Kekalahan Ahok, Introspeksi Buat Presiden Jokowi

Bagikan dengan:

PADA Pilkada 2017 yang dilaksanakan secara serentak di berbagai daerah, tidak sedikit pasangan calon kepala daerah yang diusung oleh PDIP mengalami kekalahan, termasuk di antaranya Pilkada di Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Jogyakarta, di Pati Jawa Tengah, Kupang, Kendari (Sulawesi Tenggara), DKI Jakarta, dan lain sebagainya.

Dari data yang ada, hasil Pilkada serentak 2017 yang diselenggarakan di 101 daerah menunjukkan sekitar 45% kekalahan harus dialami oleh PDIP, dan hanya berada di posisi pemenang ketiga sebagai parpol pengusung.

Bahkan parahnya, pasangan calon di daerah Pati (Jawa Tengah) yang diusung PDIP kalah melawan “kotak kosong”. Pada Pilkada di Pati itu, memang hanya ada satu pasangan calon, yakni petahana, sehingga secara ketentuan KPUD setempat harus menyediakan kotak kosong sebagai “lawan” bagi pasangan calon dari PDIP tersebut.

Dan kekalahan pahit yang harus ditelan PDIP adalah gagalnya pasangan Ahok-Djarot di Pilkada DKI. Sehingga secara keseluruhan, kekalahan tersebut dapat menjadi barometer sekaligus gejala dan tanda-tanda bahwa PDIP kini telah ditinggalkan oleh Wong Cilik.

Kekalahan-kekalahan itu sebetulnya bisa dipastikan tidak akan terjadi jika saja rezim yang “dibina” oleh PDIP saat ini berjalan dengan baik, misalnya bisa menepati janji-janji kampanye Pilpres 2014, dan lain sebagainya.

Atau dengan kata lain, jika saja Pemerintahan Presiden Jokowi (besutan PDIP itu) sejak awal hingga pada Pilkada serentak kemarin itu, bisa benar-benar mempersembahkan kinerja yang tinggi buat rakyat (wong cilik) di bidang perekonomian bangsa, serta mampu menegakkan hukum dengan setegak-tegaknya, maka bisa dipastikan PDIP akan mampu mendulang kemenangan yang sangat besar di setiap pilkada.

Sayangnya, Presiden Jokowi yang tampilannya merakyat itu sepertinya lebih mendahulukan kepentingan segelintir kelompok konglomerat daripada rakyat yang melarat, yakni dengan membentuk tim ekonomi yang diisi dan ditangani oleh penganut neoliberalis yang “menghambakan” diri pada utang luar negeri dan kepada para kaum neokapitalis yang berhati neokolonialis.

Tengok saja, sejak awal berjalannya pemerintahan rezim ini, rakyat sudah “dihajar” habis-habisan dengan menaikkan sejumlah harga kebutuhan pokok. Mulai harga Bahan Bakar Minyak (BBM), tarif listrik, gas, biaya administrasi pajak STNK dan lain sebagainya semuanya dinaikkan.

Hingga kepada harga daging, beras, cabai, bawang putih, serta harga kebutuhan pokok lainnya pun kini sangat sulit dikendalikan dan diatasi oleh pemerintah.

Parahnya, dalam situasi ekonomi dengan harga-harga kebutuhan yang mencekik seperti itu, sejumlah menteri hanya bisa memberi jawaban yang justru membuat rakyat makin tersakiti. Misalnya, pada kenaikan harga beras, Menko Puan Maharani dengan entengnya melontarkan jawaban yang sudah pasti ditujukan kepada orang miskin, “makanya jangan makan banyak, sekali-kali diet…”

Begitupun dengan kenaikan harga cabai, Menteri Pertanian Amran, malah menuding rakyat terlalu cengeng hingga membuat pemerintah jadi bingung. “Tanamlah cabai di rumah. Tanam 10 pohon, nanti aku kasih bibit. Itu solusi permanen,” ucapnya.

Yang parah, pada kenaikan harga bawang putih yang terjadi saat ini, Menteri Perdagangan Enggartiasto, yang meski mengaku akan mengatur dan berupaya untuk menangani masalahnya, namun ia mengajak rakyat agar tak lagi mengonsumsi bawang putih. “Tak usah dimakan,” jawabnya singkat.

Terlepas apakah jawaban para menteri tersebut hanya sebatas bercanda atau tidak, yang jelas kenyataan menunjukkan bahwa dengan kenaikan-kenaikan harga kebutuhan pokok tersebut telah membuat hidup rakyat (wong cilik) makin tercekik. Sementara pemerintah hingga saat inipun belum bisa berbuat banyak untuk mengatasi masalah ekonomi tersebut.

