Hanya Sebatas Memfasilitasi, Dewan Pers Akui Organisasi Wartawan Penyusun Peraturan Pers

Bagikan dengan:

DM1.CO.ID, JAKARTA: Dewan Pers akhirnya mengakui swa regulasi atau self regulasi adalah azas yang memberikan kebebasan kepada organisasi Pers untuk menyusun peraturan di bidang Pers. Dewan Pers hanya melaksanakan memfasilitasi organisasi Pers dalam menyusun peraturan di bidang Pers.

Hal itu disampaikan secara tegas Ketua Dewan Pers (DP), Muhammad Nuh, yang dibacakan tiga orang kuasa hukum DP secara bergantian pada sidang  uji materi Undang-Undang Pers, di Mahkamah Konstitusi, Selasa (9/11/2021).

Pernyataan itu disampaikan Mohamad Nuh selaku pihak terkait dalam perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 tentang Pengujian UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap UUD 1945.

Meski telah mengakui bahwa DP hanya sebatas memfasilitasi, dan untuk penyusunan peraturan Pers merupakan domain organisasi Pers, namun kuasa hukum DP tampaknya menolak jika DP disebut memonopoli peraturan di bidang Pers. “Bahwa tafsir yang pada pokoknya Dewan Pers memonopoli segala peraturan Pers sebagai kesesatan pikir dari para pemohon,” tegasnya.

Pihak DP menyatakan, secara khusus ditetapkannya Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan yang didalihkan pemohon melanggar UU Pers dan Undang-Undang Ketenagakerjaan, tidak berdasar. Karena menurutnya, pihak terkait diberi kewenangan oleh UU Pers untuk meningkatkan kualitas Pers nasional. 

“Secara demikian peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan diterbitkan sebagai wujud nyata dari fungsi Dewan Pers pada pasal 15 Ayat (2) huruf f,” ungkapnya.

Ditambahkannya, apabila mengacu pada putusan Pengadilan Tinggi DKI sudah tidak relevan, karena mengenai Uji Kompetensi di BNSP sudah ada putusannya, bahwa Pelaksanaan UKW dengan Standar Kompetensi Wartawan dinyatakan sah oleh putusan di PT DKI.

Menanggapi keterangan tertulis pihak terkait DP dalam sidang kali ini, Hans Kawengian selaku Pemohon mengaku puas dan senang karena DP sendiri sudah mengakui  di depan Mahkamah Konstitusi dan masyarakat Indonesia melalui tayangan live chanel youtube MK RI, bahwa kewenangan membuat peraturan Pers itu ada pada organisasi Pers. 

Kawengian yang menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah penyusun peraturan Pers tentang standar organsiasi wartawan menegaskan, Peraturan DP tentang Standar Organisasi Wartawan yang selama ini diterapkan adalah hanya berdasarkan keputusan sepihak oleh DP. Peraturan DP yang ada selama ini, menurutnya, tidak sah karena itu domainnya organisasi Pers.

“Sebab hasil keputusan bersama organisasi-organisasi Pers pada tahun 2006 yang disebut Dewan Pers sebagai konsensus, tidak ada satupun dari kami yang memberi kewenangan kepada Dewan Pers untuk merubah keputusan tersebut menjadi Peraturan Dewan Pers,” ungkap Hans Kawengian, selaku salah satu peserta yang ikut menandatangani kesepakatan membuat peraturan Pers tentang Standar Organisasi Wartawan dan kesepakatan memberi Penguatan Dewan Pers.

Hans Kawengian yang kini menjabat Ketua Umum Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI) menegaskan, seharusnya kesepakatan organisasi-organisasi Pers tersebut dijadikan peraturan di masing-masing organisasi Pers tentang Standar Oganisasi Wartawan.

“Celakanya, peraturan yang kita buat itu dijadikan peraturan Dewan Pers secara sepihak pada tahun 2008, lalu dia (DP) secara sepihak pula menyatakan puluhan organisasi-organisasi Pers itu bukan konstituen Dewan Pers karena tidak memenuhi standar organisasi wartawan tesebut,” ujarnya.

“Sehingga sejak 2008 sampai sekarang kami organisasi Pers berbadan hukum yang diakui pemerintah tidak lagi dilibatkan, atau hak konstitusi memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers telah dirampas dan dihilangkan secara sepihak oleh  Dewan Pers,” tutur Hans, selaku salah satu pemohon dalam uji materi UU Pers di MK ini.

Di tempat terpisah, Hentje Mandagi selaku pemohon lainnya mengatakan, dalam sidang di MK sudah jelas dan terang benderang Dewan Pers menyatakan, atas dasar konsensus itu diterjemahkan keputusan bersama organisasi-organisasi Pers tersebut menjadi Peraturan Dewan Pers.

