Oleh: Abdul Muis Syam (AMS)
INI bukan cerita dari negeri dongeng. Ini adalah fakta yang sangat terang-benderang, yang menunjukkan betapa kini enteng dan gampangnya diri Pribumi Indonesia (terutama Muslim) dihina di era rezim saat ini.
Mulai dari Ahok, yang begitu sangat temperamen dan arogannya memamerkan diri sebagai penguasa ibukota, dengan seenak perutnya memuncratkan caci-maki dan kata-kata kotor kepada siapa saja yang berlawanan dengan dirinya, khususnya pribumi.
Bukan cuma itu, publik (terutama pribumi) juga merasakan betapa Ahok sangat leluasa melakukan apa saja menurut seleranya, seolah ada kekuasaan dan kekuatan besar yang telah sepakat siap melindungi Ahok.
Dan kekuatan besar itu di mata pribumi adalah sangat bisa ditebak, yakni Presiden Jokowi dan para naga konglomerat taipan.
Dan mereka inilah yang kini mengendalikan negeri ini, termasuk membuat Ahok jadi kebal hukum.
Ya, Ahok saat ini benar-benar dirasa “sakti” dan amat kebal hukum. KPK, Polri, Kejaksaan, sepertinya takluk dan melempem di hadapan Ahok. Tidak percaya?
Coba tengoklah, sejumlah kasus korupsi yang terindikasi kuat melibatkan Ahok, apakah ada satu saja yang diproses secara serius dan mendalam untuk penuntasannya? Kalaupun ada, nama Ahok bisa dipastikan jadi aman.
Ahok sebagai Gubernur DKI juga dinilai brutal terhadap warga pribumi di Jakarta, yakni dengan seenaknya menggusur rumah warga tanpa diikuti ganti-rugi dan jaminan yang layak.
Juga dengan masalah reklamasi Teluk Jakarta yang ngotot dipejuangkan Ahok, yang meski mendapat perlawanan hebat dari rakyat dan dibantu dengan penolakan sengit dari Rizal Ramli selaku Menko Kemaritiman kala itu, nyatanya Presiden Jokowi lebih memilih “kehilangan” Rizal Ramli daripada harus kehilangan Ahok.
Kesaktian Ahok tak hanya sampai di situ, dalam kasus dugaan penistaan agama, Ahok yang telah berstatus terdakwa, dan meski telah didemo oleh jutaan orang (terutama Muslim) dalam berbagai aksi-damai, nyatanya Ahok belum juga bisa ditaklukkan.
Bahkan dalam sebuah persidangannya, Ahok tak tanggung-tanggung masih sempat menghardik dan mengancam ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Yang sangat disesalkan, dalam situasi seperti itu, Presiden Jokowi malah semakin memamerkan kemesraannya terhadap Ahok dengan sempatnya duduk berdua di atas mobil dinas kenegaraan RI-1.
Akibat dari “kemesraan” dan keberpihakan yang dipertontonkan oleh Jokowi inilah kemudian membuat sejumlah pendukung Ahok pun makin menjadi-jadi, dan ikut merasa bisa berbuat apa saja, termasuk memandang remeh dan rendah pribumi (khususnya Muslim), baik dengan cara menghina (mencaci-maki) hingga main ancam.
Masih ingat dengan Iwan Bopeng yang sempat melontarkan ancaman kepada warga dengan mengatakan, bahwa tentara saja bisa ia penggal kepalanya?
Juga dengan komedian Ernest yang kerap melontarkan nada berbau penghinaan kepada umat Muslim.
Dan sungguh, sejak Ahok tampil berani menista alQuran dan kerap bermulut kasar itu, membuat tatanan kebhinnekaan yang selama ini terjaga dengan baik tiba-tiba menjadi rapuh dan terkoyak. Seolah-olah Ahok sengaja ingin menggiring perpecahan, dan bahkan “peperangan” Kristen Vs Islam dan Pribumi Vs Non-pribumi.
Silakan ditengok di media-media sosial, sejak Ahok tampil ikut berkuasa melalui jabatannya, tak terhitung lagi berapa banyak pihak (akun-akun di Facebook ataupun di Twitter) yang telah berani terang-terangan menghina pribumi (juga Islam).
