DM1.CO.ID, EDITORIAL: Seduhan kopi panas yang telah mendingin di meja-meja pengunjung di sejumlah warung kopi (Warkop) se-Provinsi Gorontalo, tiba-tiba kembali terasa hangat.
Bahkan racikan pahit dan manis kopi pesanan masing-masing, seolah saling beradu di ujung lidah para pengunjung ketika kembali membahas kasus dugaan korupsi GORR (Gorontalo Outer Ring Road).
Diskusi lepas di sejumlah kedai kopi, seperti di Warkop Dino, Amal, Ibonk, Aceh, Pinogu, dan Coffee Loka itu, bisa menjadi sangat menarik dan memunculkan perdebatan kecil namun sengit, lantaran Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo yang meski secara maraton telah memeriksa ribuan saksi, namun dinilai hanya “berani” menyeret satu tersangka dari kalangan birokrat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Gorontalo.
Padahal, proses pembebasan atau pengadaan tanah proyek GORR itu dipastikan terlaksana secara terstruktur, sistematis dan masif dengan melibatkan sejumlah elit di lingkaran level atas Pemprov Gorontalo.
Namun aneh bin ajaib, giliran terjadi temuan penyelewengan dari proyek tersebut, hanya terdapat 1 orang tersangka yang “harus” diposisikan seolah-olah sebagai sosok yang paling bertanggung-jawab, –ibarat sebuah bus angkutan penumpang yang menabrak seseorang, kondekturnya yang harus menjadi tersangka, sementara sopir hanya tetap bebas sebagai saksi. Aneh, kan?
Analogi seperti itulah salah satunya yang tergambar saat ini di benak banyak pihak dalam melihat kasus GORR.
Artinya, publik saat ini sangat merasa tidak percaya, jika mega-proyek yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp.43,3 Miliar itu hanya menyeret Asri Wahyuni Banteng (AWB) selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai satu-satunya sosok birokrat yang harus menanggung sendiri semua beban hukumnya. Ke mana Gubernur, Wakil Gubernur, Sekdaprov, Asisten I, dan Biro Hukum Setda Provinsi Gorontalo “bersembunyi”?
Lima hari yang lalu, atau pada Jumat (15 Januari 2021), Euro News menurunkan berita, bahwa Perdana Menteri Belanda (Mark Rutte) bersama seluruh anggota kabinetnya, terpaksa harus mengundurkan diri karena telah mengaku salah mengambil keputusan (kebijakan) terkait subsidi perawatan anak.
Dan kondisi “pertanggung-jawaban kolegial kolektif” yang diperlihatkan di negeri kincir angin itu tidak terjadi di Indonesia, khususnya di Provinsi Gorontalo terkait kasus GORR tersebut.
Meski begitu, AWB yang kini sebagai terdakwa itu saat ini ramai menjadi perbincangan publik, yang dikabarkan pernah mencurahkan isi hatinya (curhat) di hadapan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), terkait perlakuan pihak Kejati sejak diperiksa pada 2016 hingga ditetapkan sebagai tersangka pada Juni 2019 yang lalu.
Dalam curhatnya yang kini diketahui oleh publik itu, AWB seolah menumpahkan kekecewaan dan kesedihannya lantaran setiap dilakukan pemeriksaan terhadap dirinya tak jarang mendapat tekanan dari pihak Kejati Gorontalo.
AWB dengan nada menahan kesedihan dalam curhatnya itu mengaku, bahwa ia merasakan adanya pemaksaan agar mengakui perbuatan yang tidak ia lakukan.
Perlakuan pihak Kejati seperti itu, membuat AWB pun merasa ada sejumlah oknum yang sangat terkesan sengaja dilindungi agar tidak turut terseret dalam kasus GORR ini.
Menurut AWB, pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) bahwa sangat terkesan tidak punya keberanian untuk ikut menyeret oknum-oknum lain yang juga patut dijadikan tersangka.
Mengonfirmasi “perilaku tak adil” pihak Kejati seperti yang dibeberkan AWB, Firdaus Dewilmar sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Gorontalo kala itu, hingga tulisan ini diturunkan belum memberikan tanggapan dari pertanyaan yang diajukan redaksi DM1 via percakapan WhatsApp yang telah bercentang dua biru, pada Selasa (19/1/2021).
Meski begitu, Mohammad Kasad selaku Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Gorontalo membantah, bahwa pihak Kejati setiap saat melakukan pemeriksaan terhadap seluruh saksi, termasuk AWB kala itu didahului dengan pertanyaan, “apakah saudara, bapak/ibu saat ini dalam keadaan sadar, sehat dan tanpa ada paksaan memberikan keterangan? Dan saat itu AWB menjawab iya sehat dan sadar tanpa ada paksaaan.”
