DM1.CO.ID, JAKARTA: Saat ini maskapai penerbangan nasional, Garuda Indonesia, dinilai terus merugi. Bahkan beberapa tahun ini, pemegang saham di perusahaan plat merah itu tak lagi menerima dividen.
Ada apa denganmu Garuda Indonesia? Mengapa begitu amat sulit meraup untung dan hanya terus merugi, sampai-sampai tak lagi memberikan dividen?
Pertanyaan di atas seperti itu kerap dilontarkan berbagai kalangan. Salah satunya disampaikan Direktur AIAC (Arista Indonesia Aviation Center), Arista Atmadjati.
Arista bahkan nampaknya bosan mempertanyakan hal tersebut. Menurutnya, kalau Garuda Indonesia terus merugi, itu bukanlah hal yang aneh.
Sebab, kata Arista, dari sejak tahun 2011 hingga kini dirinya tak pernah diberi dividen.
Ia merasa benar-benar kecewa, karena sahamnya yang dilepas sejak pertama kali bukannya meningkat, malah makin merosot. “Saya adalah pemilik 20 ribu lembar saham, sangat merindukan Garuda untung ,” kata Arista di media sosial.
Sebetulnya, Garuda Indonesia bisa terhindar dari kerugian jika saja mau mendengar dan mengikuti saran serta masukan sejumlah pihak, terutama dari Rizal Ramli yang kerap menunjukkan peluang dan cara agar Garuda dapat meraih untung.
Bahkan ketika menjabat Menko Kemaritiman, Rizal Ramli sudah mengkritisi buruknya kinerja BUMN penerbangan itu. Misalnya, tentang rencana pembelian pesawat Airbus A350 sebanyak 30 unit oleh Garuda Indonesia.
Kala itu Rizal Ramli menyebutkan, pesawat Airbus A350 hanya cocok untuk rute Jakarta-Amerika dan Jakarta-Eropa saja. Ditambah lagi rute internasional yang akan diterbangi Garuda Indonesia tidak menguntungkan karena tingkat keter-isian yang hanya 30 persen.
Ekonom senior yang kerap terlibat sebagai penasehat ekonomi di badan dunia (PBB) itupun menyarankan, lebih baik Garuda membeli pesawat Airbus A320 dan lebih fokus pada penerbangan domestik dan regional Asia.
Rizal Ramli bahkan telah berkali-kali memberikan nasehat, bahwa penyebab buruknya kinerja Garuda, antara lain karena banyak kebijakan yang tidak tepat namun tetap dijalankan, pun melakukan pemborosan, dan lain sebagainya.
Rizal Ramli tentu saja tidak asal memberikan saran dan nasehat. Sebab pada era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli adalah Menko Perekonomian yang berhasil menyelamatkan “nyawa” Garuda dari ancaman kebangkrutan.
Kala itu, Garuda tak mampu membayar utang kepada konsorsium Bank Eropa sebesar 1,8 Miliar Dolar AS, sehingga pesawat Garuda seluruhnya akan disita.
Mengetahui kondisi seperti itu, Rizal Ramli pun jadi geram. Ia lalu mengirim surat grasi ke Frankfurt untuk menuntut balik konsorsium Bank Eropa karena menerima bunga dari kredit dengan ekstra 50 persen.
Skak-mat yang dilakukan oleh Rizal Ramli inipun membuat para bankir itu tak berkutik. Pihak konsorsium Bank Eropa itupun akhirnya meminta damai dan sepakat merestrukturisasi utang Garuda.
Karena itulah, tak salah kiranya apabila saat ini Rizal Ramli meminta Presiden Jokowi untuk dapat membenahi kondisi kinerja Garuda dengan lebih memperhatikan layanan dan tidak melakukan pemborosan. Ini dikarenakan Rizal Ramli tak ingin Garuda bangkrut lagi.
Sayangnya, peringatan Rizal Ramli yang menyarankan agar Garuda lebih fokus ke penerbangan domestik dan regional asia daripada penerbangan rute internasional atau long-haul, tidak digubris oleh Rini Soemarno sebagai Menteri BUMN.
Sepanjang 2016 Garuda Indonesia Grup, malah mendatangkan 17 unit pesawat baru dari hasil utang luar negeri. Salah satunya diarahkan untuk melayani penerbangan rute internasional atau long-haul.
Alhasil, laba bersih Garuda Indonesia terus mengalami kemerosotan dari tahun ke tahun selama periode Pemerintahan Jokowi.
Hal itu terjadi karena salah satunya adalah akibat tidak mengindahkan kritik, saran dan nasehat dari Rizal Ramli yang notabene pernah pasang badan membentengi Garuda di masa silam.