Ada banyak yang meng-upload foto sedang menginjak-injak alQuran, membuat meme gambar Kabah yang dijadikan seolah toilet dan menyebutnya sebagai kandang babi. Bahkan ada yang menuliskan status penghinaan terhadap Nabi Muhammad, serta lain sebagainya.
Tak puas di media sosial, sejumlah pihak yang diduga kuat pendukung dan pengikut ideologi Ahok, bahkan telah berani terang-terangan memamekan keangkuhannya dan melampiaskan kebenciannya terhadap pribumi (juga Islam) di dunia nyata.
Contoh yang hangat adalah lontaran penghinaan dari Steven Hadisurya Sulityo (26) terhadap Dr. Muhammad Zainul Majdi.
Steven adalah seorang mahasiswa keturunan Tionghoa; beragama Katholik; lahir di Jakarta; alamat di Taman Kedoya Baru Blok F2/15, Kelurahan Kedoya Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk-Jakarta.
Sedangkan Dr. Muhammad Zainul Majdi adalah ulama Hafidz alQuran dan merupakan cucu pendiri Nahdlatul Wathan, yang kini juga menjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB).
Berikut ini kronologis penghinaan Steven terhadap Dr. Muhammad Zainul Majdi yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) itu:
Pada Ahad (9/4/2017), sekitar pukul 14.30 waktu setempat, TGB bersama istri menuju counter Batik Air di Bandara Changi Singapore untuk ikut mengantri bersama penumpang lainnya dengan tujuan Jakarta.
Ketika itu, TGB keluar sementara dari antrian untuk keperluan menanyakan jadwal penerbangan TGB keluar kepada petugas lain, sedangkan istri TGB Hj Erica tetap dalam antrian.
Usai bertanya kepada petugas, TGB kembali ke barisan antrian di samping istri. Namun tiba-tiba Steven marah-marah karena mengira TGB telah menyerobot antrian.
Walau sudah diberi penjelasan, Steven tetap membentak dan memaki-maki, bahkan melontarkan penghinaan dengan kata-kata rasis di kepadaTGB, “dasar Indo, dasar Indonesia, dasar pribumi tiko.”
Karena terus diumpat dengan kata-kata kasar bahkan dengan hinaan yang rasis seperti itu, yang kemudian diketahui TGB bahwa yang dimaksud “tiko” itu adalah singkatan dari tikus kotor bagi pribumi Indonesia, maka TGB pun akhirnya melaporkan Steven ke polisi setelah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta.
“Mereka pikir itu bukan istri saya awalnya. Malu mungkin, lalu mengumpat-umpat. Kami mengalah pindah antrian, (tapi) masih terus diumpat. Saya adukan ke polisi setiba di Jakarta,” ujar TGB kepada awak media.
Di Polres bandara pun, kata TGB, Steven masih mengintimidasi petugas. “(Steven) Teriak-teriak di dalam kantor (Polres) sampai kemudian diusir keluar oleh seorang petugas. Setelah tahu (Gubernur) pun tak berkurang arogansinya. Saya membayangkan bagaimana mengenaskannya saudara-saudara kita yang kebetulan bekerja pada mereka,” kata TGB.
Namun di Polres Bandara Soekarno-Hatta, Steven yang diketahui sebagai anak seorang pengusaha itupun akhirnya membuat surat pernyataan maaf kepada TGB atas penghinaan yang telah ia lakukan. Dalam surat bermaterai dan ditandatangani Steven itu, diakui telah melayangkan kata-kata kasar kepada TGB.
TGB akhirnya memaafkan Steven dan mempertimbangkan untuk tidak memproses hukum penghinaan bernada rasis yang telah dilakukan steven kepadanya.
“Saya berharap peristiwa yang menimpa saya dan istri bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, agar kita semua tulus dalam berbangsa,” kata TGB selepas menunaikan sholat Jumat di Masjid Islamic Centre Mataram, NTB, Jumat (14/4/2017).
