DM1.CO.ID, JAKARTA: Laba bersih perusahaan maskapai penerbangan PT. Garuda Indonesia tahun 2016 terjun bebas hingga 89,45 persen atau tercatat hanya sebesar 8,1 juta Dollar AS.
Perusahaan plat merah ini mencatatkan pendapatan pada tahun 2016 mencapai 3,9 Miliar Dolar AS. Angka ini naik tipis 1,31% dari tahun sebelumnya sebesar 3,8 Miliar Dolar persen.
Sementara beban operasi perusahaan maskapai yang memulai beroperasi pada tahun 1949 ini, naik 1,61 persen pada tahun 2016, atau sebesar 3,8 Miliar Dolar AS.
Sedangkan laba bersih hanya mencapai 8,1 Juta Dolar AS, atau anjlok sebesar 89,45 persen jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang meraup 76,5 Juta Dolar AS. Padahal, jumlah penumpang Garuda Indonesia dan Citilink mengangkut sekitar 35 juta penumpang pada 2016, tumbuh 6 persen dibandingkan 2015.
Melalui Konferensi Pers di Kantor Pusat PT. Garuda Indonesia di Tangerang, pada Rabu (22/3/2017), Direktur Utama Garuda Indonesia Arif Wibowo mengatakan, penurunan laba bersih ini disebabkan persaingan bisnis aviasi yang ketat pada 2016. Salah satunya, persaingan harga tiket antarmaskapai.
“Tren industri penerbangan di Asia Pasifik mengalami tekanan pada lima tahun terakhir. Perlambatan ekonomi juga mempengaruhi daya beli masyarakat,” tutur Arif.
Selama 2016 Garuda Indonesia Grup mendatangkan 17 unit pesawat baru, salah satu tujuannya adalah untuk melayani penerbangan rute Internasional.
Padahal, sekitar 1 tahun 6 bulan yang lalu, saat Rizal Ramli baru saja usai dilantik sebagai Menko Kemaritiman (yang salah satunya membawahi Kementerian Perhubungan) telah “berteriak” lantang kepada Garuda Indonesia agar tidak melakukan pengadaan (pembelian) pesawat.
Ketika itu, Garuda Indonesia memang sedang merencanakan pembelian dan penambahan pesawat untuk memperkuat penerbangan internasional, atau long-haul. Padahal saat ini, Garuda Indonesia telah melayani penerbangan internasional sebanyak 36 rute, sedangkan untuk penerbangan domestik hanya 40 rute.
Rencana pembelian dan penambahan pesawat dari hasil utang luar negeri dengan tujuan memperkuat rute penerbangan internasional itulah yang dikepret oleh Rizal Ramli.
Rizal Ramli bahkan harus keluar-masuk menemui Presiden Jokowi agar Garuda Indonesia untuk sementara tidak leluasa melakukan penambahan dan pembelian pesawat, apalagi anggarannya berasal dari dana pinjaman luar negeri, China Aviation Bank.
Sayangnya, ketika itu perjuangan Rizal Ramli di mata mereka-mereka yang ada di lingkaran istana dipandang sebagai salah satu kegaduhan.
Padahal, Rizal Ramli adalah seorang ekonom senior. Pemikiran dan ide-idenya sangat dibutuhkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat internasional sebagai anggota panel ekonomi di badan dunia (PBB).
Bahkan ketika menjabat Menko Perekonomian, Rizal Ramli mampu mencatatkan nama Abdurrahman Wahid sebagai satu-satunya Presiden Indonesia yang berhasil menurunkan utang luar negeri sebesar 9 Miliar Dolar AS.
Dan khusus mengenai masalah Garuda Indonesia, Rizal Ramli harus mengepret tentu saja bukan karena tanpa alasan. Ia hanya menyarankan Garuda Indonesia agar untuk sementara waktu jangan dulu membeli atau melakukan penambahan pesawat untuk long haul.
Peringatan seperti itu sejak awal juga sudah dikatakan Rizal Ramli ke Rini Soemarno selaku Menteri BUMN. “Jangan beli long-haul, (lebih baik) fokus pesawat medium range untuk kuasai pasar domestik dan Asia, bakal rugi besar,” ujar Rizal Ramli ketika itu.
Apalagi jika ditimbang-timbang, situasinya memang belumlah memungkinkan, baik dari segi anggaran maupun dari sisi persaingan. Sehingga jika dipaksakan, maka itu bisa dipastikan hanya akan menimbulkan kerugian yang sangat besar.
“Kita kuasai dulu pasar regional (penerbangan rute domestik) lima sampai tujuh tahun ke depan. Kalau sudah kuat, baru kita hantam (penerbangan rute internasionalnya),” usul Rizal Ramli ketika itu.
Ketika itu menurut Rizal Ramli, dari sisi bisnis Garuda Indonesia akan mengalami penurunan keuntungan yang sangat besar apabila bermain pada rute internasional. Pasalnya, saat ini saja maskapai di kawasan ASEAN yang memiliki rute internasional ke Amerika Serikat dan Eropa, yaitu Singapore Airlines, sedang mengalami kinerja keuangan yang kurang baik.
“Fokus pasar domestik dan Asia, jangan dulu Amerika dan Eropa,” saran Rizal Ramli.
Namun sungguh disayangkan, saran dan peringatan Rizal Ramli itu tidaklah dilaksanakan sepenuh “ajaran Trisakti”.
Parahnya, kepretan (saran) dari Rizal Ramli ketika itu malah diterjemahkan sebagai kegaduhan, yang kemudian kegaduhan itulah yang dijadikan alasan untuk mencopot Rizal Ramli dari Kabinet Kerja.
Namun pada akhirnya, seiring dengan bergulirnya waktu, yang dikepret Rizal Ramli di masa lalu tersebut, saat ini terbukti tepat dan benar-benar terjadi. Laporan keuangan PT. Garuda Indonesia per-31 Desember 2016 mengalami “keruntuhan” hampir 90 persen karena hanya mencapai sebesar 8,1 juta Dollar AS dibanding tahun sebelumnya (2015) yang mencapai 76,5 Juta Dolar AS.
(dbs-AMS/DM1)