PERSpektif
PARA pimpinan parpol kini telah berkoalisi dan memutuskan pasangan calon masing-masing untuk dimajukan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Dan dari hasil “perkawinan” sesama parpol tersebut, terdapat tiga pasangan calon gubernur (cagub) yang telah “dilahirkan” dari perut (kandungan) parpol pula, bukan dari perut rakyat, apalagi rakyat miskin.
Adanya jumlah suara parpol yang berbentuk kursi di dewan dari hasil Pemilu, sesungguhnya tak bisa dijadikan dasar atau syarat buat parpol untuk seenaknya memilih pasangan calon (paslon) kepala daerah.
Sebab, rakyat pada saat Pemilu hanya memilih anggota dewan agar dapat menjalankan fungsinya dan menggunakan hak-haknya. Dan bukan untuk seenak perutnya memilih pasangan calon kepala daerah dengan “menjual” nama rakyat.
Sebab, jika mau jujur memandang atas nama rakyat, maka siapapun yang mendapat banyak aspirasi dari rakyat secara nyata dan terbuka, maka ia bisa dan berhak untuk dicalonkan.
Namun apabila tetap mengandalkan dan berpatokan dari kursi parpol di dewan sebagai syarat untuk memajukan pasangan calon, maka di situlah “permainan” dapat dibolak-balik, yang cocok menurut kehendak rakyat dari bawah bisa menjadi tidak cocok menurut selera parpol. Dan peribahasa “Ada uang abang disayang. Tak ada uang, abang ditendang” sangat bisa terjadi dalam memunculkan kata “cocok”.
Dan itu pula yang terjadi secara terang benderang dalam Pilkada DKI Jakarta, di mana aspirasi rakyat dari bawah dapat disumbat oleh keegoisan dan keserakahan parpol demi menyelamatkan kepentingan perseorangan atau kelompok.
Akibatnya,sosok yang mendapat banyak aspirasi murni dari rakyat tak bisa berkutik. Sebaliknya, meski sama sekali tak mendapat aspirasi dari rakyat justru tiba-tiba mampu dengan mudahnya mendapat tiket sebagai pasangan calon kepala daerah. Dan tentu saja, ini dapat dipandang sebagai salah satu tindakan “kriminal politik” selain money-politic.