Namun meski begitu, masyarakat NTB menilai, bahwa permintaan maaf memang diterima tetapi proses hukum harus tetap dijalankan. Dan untuk itu, warga Nahdatul Wathan (NW) sudah mengeluarkan pernyataan sikap yang meminta polisi agar segera melakukanbproses secara hukum penghinaan yang bernada SARA yang dilakukan Steven.
Di belakangan diketahui, bahwa sebelum Gubernur NTB, “pengalaman tiko” ternyata lebih dulu sempat dialami oleh seorang hakim Mahkamah Agung, Zakaria Ansori.
Berikut kisah Zakaria Ansori yang dituankannya ke dalam tulisan di Facebook miliknya, dengan judul “Saya adalah ‘TIKO’ Itu!” :
“Saat pulang dari India menuju Jakarta, saya transit di Singapore. Dari Singapore ke Jakarta saya naik SQ dan dapat seat di bagian belakang. Dalam Pesawat SQ Boeng 777 yang berbadan besar ini memang hanya diisi sedikit penumpang.
Di depan kursi saya, duduk puluhan pemuda dari etnis tertentu (saya sebut saja etnis tionghoa). Dalam penerbangan tersebut boleh dikata hanya diisi oleh saya dan para pemuda tersebut di kursi bagian belakang. Selama perjalanan saya mendengar gelak canda dan tertawaan mereka. Awalnya saya tidak terlalu peduli, dikarenakan rasa ngantuk yang mendera sebab saat perjalanan dari Mumbay ke Singapore saya tidak bisa tidur nyenyak.
Tapi saat akan tidur, telinga saya terusik karena pembicaraan mereka selalu menyebut-nyebut kata “indon tiko” atau “pribumi tiko”. Kata-kata yang membuat saya berpikir apa artinya ‘tiko’, yang saya tahu hanyalah kata “Indon” sebuah kata yang berarti orang indonesia namun dalam arti yang merendahkan (penghinaan).
Kalimat-kalimat gurauan mereka memang terdengar sangat melecehkan dan merendahkan bangsa Indonesia dengan ungkapan-ungkapan “indon tiko” atau “pribumi tiko” dan bahasa kebun binatang lainnya.
Sekarang saya baru paham bahwa tiko ada dua arti yaitu “tikus kotor” atau “(ti = babi dan ko = anjing) setelah membaca berita pelecehan yang dialami Gubernur NTB yang dilakukan oleh WNI etnis tionghoa.
Masya Allah, ternyata benar-benar rasis sekali orang-orang itu ya. Mereka hidup dan beranak pinak di Indonesia tapi melecehkan bangsa sendiri. Mereka sebut orang Indonesia dengan julukan “indon tiko” “pribumi tiko” tanpa ada rasa bahwa mereka juga adalah orang atau bangsa Indonesia.
Saya termasuk orang yg tidak setuju dengan istilah pribumi dan non pribumi, tapi ternyata memang mereka sendiri pun tidak merasa NKRI sebagai negeri/bangsa mereka sendiri.
Jadi teringat pernyataan seorang konglomerat yang termasuk 10 orang terkaya di Indonesia yang mengatakan baginya Indonesia hanyalah ayah angkat, sedang RRC adalah ayah kandungnya.
Pertanyaannya, siapa yang rasis di sini?”
Dari peristiwa dan pengalaman seperti yang dialami TGB dan Zakaria Ansori itu, membuat publik nampaknya akan semakin dapat menebak, bahwa rezim saat ini telah bersekongkol dengan Ahok Cs untuk menguasai negeri ini dengan cara “menaklukkan” pribumi (terutama Muslim).
Dan jika persekongkolan itu memang benar, maka berarti saat ini Pribumi sedang berada di Ujung Tanduk “Banteng” dan di ujung lidah “naga”.
Namun apabila hal ini keliru, maka rezim saat ini harus mampu segera menyumbat dan menghentikan arogansi orang-orang seperti Ahok yang selama ini telah banyak menyakiti hati pribumi, khususnya Muslim.
Sebab, selama ini arogansi seperti itulah yang justru jadi pemicu terpecah-belahnya kebhinnekaan yang telah lama terpelihara di negeri ini.
——
—Penulis adalah pengamat independen dan aktivis penggerak kedaulatan rakyat—
(AMS/DM1)