Jadi, Mohammad Kasad merasa sangat lucu jika AWB dalam persidangan mengaku mendapat perlakuan yang tidak adil dan bahkan tekanan dari pihak Kejati. “Ya itu kan versi dari yang bersangkutan, nanti dilihat aja faktanya dalam proses persidangan,” jelas Mohammad Kasad, kepada redaksi DM1, Selasa (19/1/2021).
Terkait penetapan 4 tersangka termasuk dirinya, AWB juga merasa ada keanehan. Yakni, yang diproses secara serius hingga ke meja-hijau (di Pengadilan) hanya 3 orang, sementara 1 tersangka lainnya masih kabar-kabur, yakni GTW sebagai Kepala BPN Provinsi Gorontalo yang kala itu sekaligus bertindak sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah GORR.
“Kenapa hanya saya saja yang dijadikan tersangka dari unsur pemerintah Provinsi Gorontalo, di mana orang-orang yang juga turut melakukan tahapan-tahapan pembebasan lahan dan pembayaran ganti rugi, kenapa semua dilimpahkan kepada saya,” demikian curhatan AWB seraya menahan tangis, dilansir RGOL, pada Rabu (13/1/2021).
AWB membeberkan, bahwa dalam proses pembebasan lahan GORR dirinya sudah menjalankan kewenang sesuai aturan dan petunjuk maupun perintah pimpinan secara berjenjang.
AWB juga mengaku, bahwa ia pun mempertanggung-jawabkan pelaksanaan secara berjenjang mulai dari Gubernur Rusli Habibie; Wakil Gubernur Idris Rahim; Sekdaprov Winarni Monoarfa; Asisten I Drs. Anis Naki, dan Nurlan Darise.
Sebelumnya, pada edisi 9 Januari 2021, Majalah Tempo juga dalam versi online telah menurunkan tulisan: “Transaksi Lancung Proyek Belah Gunung”.—(red: Lancung adalah palsu, tidak jujur, curang).
Dalam uraian Majalah Tempo tersebut bahkan dengan tegas menuliskan, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie terseret perkara korupsi pembangunan jalan lingkar luar Gorontalo yang diduga merugikan negara Rp.43,3 Miliar.
Mengukur dugaan keterlibatan Rusli Habibie, Majalah Tempo mengungkapkan beberapa dokumen yang menunjukkan adanya setoran tunai jelang periode awal pelaksanaan proyek GORR. Dokumen itu sekaligus membeberkan sejumlah transaksi berlapis yang dinilai mencurigakan di rekening Rusli Habibie.
Dengan adanya pengungkapan curhat yang diekspos di RGOL dan juga ulasan investigasi dari Majalah Tempo, membuat banyak pihak dari berbagai kalangan pun mendesak pihak Kejati agar tidak tebang pilih dalam menetapkan tersangka, termasuk segera menyeret Gubernur Gorontalo Rusli Habibie sebagai pihak yang paling bertanggung-jawab terhadap kerugian negara Rp.43,3 Miliar tersebut.
Sejumlah pihak pun menghubungkan jargon yang selama ini diusung oleh Pemprov Gorontalo, yakni NKRI (Nyata Karya Rusli-Idris), yang kini dipandang terasa sangat tidak sesuai dengan kondisi riil sekarang yang faktanya boleh dikata bertolak belakang dan justru hanya menimbulkan pertanyaan besar, bahwa jelang usai dua periode ini karya hebat dan nyata seperti apa yang telah dilakukan Pemprov yang berjargon NKRI?
Apakah GORR yang hari ini bermasalah motif korupsi itu yang disebut karya nyata? Jangan-jangan hari ini jargon NKRI itu justru akan berubah menjadi “Nyata Korupsi Rusli-Idris?” Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa di benak sebagian besar publik hari ini terlukis bayangan wajah Rusli Habibie sebagai sosok yang sangat patut disangka sebagai “aktor utama” munculnya kasus dugaan korupsi GORR.
Dan hal ini tak bisa dianggap sepele oleh pihak Kejati Gorontalo. Sebab MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) saat ini dikabarkan telah memastikan akan mengawal dan membawa kasus GORR ke Kejaksaan Agung atau ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga tuntas, yakni apabila pihak Kejati tidak juga mengikuti rekomendasi KPK untuk menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus dugaan korupsi terbesar sepanjang sejarah pemerintahan di Provinsi Gorontalo. (red-dm1)
DM1.CO.ID, KOLAKA TIMUR: Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kolaka Timur (Koltim) secara sah menetapkan pasangan calon Samsul Bahri Madjid-Andi Merya Nur, sebagai pemenang dalam perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.