Oleh: Gede Sandra
BELAKANGAN ini istilah “makar” kembali marak di tengah-tengah masyarakat setelah dilontarkan oleh Kapolri Tito Karnavian. Sayang sekali Jenderal Tito masih menyimpan kamus istilah yang mengingatkan kita semua pada era kegelapan.
Istilah “makar” bukan istilah yang baru dalam sejarah politik modern Indonesia. Pertama diperkenalkan oleh Soeharto di era Orde Baru untuk merepresi pergerakan politik oposisi di zamannya.
Kata “makar” sendiri berasal dari Bahasa Arabal-makr yang kira-kira artinya “tipu daya untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah”. Secara singkat artinya: kudeta. Bila kita berpikir agak kritis, berangkat dari definisi tersebut, seharusnya aksi Suharto mengkudeta Pemerintahan Bung Karno pada 1965-1966 juga layak disebut dengan “makar”.
Istilah ini pun secara memalukan malah menjadi tren. Pada era Reformasi, kata “makar” sebagai vonis politik dari sang penguasa terjadi di era Gus Dur hingga SBY. Sekalangan elit pada era Gus Dur tahun 1999-2001 menggunakan kata “makar” untuk mendefiniskan kelompok oposisi pemerintahan saat itu.
SBY juga pernah menuding tokoh nasional Rizal Ramli (RR) akan melakukan kudeta pada pemerintahannya di bulan Maret 2012. Itu setelah empat tahun sebelumnya pada tahun 2008, ekonom senior ini hampir dipenjarakan SBY karena memimpin demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM. Di tahun 2012, pengacara SBY juga mensomasi RR karena mencemarkan nama baik keluarga Cikeas yang diduga menerima suap dari Mafia Migas Reza Chalid.
Reza Chalid sendiri keberadaannya belum mampu terdeteksi setelah rekaman Papa Minta Saham yang menghebohkan dibongkar Pemerintahan Jokowi. Dahulu di era SBY, untuk menyebut nama jelas dari Mafia Migas saja para elit tidak berani. Kini semua orang membicarakannya, si Mafia tunggang langgang tak jelas rimbanya.
Masyarakat pun menjadi tercerahkan tentang keberadaan sistem rente yang tidak sehat di sektor Migas ini. Pemerintahan Jokowi akhirnya juga menindak lanjuti pembubaran Mafia Migas, yang menurut mereka diwakili oleh keberadaan Petral.Meskipun tentu dengan tingkat kesuksesan yang dapat diperdebatkan.
Lolos dari tudingan “makar” dari Pemerintahan SBY, murid Gus Dur yang juga dikenal sebagai Gus Romli ini, pada tahun yang sama juga mendampingi perjuangan kelas pekerja memperjuangan jaminan sosial (BPJS) hingga turun ke jalan depan gerbang Gedung Parlemen. Memperjuangkan Sila Keadilan Sosial dari Pancasila bagi seluruh rakyat, RR tidak ragu melakukan sholat jumat di jalanan bersama puluhan ribu kelas pekerja.
Memperjuangkan Ekonomi Berdikari sesuai Trisakti, pada periode yang berdekatan, RR yang juga anggota panel badan PBB kembali merepotkan Pemerintah SBY dengan menjadi tim ahli yang menggugurkan UU Migas 22/2001. UU ini diduga sangat liberal karena didraft langsung oleh asing, Mahkamah Konstitusi pun membatalkan banyak pasalnya. Akhirnya semenjak saat itu hingga kini revisi UU Migas tidak pernah selesai dibahas di DPR.
Meskipun tidak mengenali siapa sosoknya (karena oligarki media mainstream menutup pemberitaan tentangnya), semangat keberpihakan kepada rakyat dan kepada bangsa yang digelorakan RR sampai juga kepada rakyat banyak. Kibasan sayap Rajawali dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia yang ingin Perubahan di tanah airnya.
Saat itulah Jokowi muncul bersama mobil Esemka yang fenomenal (peluncuran perdana Esemka oleh Jokowi di suatu stasiun televisi swasta nasional kebetulan menghadirkan RR sebagai komentator). Jokowi, seorang Walikota yang berekam jejak baik, memperkenalkan konkretnya semangat nasionalisme dalam Ekonomi Berdikari dalam mobil yang dirakit oleh siswa-siswa SMK.
Kebetulan juga pembawaan dari pengusaha meubel Solo ini juga sangat sederhana, seperti layaknya rakyat Indonesia yang kebanyakan. Yang paling khas adalah kemeja putih lengan panjang dan celana kain hitam, tanpa asesoris apapun di badan. Sangat kental karakter kerakyatan.
Rakyat menemukan kerinduan pada nasionalisme dan kerakyatan, yang tak diberikan oleh pemerintahan SBY. Rakyat pun jatuh cinta kepada Jokowi, ingin dipimpin bermula dari Jakarta untuk kemudian lanjut Indonesia hingga sekarang.
Pada tahun kedua pemerintahannya, Jokowi sempat mengajak masuk RR ke dalam pemerintahannya meskipun hanya 11 bulan. Rentang yang sangat pendek bila dibandingkan dengan lebih dari 7 (tujuh) tahun lamanya RR waktu menjadi oposisi terdepan terhadap pemerintahan SBY (bersama stempel makar” yang melekat di dirinya).Saat itu RR hanya mencoba perjuangkan Pancasila dan Trisakti, tapi malah dituduh “makar”.
Berulang. Kini Kapolri hendak menggunakan istilah khas Orde Baru tersebut untuk menstempel gerakan Umat Islam yang hendak membela Kitab Sucinya di muka hukum. Gerakan ini sebenarnya menuntut penghormatan yang sewajarnya terhadap Agama dan Kitab Suci mereka dari para penganut Agama yang sama maupun berbeda.Siapapun itu harus menghormati Ketuhanan, tidak terkecuali, seperti diajarkan oleh Pancasila.
Sayang mereka, Umat Islam merasa tidak mendapatkan penghormatan tersebut dari Gubernur (non-aktif) Ahok yang berbeda Agama. Dan mereka menuntut yang bersangkutan ditahan oleh aparatus hukum. Kami memandang, kira-kira sejauh itu saja tuntutan Gerakan Umat Islam tersebut.
Aneh bila sekalangan mencoba kait-kaitkan kasus Ahok dengan Bhineka Tunggal Ika. Jelas tidak nyambung, Karena di sini tidak ada yang menggugat keberagaman. Apalagi bila dikait-kaitkan dengan “makar”.
—–
Penulis adalah Pembelajar Pancasila
(rmol/dm1)