Oleh: Abdul Muis Syam*
DM1.CO.ID: Terdiri dari 10 desa, Kecamatan Suwawa sebagai ibukota Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, sejak zaman dahulu adalah daerah yang memiliki sejarah menarik dan ciri khas atau “keistimewaan” tersendiri.
Belum banyak orang yang tahu. Bahwa, Suwawa adalah sebenarnya merupakan nama kerajaan tertua di Semenanjung Gorontalo, dan juga nama suku yang ada di daratan Pulau Sulawesi bagian Utara.
Sebagai kerajaan di masa lalu, Suwawa memiliki bahasa daerah khas sendiri selain Bahasa Gorontalo, yakni Bahasa Suwawa atau Bahasa Bonda, dengan nama lain Bahasa Bune.
Menurut cerita rakyat dan catatan sejarah yang ada, Suwawa disebut-sebut sebagai tanah leluhur atau nenek moyang dari seluruh etnik atau Pohala’a (kekeluargaan) di Jazirah Gorontalo. Dan di Gorontalo sendiri terdapat lima etnik (Pohala’a); yaitu Pohala’a Gorontalo, Limboto, Suwawa, Bulango, dan Pohala’a Atinggola. Belakangan dikabarkan, bahwa setelah mekar menjadi kabupaten sendiri, Boalemo yang sebelumnya bagian dari Pohala’a Limboto, kini juga diberi kedudukan sebagai salah satu Pohala’a.
Tentang hal tersebut, dapat ditemui dari berbagai literatur di Gorontalo, yang menempatkan suku Suwawa sebagai “Tiyombu” (nenek moyang atau generasi peradaban pertama) dalam “U Duluwo Limo Lo Pohala’a” (kekeluargaan dua kerajaan), yaitu Kerajaan Gorontalo dan Kerajaan Limboto.
Yang menarik, menurut beberapa sumber, penyebutan nama Suwawa berasal dari kata Tuwawa (dalam Bahasa Gorontalo, Tuwawa = satu). Kata Tuwawa adalah serapan dari kata Towawa’a yang artinya “satu tubuh” atau “satu badan”. Namun seiring perkembangan sosial yang terjadi serta cara pandang dari berbagai tokoh masyarakat setempat, membuat makna kata Towawa’a hingga saat inipun menjadi cukup beragam.
Meski begitu, kata Towawa’a tetap mengandung pemahaman yang selaras. Misalnya, ada yang memaknai bahwa masyarakat Suwawa merupakan suatu kesatuan sosial yang terintegrasi secara emosional berdasarkan faktor kekeluargaan, wilayah dan budaya.
Bahkan ada juga yang memaknai secara khusus menurut segi teritorial kontemporer. Yakni, memaknai kata Towawa’a sebagai wadah atau tempat menyatukan pendapat dari berbagai kalangan terhadap suatu masalah untuk mendapatkan pemecahan.
Namun dalam buku “Sejarah Kerajaan Suwawa” sendiri, ditemui kata Towawa’a bermakna sebagai simbol persatuan dan kerukunan yang erat antara Bangsa Pidodotiya dan Witohiya.
Bangsa Pidodotiya adalah merupakan kelompok penduduk yang tinggal dan menetap di Bangio (komunitas Suwawa saat ini). Sedangkan Bangsa Witohiya adalah kelompok penduduk yang tidak menetap (melakukan pengembaraan) lalu berafiliasi menjadi masyarakat di daerah Limboto dan Gorontalo.
Towawa’a sebagai simbol persatuan menjelaskan, bahwa kendati dalam kehidupan interaksi sosial terdapat sedikit perbedaan dalam mengunakan bahasa dan adat, namun kedua “bangsa” itu tetap mampu menjalin persatuan dan kesatuan yang erat.
Towawa’a sebagai simbol persatuan dan kesatuan tersebut, tak hanya terbangun dan terwujud di kedua “bangsa” ataupun di seluruh etnik “Pohala’a yang ada di Gorontalo, melainkan juga kepada para pendatang, khususnya yang telah menetap karena perkawinan dengan penduduk lokal di Kerajaan Suwawa pada masa lalu.
Persatuan dan kesatuan yang terbangun tersebut, sangat nampak terlihat melalui sikap saling menghargai dan menghormati di tengah-tengah masyarakat Suwawa yang beragam suku, ras, maupun agama. Sehingga tertanam kerukunan yang sejuk, sebagai benteng sekaligus kekuatan dahsyat yang mampu menangkal maupun menumbangkan segala bentuk perpecahan dan penindasan.
