Dari berita itu, pihak Gubernur Rusli Habibie melalui sejumlah kader Partai Golkar Provinsi Gorontalo pun melaporkan Bupati Boalemo, Darwis Moridu ke Bawaslu Provinsi Gorontalo dengan melampirkan link berita tersebut.
Pasalnya, Darwis Moridu diduga kuat telah melakukan pelanggaran Pemilu yang sangat jelas mengarah kepada ujaran kebencian, menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.
Dan dugaan pelanggaran itu dibuktikan dengan sebuah video yang telah viral di media sosial.
Dalam video tersebut, Darwis Moridu sedang menyampaikan pidato politik pada kampanye dialogis PDI-Perjuangan di Desa Buti, Kecamatan Mananggu, Kabupaten Boalemo, pada Ahad (3/2/2019).
Darwis dalam video itu sangat jelas melontarkan sejumlah statement yang membuat “telinga” Rusli Habibie dan para Kader Partai Golkar jadi “sobek”.
Lontaran statement Darwis itu di antaranya menyinggung seorang Caleg DPR-RI dari partai Golkar yang juga sebagai istri Rusli Habibie. Yakni, Rusli disebut telah menjual “istri” dengan bantuan.
“Pak Jokowi hanya dimanfaatkan untuk menjual istrinya (Gubernur Rusli). Kalau saya malu jika menjual istri saya begitu dengan bantuan,” lontar Darwis Moridu dalam video tersebut.
Yang dianggap sangat menyakiti kader Partai Golkar adalah statement Darwis Moridu yang menyebutkan, bahwa Partai Golkar tidak pro-rakyat.
Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan “keras dan tajam” yang dilontarkan oleh Darwis Moridu di hadapan peserta kampanye ketika itu.
Akibatnya, Darwis Moridu pun terpaksa kini harus berhadapan dengan hukum. Ia dijerat Pasal 521 junto Pasal 280 ayat 1 huruf c dan d Undang-undang Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Pemilihan Umum, dengan ancaman pidana 2 tahun penjara.
Menurut sejumlah pengamat hukum dan politik di daerah ini, Darwis Moridu sangat sulit untuk lolos dari jeratan hukum tersebut. Sebab, ada bukti kuat dan ada banyak saksi yang memberatkannya.
Bahkan prosesnya kini sudah memasuki babak baru, yakni telah memasuki tahap penuntutan.
Babak baru dari proses hukum Darwis Moridu ini terungkap dalam konferensi Pers yang digelar Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) Provinsi Gorontalo, pada Kamis (21/3/19).
“Setelah melalui proses penyidikan oleh penyidik Polda Gorontalo, sekarang perkara yang melibatkan tersangka DM sudah masuk tahap penuntutan,” ungkap Ketua Bawaslu Provinsi Gorontalo, Jaharudin Umar, dalam konferensi Pers tersebut.
Pada konferensi Pers itu kembali ditegaskan, bahwa perbuatan Darwis Moridu terjerat Pasal 521 junto Pasal 280 ayat 1 huruf c dan d Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
Bunyi Pasal 521: “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan pelaksanaan Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.OOO.OOO,0O (dua puluh empat juta rupiah)“.
Dan bunyi Pasal 280 ayat 1 huruf c dan d: “Pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang: c. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain; d. menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.”
Pada konferensi Pers itu, Jaharudin mengemukakan, bahwa karena diduga kuat DM melakukan ujaran kebencian ketika menghadiri kampanye salah satu peserta Pemilu, di Kabupaten Boalemo, maka ancaman pidananya dua tahun penjara.
Sebelumnya, Bawaslu Provinsi Gorontalo dalam suratnya nomor: 190/K.GO/SET/HK.01.00/II/2019, menyebutkan masalah tersebut telah diteruskan kepada Polda Gorontalo untuk ditindak-lanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dikarenakan perbuatan terlapor Darwis Moridu selaku juru kampanye memenuhi unsur-unsur tindak-pidana Pemilu.
“Berdasarkan laporan tersebut kami pun melakukan penelitian, hasilnya keterpenuhan syarat formil dan materil,” ujar Jaharudin. (kab/dm1)
DM1.CO.ID, GORONTALO: Dewan Pers sejauh ini tidak pernah memberikan penekanan kepada instansi, seperti Pemerintah Daerah (Pemda) untuk tidak menerima kerjasama perusahaan Pers yang belum terverifikasi di Dewan Pers.