Oleh: Mawan Pakaya*
DM1.CO.ID, OPINI: Sejak awal sudah saya katakan, perihal Pemda Boalemo selalu menarik untuk dibuli. Lebih-lebih ketika bupatinya, Darwis Moridu, ditetapkan sebagai terdakwa pada kasus penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa korban.
Dalam proses persidangannya, banyak diwarnai gelombang aksi dengan satu tuntutan atau desakan dari berbagai kalangan ormas maupun aktivis. “Turunkan Darwis Moridu dari Jabatan Bupati Boalemo. Adili Darwis Moridu dengan Seadil-adilnya”. Demikian kalimat-kalimat yang terpampang pada poster yang dibentangkan oleh massa aksi ketika mengiringi proses persidangan terdakwa Darwis Moridu.
Jika boleh saya berterus terang, dari sekian banyak pejabat atau bupati, maka yang paling menarik perhatian sekaligus menyita pikiran khalayak ramai, adalah hanya sosok Darwis Moridu.
Terlepas dari kebijakan-kebijakannya yang kontroversial; copot sana, copot sini; mutasi sana, mutasi sini. Maka kali ini masyarakat Gorontalo, khususnya di Kabupaten Boalemo yang boleh ditebak saat ini sedang menanti giliran Darwis Moridu yang segera “dicopot” melalui babak akhir di persidangan perkara penganiayaan itu.
Dalam penantian itu, tentu saja masyarakat Boalemo dihinggapi beberapa pertanyaan. Apakah Darwis akan divonis bersalah dan menjalani hukuman penjaranya? Atau malah sebaliknya, Darwis akan divonis bebas oleh majelis hakim di pengadilan?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang kemudian banyak melahirkan spekulasi dari banyak pihak. Bahkan tak tanggung-tanggung klaim dari pihak Darwis semakin gencar dipublikasikan oleh media humasnya. Haa..ha..haaa..
Saudara pembaca yang senantiasa dalam lindungan Tuhan hari ini. Kenyataannya proses hukum di Indonesia tidak sedikit melahirkan keputusan yang adil, namun tak berarti sama. Dengan kata lain, hukum masih “bisa” dibeli tergantung kesepakatan-kesepakatan oleh kedua belah pihak. Dalam kapasitas saya bukanlah pakar hukum, sebaliknya saya adalah orang yang pernah didakwa pada waktu itu. Tentunya saya masih ingat betul bagaimana saya berusaha melakukan negosiasi dengan pihak “seragam cokelat tua”, hhmm…?
Ini Indonesia, bung. Tanah dan air saja bisa dibeli, apalagi hukum? Mari kembali pada topik pembicaraan kita soal “klaim dan kebenaran”. Ya, anggaplah saya sedang bercerita dengan saudara-saudara sekalian.
Siapa yang tidak mengenal Inggrid di Boalemo? Eh atau begini, adakah di antara saudara yang mengenal Inggrid di Boalemo?
Inggrid Bawasin adalah satu dari beberapa orang sebagai Tim Pengacara “pembunuh”, ehh.. salah, maksud saya terdakwa. Bahwa, dalam wawancaranya di salah-satu media online, Inggrid menyebutkan bahwa fakta-fakta dipersidangan, yang berdasar pada keterangan saksi, di bawah sumpah pula, juga dua orang dokter. Salah ding, 5 orang dokter ternyata.
Diungkapkannya, bahwa penyakit ambien yang dikeluhkan dan diderita oleh korban sudah sejak lama, alias sejak si korban masih bujang. DALAM MAKSUD LAIN SUDAH TERMASUK PADA KATEGORI PENYAKIT BERAT YANG DAPAT MENYEBABKAN KORBAN TIDAK DAPAT MELAKUKAN PEKERJAAN.
Apakah perlu saya menjelaskan dengan detail apa yang di sampaikan Inggrid di atas? Saya kira tidak perlu. Kenyataannya, sejak berita itu diterbitkan, Inggrid (baca pengacara Darwis Moridu) telah melakukan KLAIM terlebih dahulu sebelum ada putusan (vonis) dari majelis hakim pada Jumat (13/11/2020), dan itu wajar saja. Terlepas saudara percaya atau tidak, silakan.
Sampai di sini, saya kira tidak akan seimbang jika saya hanya membahas soal Inggrid. Mari saudara-saudara sekalian saya ajak untuk membahas Ratna Salihi, istri korban (almarhum).
Menurut sumber berita online yang kemungkinan adalah media humasnya. Wkwkwk… Eh serius ding. Di sana, Ratna justru mengaku tidak lagi keberatan terhadap kasus penganiayaan yang dilakukan Darwis terhadap mendiang suaminya itu.
Bahkan entah siapa yang berani “menyuruh” Ratna berargumen sedemikian bahwa, “masalah suaminya jangan dijadikan alat untuk menjatuhkan Bupati Darwis Moridu”. Kereennn…!?!
Pertanyaannya, dari mana Ratna belajar “berdiplomasi” dengan tangkasnya menyatakan bahwa kasus penganiayaan terhadap (mantan) suaminya itu dijadikan alat politik untuk menjatuhkan Bupati Boalemo? Hayooo.. apakah Ratna punya guru politik? Ataukah mungkin Ratna sudah mendapat kursus manajemen isu? Ah.., berat ya?
Dalam kesaksiannya di bawah sumpah, pun di depan majelis hakim yang mulia, Ratna akhirnya mengungkapkan, bahwa ia melihat suaminya (korban) BAHKAN KUAT BERJALAN KAKI BERSAMA KEDUA ORANG TUANYA, DARI RUMAHNYA DARWIS ALIAS KA DARU DI KOTARAJA YANG JARAKNYA 5 KILO METER.
Ratna pun melanjutkan, pada saat (mantan) suaminya di rumah usai bertemu Darwis pada tanggal 5 Agustus 2010, ia MELIHAT BAHWA SUAMINYA DUDUK DI KURSI, MINUM KOPI, PERGI KE KAMAR MANDI DAN MELAKUKAN AKTIVITAS SEPERTI BIASANYA……
Nah, mari menyimak kembali pernyataan klaim Inggrid (silakan di-scroll ke atas, perhatikan kembali kalimat dengan huruf kapital pada bagian Inggrid), lalu bandingkan dengan pengakuan Ratna.
Setelah itu, mari pikirkan dan renungkan, bahkan jikalau boleh buatlah semacam bagan atau skema pemecahan kasus penganiayaan tersebut. Selamat mencoba, lalu mari cocokkan dengan putusan persidangan pada esok, Jumat 13 November 2020. Terima kasih.
*(Penulis adalah pemerhati Sosial, Hukum dan Budaya)
—————-
Redaksi menerima artikel dari semua pihak sepanjang dianggap tidak berpotensi menimbulkan konflik SARA. Setiap artikel yang dimuat adalah menjadi tanggungjawab sepenuhnya oleh penulis.