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perjuangan heroik dari seorang pahlawan nasional asal Gorontalo, Nani Wartabone, yang mampu menggalang persatuan warga hingga berhasil menaklukkan Belanda.
Akibat adu-domba atau perpecahan serta penindasan yang dilakukan oleh Belanda, membuat Nani Wartabone di kala itupun bangkit menghimpun persatuan dan kerukunan bangsa (warga) yang mulai terkoyak oleh imperialisme. Artinya, Belanda benar-benar telah membelenggu persatuan dan kerukunan bangsa agar tak mampu melakukan perlawanan.
Namun dari sejumlah penggalan kisah sejarah yang beredar menyebutkan, bahwa meski persatuan dalam keadaan terbelenggu, Nani Wartabone justru berhasil membangkitkan persatuan seluruh warga ketika mencium rencana Belanda untuk melumpuhkan gudang kopra dan minyak di wilayah Pabean dan Talumolo, Gorontalo.
Kala itu, Nani Wartabone bergegas menggelar rapat rahasia dengan sejumlah pemuka masyarakat (tokoh agama, suku, pemuda) di rumah salah seorang tokoh masyarakat setempat, yakni Kusno Danupoyo. Kusno adalah keturunan Jawa yang dahulu diasingkan pemerintah Kolonial Belanda ke Tondano.
Rapat rahasia tersebut menghasilkan sejumlah keputusan. Salah satunya adalah pembentukan Komite 12 sebagai wadah pergerakan perjuangan, dengan pengurus inti yaitu Nani Wartabone (Ketua), Kusno Danupoyo (Wakil Ketua), Oe. H. Buluati (Sekretaris), dan A.R. Ointoe (Wakil Sekretaris). Disertai anggota, di antaranya Usman Monoarfa, Usman Hadju, A.G. Usu, Usman Tumu, R.M. Danuwatio, M. Sugondo, Sagaf Alhasni, dan Hasan Badjeber.
Dipimpin Nani Wartabone, sejumlah pasukan dan ribuan warga Gorontalo yang terdiri dari suku, agama dan status sosial yang berbeda, namun bersatu padu itupun tumpah ke jalan bergerak untuk menaklukkan Belanda, pada Jumat (23 Januari 1942).
Di saat itu, gerakan rakyat yang juga diikuti oleh sejumlah kalangan minoritas Arab dan Tionghoa itupun berhasil menangkap seluruh pejabat kolonial Belanda di Gorontalo. Yakni di antaranya, Komandan Polisi R. Cooper, Controleur D’Ancona, Asisten Residen Korn.
Dan hebatnya, meski rakyat dipersenjatai dengan keris dan lembing, serta Belanda dilengkapi dengan senjata api, namun dalam peristiwa tersebut tak ada satupun korban nyawa yang berjatuhan dari kedua pihak. Bahkan tak sebutirpun peluru yang dimuntahkan.
Selain itu, meski sejumlah pedagang Arab dan Tionghoa ada yang membuka lebar tokonya pada peristiwa tersebut, namun tak satupun warga yang melakukan penjarahan. Yang ada justru selembar spanduk yang dibentangkan di depan Kantor Pos Gorontalo bertuliskan: “Siapa yang mencuri akan ditembak mati!”.
Sekitar pukul 10.00 WITA, bendera Merah Putih dikibarkan di depan Kantor Pos yang tak jauh dari rumah Asisten Residen Korn (saat ini rumah dinas Gubernur Gorontalo), juga di sekitar asrama polisi Kolonial Hindia Belanda. Bahkan, ada ribuan warga Gorontalo yang beragam suku serta agama, menyatu memadati alun-alun Kota Gorontalo hingga ke ruas-ruas jalan.
Mereka dengan penuh hikmat dan suka-cita menyanyikan lagu Indonesia Raya, serta menyaksikan Nani Wartabone dengan suara lantang mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pada Jumat (23 Januari 1942).
Lalu sore harinya, langsung digelar rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG), dan memutuskan Nani Wartabone sebagai ketuanya sekaligus selaku Kepala Pemerintahan Militer Gorontalo. Kusno Danupoyo (keturunan Jawa) menjadi Kepala Pemerintahan Sipil Gorontalo, dan Pendang Kalengkongan (keturunan Manado) sebagai Kepala Polisi Gorontalo.