Dan apabila nasehat serta saran yang kerap disampaikan Rizal Ramli tersebut tetap tidak dipedulikan, maka bukan hal mustahil mimpi buruk Garuda Indonesia akan benar-benar terjadi.
Tak hanya Rizal Ramli yang memberi peringatan, pada Januari lalu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga sudah mengingatkan Direksi Garuda Indonesia untuk tidak main-main dengan rencana pengembangan armada pesawat.
BPK mengingatkan agar Garuda tidak lagi melakukan kesalahan dalam pembelian pesawat sehingga menghasilkan pemborosan sekitar 94 Juta Dolar AS per unit.
“Kritik keras Rizal Ramli saat ini terbukti menjadi kenyataan. Pasalnya, laba bersih perusahaan maskapai penerbangan plat merah itu terjun bebas,” kata pengamat Kebijakan Publik, Syafril Sjofyan.
Peringatan BPK ini muncul berdasarkan hasil audit laporan keuangan Garuda Indonesia dalam kurun waktu 2011-2015. Dan peran Rini Soemarno sebagai Menteri BUMN di balik anjloknya laba bersih dari tahun ke tahun sangat nampak selama pemerintahan Presiden Jokowi, dan Rini Soemarno harus bertanggung jawab terhadap kebijakan yang telah dibuatnya.
Dapat ditengok, headlines dari berbagai media cetak pada 1 Agustus 2016 melaporkan, bahwa semester I 2016 Garuda Indonesia mencatatkan kerugian Rp.821 Miliar. Seperti adegan ulangan, triwulan I tahun 2017 ini, kembali laporan keuangan maskapai Garuda merugi 99,1 Juta Dolar, ekuivalen 1 Miliar lebih.
Memang trend bisnis penerbangan di Indonesia pada triwulan I dan II masih memasuki low season. “Namun kerugian lebih dari 1 Miliar pada triwulan pertama, belum lagi nanti triwulan kedua, jika tidak membaik, maka kinerja maskapai pelat merah ini memasuki alarm kuning,” ujar Arista, Ahad (30/4/2017) saat menyikapi laporan keuangan Garuda Indonesia.
Arista pun membandingkan kondisi maskapai negara tetangga, misal Qantas Grup, tahun 2016 bisa meraup keuntungan 8,7 Triliun sebelum pajak. Demikian juga Cathay Pacific Hongkong dapat meraih untung besar di 2016. Jadi alasan avtur naik dan biaya internal tinggi sudah seperti kaset usang. “Dan yang mengenaskan, sejak IPO 2011, Garuda belum sekalipun membagi deviden,” ujar Arista lagi.
Banyak faktor internal Garuda Indonesia yang harus di benahi. Dan secara keseluruhan, organisasi Garuda Indonesia terlalu besar, sehingga tentunya memakan biaya yang tidak sedikit dan sangat rawan terjadinya inefisiensi. Ini nampak nyata dengan adanya direktorat baru dengan kehadiran direktur kargo.
Pertanyaannya, mengapa harus ada Direktur Kargo di saat Garuda sendiri sampai saat ini tidak sedang memiliki pesawat freighter khusus pengangkut barang? Selama Garuda tak punya pesawat jenis freighter, maka pendapatan yang diharapkan dari bisnis kargo ini bakalan tak bisa meraih kontribusi di atas 15 persen.
Terhadap permasalahan ini, di mata Zulfiar Ahmad yang juga selaku pengamat kebijakan publik, sudah saatnya Presiden Jokowi mengevaluasi para bawahannya terutama para menteri terkait yang kinerjanya tidak maksimal, yang malah membuat kinerja Presiden semakin lambat.
“Jadi sudah sewajarnya jika Rini Soemarno meminta maaf dan bersikap ksatria untuk mengundurkan diri sebagai Menteri BUMN. Karena kebijakan dan wewenangnya sudah tidak mampu lagi membawa institusi dan negara ini ke arah yang lebih baik. Dan ke depannya harus diisi dan dikelola secara profesional oleh orang profesional, bersih dan terbuka terhadap berbagai masukan,” kata Zulfikar.
Meski tak sedikit kalangan yang telah menyoroti kinerja buruk yang ditampilkan selama ini oleh Rini Soemarno selaku Menteri BUMN, namun anehnya sampai hari ini Presiden Jokowi nampaknya tak punya nyali untuk mencopot menteri seperti Rini Soemarno. Ada apa? Entahlah??
(Referensi terbitnews.com/DM1)