“Ini yang kami uji materi di MK mengenai kalimat memfasiltasi organisasi-organisasi Pers dalam menyusun peraturan di bidang Pers oleh masing-masing organisasi Pers, agar tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Mandagi di Jakarta.

Mandagi juga meluruskan keterangan Dewan Pers terkait peraturan DP tentang Standar Kompetensi Wartawan melanggar UU Pers dan UU Ketenagakerjaan adalah tidak relevan karena sudah ada putusan Pengadilan Tinggi DKI yang menyatakan UKW di Dewan Pers sah dan tidak perlu melalui BNSP.

Menurut Mandagi, keterangan DP tersebut adalah tidak benar. Karena faktanya, kata Mandagi, putusan Pengadilan Tinggi DKI justru Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan peraturan Dewan Pers dan pelaksanaan UKW adalah sah dan merupakan bagian dari perundang-undangan telah dibatalkan oleh putusan Pengadilan Tinggi DKI.

“Putusan PN yang menganggap peraturan Dewan Pers itu sah sudah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi DKI, meski permohonan kami untuk membatalkan peraturan Dewan Pers ditolak kerena dianggap itu kewenangan Mahkamah Agung,” ujar Mandagi.

Menurutnya, putusan di PT itu tidak dikasasi oleh pemohon karena syarat pembatalan suatu peraturan di MA, peraturan tersebut yang diuji harus masuk dalam lembar negara dan dianggap sebagai peraturan perundang-undangan.

“Nah peratuan Dewan Pers bukan peraturan perundangan dan tidak ada dalam lembar negara. Jadi tidak mengikat, sehingga kami menganggap tidak perlu kasasi,” ungkap Mandagi yang juga sebagai Ketua Dewan Pers Indonesia (DPI) dan Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI).

Sementara itu, pemohon lainnya, Soegiharto Santoso (atau biasa disapa Hoky) yang ikut hadir dalam sidang kali ini, sempat menyapa Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh. Bahkan Hoky sempat pula menunjukkan Cover Majalahnya yang bergambar Mohammad Nuh saat menjabat Menkominfo.

Hoky yang berprofesi sebagai wartawan sejak tahun 2001, mengaku heran dengan pernyataan Dewan Pers yang meragukan legal standing pihaknya selaku pemohon.

Menurut Hoky, bahwa Dewan Pers menyatakan pemohon merupakan pengurus organisasi Pers dan individu yang jelas keberadaannya tidak menundukkan diri pada hukum tersebut, yaitu peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan atau tidak pernah ikut UKW di Dewan Pers.

“Kami justru tidak mau tunduk pada ketentuan DP tersebut karena praktek UKW di Dewan Pers illegal dan tidak memiliki dasar hukum,” ungkap Hoky. Dia menambahkan, pihaknya kini telah mendirikan Lembaga Sertifikasi Profesi Pers Indonesia melalui  Badan Nasional Sertifikasi Profesi berdasarkan ketentuan UU Ketenagakerjaan.

“Kami memiliki tenaga asesor atau penguji kompetensi yang dilatih secara khusus oleh BNSP, dan Skema kompetensi sudah disahkan oleh BNSP. Selain itu standar kompetensi yang kami gunakan berbasis Kerangka Kualifikasi Kerja Nasional Indonesia yang sudah diregistrasi di Kemenaker,” bebernya.

Hoky juga menambahkan, Standar Kompetensi Wartawan yang digunakan Dewan Pers melakukan UKW tidak diakui negara dan tidak sah. “Kami memilih menentukan sikap untuk membentuk Dewan Pers Indonesia (DPI) agar praktek tidak sah dan melanggar Undang-Undang di Dewan Pers tidak terjadi di Dewan Pers Indonesia. Dan peraturan pers benar-benar diserahkan kewenangannya kepada masing-masing organisasi pers,” pungkasnya.

Dalam sidang ini juga MK telah mengabulkan pemohonan PWI dan LBH Pers untuk menjadi pihak terkait, selanjutnya sidang perkara ini akan dilaksanakan pada 8 Desember 2021. Turut hadir dalam sidang ini kuasa hukum pemohon Vincent Suriadinata, SH, MH dan Christo Laurenz Sanaki, SH. (dms-rls/dm1)

Bagikan dengan:

Muis Syam

429 views

Next Post

Pilwako Gorontalo 2024: Risman Taha Sosok yang Amat “Ditakuti” oleh Lawan

Sab Nov 13 , 2021
DM1.CO.ID, GORONTALO: Tak hanya wacana tentang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang mulai sibuk diperbincangkan di mana-mana, percakapan seputar Pemilihan Wali Kota (Pilwako) Gorontalo juga mulai disuarakan oleh berbagai kalangan.