Peristiwa 23 Januari 1942 ini kemudian ditetapkan Pemerintah Provinsi Gorontalo sebagai Hari Patriotik. Yakni, hari pergerakan rakyat Gorontalo dari berbagai suku, etnik dan agama dipimpin Nani Wartabone menggalang persatuan untuk merebut kemerdekaan guna menghidupkan kerukunan dan kedamaian di pangkuan Ibu Pertiwi.
Pada 10 November 2003, Gubernur Gorontalo definitif pertama, Fadel Muhammad (keturunan Arab), berhasil meyakinkan Pemerintah Pusat untuk menetapkan Nani Wartabone sebagai salah satu Pahlawan Nasional asal Gorontalo.
Nani Wartabone dengan nama asli Abdul Kadir Wartabone, lahir di Suwawa, 30 April 1907. Dan wafat pada 3 Januari 1986. Ayahnya, Zakaria Wartabone, adalah kepala distrik yang bekerja untuk Hindia Belanda. Ibunya, Saerah Mooduto, adalah keturunan bangsawan yang sederhana.
Dan pada 1987, Pemerintah Kota Gorontalo membangun patung Nani Wartabone di Lapangan Taruna Remaja, depan Rumah Dinas Gubernur Gorontalo, sebagai monumen perjuangan hari Patriotik 23 Januari 1942.
Pada sepenggal kisah sejarah perjuangan tersebut, Nani Wartabone sebagai putra asli Suwawa sangat jelas memiliki karakter yang mampu memanifestasikan makna Towawa’a sebagai simbol persatuan, dan juga kerukunan senasib sepenanggungan yang telah terbangun sejak dahulu di Kerajaan Suwawa.
Lalu bagaimana wajah dan kondisi Towawa’a pada zaman kemerdekaan Republik Indonesia yang telah memasuki usia ke 74 tahun ini?
Menarik! Sebagai ibukota kabupaten Bone Bolango, Pemerintah Kecamatan Suwawa, ternyata mampu menjaga makna yang terkandung dalam Towawa’a sebagai simbol persatuan dan kerukunan bangsa di tengah-tengah kehidupan sosial.
Saat ditemui wartawan DM1, pada Senin (29/7/2019), Erwin Ilahude selaku Camat Suwawa mengatakan, selama ini belum ada konflik ataupun perseteruan yang terjadi di Suwawa akibat dipicu oleh persoalan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Erwin Ilahude bahkan menyatakan, potensi terjadinya konflik yang dilatarbelakangi isu SARA itu sangatlah kecil di Suwawa. Sebab, menurutnya, masyarakat Suwawa sejak dahulu sudah menempatkan persatuan serta kerukunan sebagai salah satu budaya yang telah tertanam dan mengakar.
Meski begitu, Erwin mengaku senantiasa mewaspadai dan menjaga hal-hal negatif dari setiap perkembangan atau dinamika yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat di Suwawa. Yakni dengan melakukan berbagai upaya pendekatan sosial atau kebijakan-kebijakan yang berlandaskan kepentingan bersama.
Erwin menyebutkan upaya-upaya yang dimaksud tersebut adalah dengan memunculkan dan menerapkan program “Kampung Religi” di Kecamatan Suwawa. “Kecamatan yang saya pimpin sebelumnya, Bulango Timur, telah sukses menjadi kecamatan religi. Saya yakin Kecamatan Suwawa juga bisa seperti itu, bahkan bisa lebih lagi, yaitu kecamatan religi dan beradab,” ujar Erwin.
Dijelaskannya, program “Kampung Religi” yang sedang digenjot di Kecamatan Suwawa ini, secara umum adalah untuk lebih mempererat persatuan dan kesatuan serta kerukunan masyarakat tanpa membedakan suku, agama ataupun golongan tertentu.
Dan untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Erwin, adalah dengan senantiasa mengedepankan saling sikap menghargai dan menghormati satu sama lain, tidak saling menghujat, dan sebisa mungkin menjauhkan pemikiran-pemikiran yang mengarah kepada tudingan negatif terhadap suatu kelompok tertentu.
“Selama ini yang selalu dikonotasikan teroris itu adalah Muslim. Padahal Muslim tidak seperti itu, bukan teroris kejam seperti yang dibayangkan. Muslim itu adalah Islam yang penuh dengan kasih sayang,” jelas Erwin.
