasiswa, Rizal Ramli pernah dipenjara di Sukamiskin, Bandung, selama satu setengah tahun oleh rezim Orde Baru (Orba) karena sangat sengit membela kepentingan rakyat.
Ia selalu menerobos kesempatan untuk hanya membela kepentingan bangsa ini. Hingga akhirnya ia berhasil masuk di dalam pemerintahan, yakni sebagai Kepala Bulog, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, di era Presiden Gus Dur.
Kondisi ekonomi di era Presiden Gus Dur boleh dikata sangat baik. Rizal Ramli sebagai Menko Perekonomian di kala itu berhasil membuat Gus Dur sebagai satu-satunya Presiden RI yang mampu mengurangi utang luar negeri dalam waktu singkat.
Memang awalnya Gus Dur menerima warisan perekonomian dari Habibie dalam kondisi growth masih minus (-) 3 persen pada September 1999.
Jika rezim Soeharto butuh 25 tahun untuk menurunkan Gini Ratio dari tahun 1967 di posisi 0,37 menjadi 0,32 pada tahun 1993. Rezim Gus Dur ternyata hanya butuh satu tahun lebih untuk menurunkan koofisien Gini Ratio, yakni dari 0,37 (1999) ke 0,31 (2001).
Di era pemerintahan Presiden Gus Dur juga mampu memacu pertumbuhan ekonomi dari minus tiga persen (-3%) ke positif 4,9%. Dan itu sukses dilakukan tanpa utang, bahkan berhasil mengurangi utang.
Dan semua itu adalah hasil kerja nyata dari tim ekonomi Gus Dur yang dipimpin oleh Rizal Ramli.
Ketika itu, Rizal Ramli berhasil menerapkan berbagai program restrukturisasi korporasi milik negara maupun unit swasta. Antara lain, Bulog, PT.DI, PT. PLN, Garuda Airlines, UKM dan Usaha Tani, PT. Telkom, PT. Indosat, Bank BII, serta sektor properti, dan lain sebagainya.
Sosok Rizal Ramli sejak dulu memang dikenal selalu konsisten memperjuangkan kepentingan rakyat, dan selalu siap mempertaruhkan jabatannya demi membela rakyat kecil.
Pada 2008, saat menjabat sebagai Presiden Komisaris di PT. Semen Gresik, Rizal Ramli memenuhi panggilan jiwanya untuk turut serta dengan kalangan rakyat lapisan bawah berunjuk-rasa di depan istana, menuntut agar harga BBM tidak dinaikkan, serta harga sembako diturunkan.
Rizal Ramli sadar bahwa jika ikut berunjuk-rasa, maka ia akan dicopot dari jabatannya selaku Presiden Komisaris di PT. Semen Gresik. Dan itu benar-benar terjadi meski ia berhasil menaikkan produksi dan mengukir prestasi di PT. Semen Gresik.
Mempertaruhkan jabatannya untuk membela rakyat kecil tak hanya sampai di situ. Saat menjabat Menko Bidang Kemaritiman dan Sumberdaya, Rizal Ramli kembali pasang badan membela kepentingan para nelayan pada persoalan Reklamasi Teluk Jakarta. Dan inipun berakibat Rizal Ramli dikeluarkan dari Kabinet Kerja Jokowi.
Jika sosok lainnya yang telah mendapat jabatan “basah”, maka bisa dipastikan akan lebih memilih tutup mulut dan diam duduk-duduk tenang di kursi empuknya. Dan ini sangat berbeda dengan Rizal Ramli yang tidak akan pernah diam membisu jika melihat rakyat berada dalam keadaan terdesak. Makanya, Rizal Ramli kini dijuluki sebagai sosok dengan jurus “Rajawali Ngepret, dan Rajawali Bangkit”.
Berkaitan dengan sosok Rizal Ramli dan perlawanan kotak kosong pada ajang Pilkada serentak, jika dihubungkan dengan Pilpres 2019, maka dapat dipastikan bahwa rakyat yang telah cerdas tentu akan lebih memilih calon presiden berdasarkan kemampuan (integritas) dari sosok calon yang ada, bukan berdasarkan dari parpol.
Artinya, pada Pilpres 2019 mendatang, dapat dipastikan rakyat hanya akan memilih sosok yang dinilai punya integritas dan rekam jejak yang kuat, dan bukan berdasarkan pada partai pengusung.
Sebab, jika hanya berdasarkan partai pengusung, maka Pilkada Kota Makassar 2018, tentulah sudah dimenangkan oleh paslon tunggal yang diusung dan didukung oleh 10 parpol dengan total 43 kursi di DPRD Kota Makassar, notabene juga adalah kota asal Jusuf Kalla itu, yang nyatanya dikalahkan oleh kotak kosong.
Dan ini menjadi tamparan keras bagi parpol agar tidak lagi sesuka hati menentukan calon menurut selera sendiri karena mungkin berdasarkan politik transaksional, alias mahar. (ams/dm1)