Bahkan gilanya, pemerintah melalui Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan malah makin memberikan beban bagi rakyat, yakni dengan terus menambah utang luar negeri. Utang bertambah, tapi rakyat makin sulit. Ke mana uang-uang (utang) itu dihambur-hamburkan?

Katanya, itu dipakai untuk membangun berbagai infrastruktur. Tapi kalau sudah ada utang luar negeri yang menggunung, lalu mengapa dana setoran haji dari rakyat juga akan dimanfaatkan (dipakai) untuk membiayai pengerjaan infrastruktur?

Nampaknya, inilah salah satu bukti bahwa sesungguhnya pemerintahan Jokowi ini dijalankan dengan sangat malas: “Malas bekerja, malas berkreasi, malas berinovasi, malas mencari ide dan terobosan-teroosan yang out of the box”.

Tim ekonomi yang dikoordinir oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution yang didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani saat ini boleh dikata benar-benar gagal total karena hanya menggunakan cara-cara konvensional yang sangat miskin terobosan, dan hanya tahu beres saja dengan cara mengutang, pakai dana haji dan lain sebagainya. Sungguh miris dan sangat memprihatinkan!!! Mengapa?

Sebab, apakah negeri ini tak punya potensi dan kekayaan alam yang bisa digarap maksimal untuk dijadikan sumber pembiayaan pembangunan secara berkesinambungan? Katanya berjuang untuk wujudkan Trisakti? Tapi jika cara-cara seperti tersebut di atas yang dijalankan saat ini oleh Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan, maka dipastikan itu malah makin menjauh dari cita-cita Trisakti? Kecuali jika memang pemerintahan ini hanya menjadikan Trisakti sebagai topeng, maka kebingungan masyarakat terhadap pemerintah hari ini akan clear.

Namun apabila tidak demikian, maka tim ekonomi yang ada di dalam Kabinet Kerja saat ini sangat patut untuk segera ditinjau ulang, alias di-reshuffle.
Sebab, Menko Perekonomian bersama Menteri Keuangan dapat ditunjuk sebagai biang kegagalan yang dialami oleh pemeintahan saat ini. Tak hanya gagal mengamankan keinginan Presiden Jokowi yang menghendaki ekonomi negeri yang bisa meroket, tetapi juga gagal mengamankan citra dan nama baik PDIP, sehingga harus mengalami kekalahan Pilkada di banyak daerah.

Selain masalah perekonomian negeri yang kni nampak berantakan, masalah penanganan penegakan hukum juga saat ini sangat nampak berjalan “pincang”.

Dan masalah-masalah di kedua bidang inilah sesungguhnya yang membuat Presiden Jokowi dan pihak PDIP akhirnya harus menjadi “korban” kehilangan kepercayaan dari rakyat, yang dampaknya dapat dilihat dari hasil Pilkada serentak 2017 tersebut. Dan sebagai ukuran sentralnya ada pada kekalahan pasangan Ahok-Djarot. Mengapa?
Kalau PDIP pada Pilkada di daerah lain harus mengalami kekalahan, mungkin itu tak begitu jadi soal.

Tetapi apabila pasangan Ahok-Djarot yang akhirnya harus takluk pada Pilkada DKI sebagai ibukota negara, pun bahkan Ahok-Djarot kalah di TPS tempat Ibu Megawati memilih, maka ini sudah cukup membuktikan bahwa tak hanya PDIP yang sedang “terancam”, tetapi Presiden Jokowi juga harus serius untuk introspeksi diri dengan segera meningkatkan kinerja pemerintahannya, terutama membenahi bidang perekonomian dan juga hukum yang saat tak lagi bisa disembunyikan sebagai bidang yang sangat berantakan.

Mengapa kekalahan Ahok jadi ukuran sentral? Jawabnya sangat mudah ditebak, yakni selain karena Ahok adalah “teman mesra” Jokowi, Ahok juga boleh dikata adalah “anak emas” ibu Megawati Soekarnoputri.

Namun sekarang justru dengan kekalahan Ahok di Pilkada DKI tersebut, PDIP dan Presiden Jokowi harus segera introspeksi diri, yakni dengan cara memanfaatkan sisa masa kekuasaan ini dengan benar-benar membenahi bidang perekonomian dan juga bidang hukum.

(ams/DM1)

Penulis: Abdul Muis Syam (Pengamat independen, dan Presidium pada Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia/MKRI)–

Bagikan dengan:

Muis Syam

2,879 views

Next Post

KPK Kembali Bidik Megawati dalam Kasus BLBI, Jokowi “Pasang Badan”

Sab Apr 29 , 2017
DM1.CO.ID, JAKARTA: Setelah lama mengendap, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya membuka ulang kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Dan pada kasus ini, KPK kembali membidik Megawati sehingga memancing reaksi sejumlah pihak tertentu, tak terkecuali Jokowi.