Menurut Erwin, untuk menghilangkan bayang-bayangan dan tudingan teroris tersebut, penerapan program “Kampung Religi” ini secara khusus dan maksimal harus diikuti dengan keteladanan dari umat Muslim sebagai masyarakat mayoritas di Suwawa.
Keteladanan yang dimaksud, menurut Erwin, adalah umat Muslim di Suwawa harus senantiasa bersikap menghormati dan menghargai serta menyayangi agama lain, terutama dalam hal toleransi beragama. “Sebagai Muslim, kita wajib memberi dan memperlihatkan contoh yang baik terhadap saudara-saudara kita yang non-muslim,” kata Erwin.
Jika di sejumlah daerah lain ada peristiwa diskriminasi warga yang melakukan penutupan tempat ibadah agama tertentu, maka Erwin menegaskan peristiwa seperti itu tidak akan terjadi di Suwawa. “Islam di sini (Suwawa) adalah Islam damai yang penuh dengan kekeluargaan,” tegas Erwin.
Program “Kampung Religi” ini, lanjut Erwin, dimunculkan bukan sebagai upaya yang bersifat penindakan, tetapi lebih kepada pencegahan. Olehnya itu, dalam teknis penerapannya, program ini tidak diikuti dengan kegiatan razia-razia pekat (penyakit masyarakat) seperti perjudian, minuman keras, dan tempat-tempat maksiat lainnya.
Erwin menjelaskan, penerapan program “Kampung Religi” ini lebih banyak kepada upaya pembentukan mental, sikap, dan mind-set (menata/kesadaran berpikir) yang dilakukan melalui penyampaian dakwah di tempat ibadah masing-masing. Termasuk, menurut Erwin, mencekal isu-isu provokasi yang sengaja disuarakan untuk memecah persatuan dan kerukunan umat.
Olehnya itu, Erwin mengaku kerap mengambil bagian dengan ikut tampil menyampaikan ceramah atau dakwah di podium dari masjid ke masjid. Dan Erwin mengharapkan hal yang sama juga dapat dilakukan oleh pihak atau pemuka agama lainnya. Yakni, dengan mengajak umat masing-masing untuk tetap menjaga kesejukan persatuan dan kesatuan serta kerukunan di Suwawa yang telah mengakar sejak dahulu kala.
Bukti sejuknya persatuan dan kerukunan yang terpelihara di Kecamatan Suwawa, menurut Erwin, bisa disaksikan di Desa Huluduotamo. Di sana, ada masjid dan gereja yang posisinya nyaris berhadapan (serong), hanya dipisahkan oleh ruas jalan. Yakni, Masjid Tsamaratul Ukhuwah dan Gereja Kanaan.
Erwin menambahkan, meski umat Nasrani di Kecamatan Suwawa ini semuanya adalah pendatang (dari luar Kabupaten Bone Bolango), namun toleransi sangat terlihat melalui sikap saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Sehingga, persatuan dan kerukunan juga senantiasa terjaga dengan mantap.
Kokohnya persatuan dan kerukunan itu juga diakui oleh sejumlah pihak yang ditemui wartawan DM1 di Desa Huluduotamo, tempat berdirinya masjid dan gereja yang nyaris berhadapan tersebut. “Di sini kita sudah berkomitmen dan sepakat menjaga persatuan dan kerukunan, yakni dengan cara saling menghormati dan menghargai dalam perbedaan agama dan suku,” ujar David Buyu (57), pendiri sekaligus pengurus Masjid Tsamaratul Ukhuwah, Desa Huluduotamo, Kecamatan Suwawa, Senin (5/8/2019).
David Buyu mengungkapkan, komitmen yang telah terbangun tersebut disaksikan langsung oleh Kapolda Gorontalo, Bupati Bone Bolango beserta Forkopimda di daerah setempat. Sehingga kedua agama (Islam dan Kristen) di Desa Huluduotamo selama inipun hidup berdampingan secara rukun dan harmonis.
David Buyu membeberkan, keberadaan Masjid Tsamaratul Ukhuwah sejak didirikan pada 1986 hingga saat ini adalah hasil swadaya dari masyarakat, dan belum pernah ada bantuan pembangunan yang signifikan dari pihak pemerintah. Justru umat Kristiani Jemaat Gereja Kanaan yang pernah memberikan sumbangan berupa karpet untuk kepentingan ibadah di Masjid Tsamaratul Ukhuwah.
Seorang warga Muslim lainnya di Desa Huluduotamo, Hasna Abukasi (48), juga ikut memberikan komentar terkait keharmonisan dan kerukunan umat Islam dan Kristen di desa terluas kedua di Kecamatan Suwawa itu. “Sejak puluhan tahun hubungan kita di sini sangat baik. Tidak pernah ada konflik, karena kita semua di sini sudah merasa bersaudara tanpa membedakan suku dan agama,” tutur Hasna di kediamannya, di Desa Huluduotamo, pada Senin (5/8/2019).
Hasna membenarkan, bahwa persatuan dan kesatuan serta kerukunan masyarakat di Kecamatan Suwawa, khususnya di Desa Huluduotamo ini memang sudah terjalin dan mengakar secara turun-temurun, sehingga istilah mayoritas ataupun minoritas tidak berlaku di desa ini dan umumnya di Kecamatan Suwawa.
Hasna bahkan menegaskan, jika warga di daerah lain banyak yang “mempertontonkan” sikap saling hujat dan menjelek-jelekkan suku ataupun agama tertentu, dengan melakukan provokasi di berbagai media sosial, maka warga di Kecamatan Suwawa khususnya di Desa Huluduotamo ini, bisa dipastikan tak akan terpengaruh untuk ikut menyuarakan hujatan yang mengarah kepada perpecahan tersebut.
Masih di desa yang sama, Elisabet Mariana Mahieu, selaku seorang Jemaat Gereja Protestan Indonesia Gorontalo (GPIG) Kecamatan Suwawa, kepada Wartawan DM1 juga menuturkan hal senada. Ia mengakui, bahwa persatuan dan kerukunan di Suwawa memang telah mengakar dengan kuat sejak puluhan dan bahkan ratusan tahun silam.
Elisabet menceritakan dengan antusias kondisi kerukunan yang terbangun secara harmonis dan “mesra” antara umat Islam dan Kristen di Kabupaten Bone Bolango, khususnya di Desa Huluduotamo, Kecamatan Suwawa. “Dari dulu itu memang silaturahmi kami dengan umat Muslim sudah sangat kuat terjalin di daerah ini,” ujar Elisabet di kediamannya, di Desa Huluduotamo, pada Senin (5/8/2019).
Elisabet mengungkapkan, setiap tiba perayaan hari-hari besar keagamaan sangat terasa memunculkan suasana meriah dan penuh suka-cita, karena umat Islam dan Kristen di Kecamatan Suwawa yang terdiri dari berbagai suku ini sudah terbiasa saling mengunjungi dan bersilaturahmi. “Tiba Idul Fitri, kami kaum Nasrani sering menyempatkan ikut memberi kue-kue kepada saudara-saudara Muslim kita di sini. Begitupun sebaliknya, kalau perayaan Natal tiba, giliran saudara-saudara Muslim kita yang memberikan bantuan,” ujar Elisabet tersenyum.
Mengenai isu-isu negatif dan provokatif seputar SARA yang belakangan ini sangat ramai di media sosial, Elisabet menilai itu tidak akan menggoyahkan apalagi meruntuhkan persatuan dan kerukunan masyarakat di Suwawa yang sudah sangat kokoh terbangun. “Kita di sini sudah saling menyatu dan sangat rukun. Bahkan sudah ada yang kawin dan membangun keluarga dari agama dan suku yang berbeda,” ungkap Elisabet.
Baik David Buyu dan Hasna Abukasi maupun Elisabet Mariana Mahieu, mengaku sama-sama menyatakan syukur dan bangga bisa hidup serta beribadah secara tenteram, aman dan damai di Kecamatan Suwawa tanpa jemawa dan lelewa (berlagak).
Dan ini bukan sebuah cerita dongeng, bahwa sejak masa silam di “Kerajaan” Suwawa, secara istimewa para jiwa-jiwa yang berwibawa telah berfatwa Towawa’a, yakni tentang persatuan dan kerukunan adalah “nyawa” yang harus tetap bersenyawa di setiap sendi-sendi kehidupan. Dan bersama Suwawa, untuk Indonesia. Cepat majulah bangsaku! (*/dm1)
——-
Penulis adalah: Pemimpin Redaksi dm1.co.id, pernah di Harian Fajar Makassar (Jawapos Grup), dan pemerhati sosial.